-- Abdul Ghopur
PEMUDA, sesungguhnya bukan sekadar bagian dari lapisan sosial dalam masyarakat saja. Sebab mereka memainkan peranan penting dalam perubahan sosial. Tapi, jauh daripada itu, pemuda merupakan konsepsi yang menerobos definisi pelapisan sosial tersebut, terutama terkait konsepsi nilai-nilai. Sejarawan Taufik Abdullah (1995) memandang pemuda atau generasi muda adalah konsep-konsep yang sering mewujud pada nilai-nilai herois-nasionalisme. Hal ini disebabkan keduanya bukanlah semata-mata istilah ilmiah, tetapi lebih merupakan pengertian ideologis dan kultural.
'Pemuda harapan bangsa', 'pemuda pemilik masa depan bangsa,' dan sebagainya, betapa mensyaratkan nilai yang melekat pada kata 'pemuda'. Pernyataan menarik di atas, dalam konteks Indonesia sebagai bangsa, menemukan jejaknya. Sebab, berbicara sosok pemuda memang identik dengan nilai-nilai dan peran kesejarahan yang selalu melekat padanya. Sosok pemuda selalu terkait dengan peran sosial-politik dan kebangsaan. Ini dapat dipahami mengingat hakikat perubahan sosial-politik yang selalu tercitrakan pada sosok pemuda. Citra pemuda Indonesia tidak lepas dari catatan sejarah yang telah diukirnya sendiri.
Taufik Abdullah pernah menyatakan, betapa peristiwa-peristiwa besar di negeri ini dilalui dan digerakkan oleh pemuda. Sejarah mencatat bahwa Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908, merupakan rekayasa sosial-politik para pemuda Indonesia dalam menggerakkan semangat nasionalisme rakyat Indonesia melawan penjajah kolonial. Tonggak penting itu direkatkan lagi oleh Ikrar/Sumpah Pemuda, yang menegaskan kesatuan niat, kebulatan tekad dan semangat satu Tanah Air, satu bangsa, dan satu bahasa nasional Indonesia, pada Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928. Lalu, semangat nasionalisme tersebut mengkristal dan menemukan momentumnya saat diproklamirkannya Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Hatta.
Tidak mengherankan jika kemerdekaan Indonesia tak lepas dari gerakan 'revolusi kaum muda'. Sebagaimana dinyatakan oleh Taufik Abdullah di atas, prestasi dan citra kaum muda Indonesia begitu menyejarah sepanjang berdirinya Republik Indonesia. Pergantian rezim ke rezim di Indonesia juga melibatkan pemuda. Sedemikian melekatnya nilai-nilai kepeloporan dan semangat kebangsaannya, tentu saja ini menjadi beban sekaligus tanggungjawab moral sosial pemuda Indonesia ke depan.
Sering didapati dalam banyak artikel (tulisan) dan kita sendiri bahkan menyaksikan peran partisipasi pemuda yang sangat besar dalam membangun, menyumbang, dan mendukung perkembangan bangsa. Dengan demikian sesungguhnya, diskursus kepemudaan tidak semata terkait persoalan politik. Namun, memiliki spektrum yang lebih luas, mencakup seluruh dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pernahkah kita mendengar slogan; 'sekarang pemuda, besok akan menjadi pemimpin' Pernyataan ini mendorong kita untuk memperhatikan eksistensi pemuda di masa lalu, kini dan mendatang. Dengan mengetahui semua fakta, kita sadar, betapa pentingnya peran kesejarahan pemuda untuk masa depan 'republik yang sedang menunggu ini'. Pemuda dianggap lambang semangat api revolusi yang tak pernah redup. Lambang keberanian dan semangat yang tak pernah pudar. Pemuda melambangkan kekuatan yang tak pernah hancur! Atas alasan ini, Presiden Soekarno suatu ketika pernah berkata; "berikan padaku sepuluh pemuda, maka akan kugoncangkan dunia." Dari pernyataan ini kita dapat menyimpulkan bahwa Soekarno lebih mengapresiasi pemuda ketimbang orang tua. Mengapa? Karena mereka memainkan peranan yang besar dan mempunyai potensi serta energi yang besar dalam mengerakkan suatu perubahan sosial.
Revolusi mati mudaNamun, melihat realitas pemuda Indonesia yang ada kini, sungguh jauh panggang dari api. Mengutif pernyataan M Yudho Haryono, bahwa gagasan dan visi reformasi yang diusung kaum muda dengan sendi moral, ide dan gagasan bersih pada akhirnya harus tunduk pada takdir yang tidak bisa dielakkan. Ia menemukan ekspresinya dengan menjelma menjadi rutinitas dan tanpa (realisasi) harapan. Ia menerima kenyataan-kenyataan riil yang menyeretnya secara kuat untuk tenggelam. Pesonanya memudar, karismanya melarut dan daya revolusinya mati muda.
Akibatnya, sambil menunggu drama politik dan peruntungan antara rakyat dan penguasa, eksekutif dan legislatif, penambahan umur kita menyela untuk menandai semakin rentanya republik ini. Renta bagai zombi, tanpa gambaran bernas masa depan, hanya sedikit cercah harapan. Apa mau dikata, Pemilu 2009 yang baru saja dilewati ini, kita memang kehadiran drama realis politisi bersih yang terulang tanpa bisa dielakkan; kalah mengenaskan. Dari rezim ke rezim, dari pemilu ke pemilu, drama dan pertarungan atas nama moral bersih berputar tanpa skenario baru. Sehingga, tidak menghasilkan kejayaan yang elegan. Sebaliknya muncul dengan wajah buram, menguasai banyak medan pertempuran tapi kalah telak di akhir perang, banyak di mana-mana tetapi selalu tak mendapat apa-apa. Dari waktu ke waktu, drama dengan modal moral bersih, kalah oleh lupa karena miskin kader dan agenda. Meninggalkan ingatan untuk menjejer luka-luka baru yang luka lamanya tak tersembuhkan.
Atas beberapa alasan di atas itulah, pentingnya upaya mendialogkan kembali diskursus tentang peran dan eksistensi pemuda dalam konteks pembangunan Indonesia. Dengan menguatkan nilai-nilai kerakyatan secara luas agar partisipasi dan kemanusiaan dapat dirayakan dengan sedikit harapan. Agar tidak paria di negara merdeka tetapi juga tidak fobia terhadap negara dan kapitalisme.
* Abdul Ghopur, Peneliti pada Nusantara Centre
Sumber: Media Indonesia, Rabu, 28 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment