-- Franz Magnis-Suseno*
HAMPIR dua tahun lalu, pada 13 Oktober 2007, tepat pada hari raya Idul Fitri, 138 pemimpin religius Muslim mengirim sebuah ”Kata Bersama antara Kami dan Anda” kepada Paus Benediktus XVI dan 26 pemimpin Kristiani lain.
Dalam surat itu, yang disponsori oleh Yang Mulia Pangeran Ghazi bin Talal, Kepala Institut Aal al-Bayt di Amman, Jordania, para penulis mengungkapkan ajakan agar kita kesampingkan ”perbedaan-perbedaan kita yang menyebabkan kebencian dan perselisihan di antara kita. Mari kita bersaing satu sama lain hanya dalam kelurusan dan perbuatan-perbuatan baik. Mari kita saling menghormati, mari kita bersikap fair, adil dan baik satu sama lain, dan mari kita hidup dalam perdamaian jujur, keselarasan dan sikap baik satu sama lain”.
Para penulis mengingatkan bahwa kita merupakan ”agama- agama paling besar di dunia; hubungan di antara dua komunitas agama ini merupakan faktor paling penting demi perdamaian di sekitar dunia”. Kita perlu bekerja sama demi perdamaian dunia. Kita dapat dan harus demikian karena, menurut mereka, dua perintah Allah yang bagi umat Kristiani paling sentral, cinta kepada Allah dan cinta kepada sesama, juga merupakan perintah inti bagi umat Islam.
Kalimat yang barangkali paling mengharukan dalam Kata Bersama ini adalah: ”Sebagai orang Muslim, kami mengatakan kepada orang Kristiani bahwa kami tidak melawan mereka dan bahwa Islam tidak melawan mereka”.
Makna ”Kata Bersama”
Namun sayang, Kata Bersama ini hampir tidak diketahui oleh siapa pun. Karena itu, pada tanggal 2 sampai 4 Oktober lalu, Konrad Adenauer Stiftung mempertemukan 18 tokoh intelektual dan aktivis Muslim dan Kristiani di Cadenabbia di Italia utara untuk bersama-sama mendalami makna ”Kata Bersama” itu. Pertemuan ini menjadi pengalaman amat mengesankan. Kami yang dari agama dan latar belakang sangat berbeda—para peserta berasal dari Nigeria, Sudan, Kenya, Inggris, Jerman, Pakistan, India, Malaysia dan Indonesia—ternyata dapat bertemu hati dan nalar.
Kami mengalami bahwa suatu sejarah hubungan Kristiani dan Muslim yang susah serta situasi politik global yang tidak menguntungkan tidak menjadi halangan untuk mencapai sebuah dialog yang mendalam. Ternyata kami dapat terbuka, dapat membahas hal-hal yang peka—tanpa ada rasa tersinggung. Kami sadari bahwa kami harus saling menerima dalam perbedaan. Pandangan Kristiani dan Islam tentang Tuhan memang berbeda. Namun, kami, seperti ditulis dalam Kata Bersama, dipersatukan oleh kenyataan bahwa kami tahu diri berada di bawah hukum kasih Allah serta dipanggil untuk menjadikan agama-agama kita menjadi wahana rahmat dan kebaikan.
Berikut beberapa butir pokok dari teks yang kami rumuskan sebagai hasil pertemuan kami (kami sebut Message from Cadenabbia, pesan dari Cadenabbia).
• Kami menyadari bahwa ”cinta kepada sesama seperti terhadap diri kita sendiri” menuntut agar kita melibatkan diri pada ”keadilan universal, hormat terhadap martabat setiap manusia, kebebasan suara hati dan hormat terhadap perbedaan”.
• Karena itu, kami bersama harus ”menghadapi kemiskinan, keadaan buta huruf, perusakan lingkungan hidup, penyakit, pelanggaran hak-hak asasi manusia, diskriminasi perempuan serta konflik etnik”.
• Kami menegaskan bahwa ”kami akan saling menghormati, tidak akan bicara secara merendahkan satu terhadap yang lain, serta menolak penggunaan, ataupun hasutan, kekerasan atas nama Tuhan atau agama.”
• Kami catat bahwa bukan hanya orang-orang Kristiani dan Muslim, melainkan juga pengikut agama-agama lain ”sudah lama biasa hidup bersama, sebagian terbesar secara selaras; kami mempunyai pengalaman kaya dan enak dengan identitas-identitas dan milik-milik beragam”.
• Kami menyesalkan ”kelompok-kelompok ekstrem yang menyalahgunakan ajaran-ajaran mulia agama-agama kita serta memanipulasikan perasaan- perasaan religius”.
• Bicara tentang sesama berarti juga berusaha untuk saling mengerti; demi itu para peserta menyerukan agar bahan-bahan pendidikan membahas semua agama secara wajar, para pemimpin religius dididik untuk menghormati mereka yang berbeda dan memajukan dialog, serta agar media massa bertindak secara bertanggung jawab dalam kaitan dengan agama.
• Akhirnya para peserta menyatakan diri terlibat dalam mempromosikan ”komunitas- komunitas lokal, regional, dan global yang betul-betul dapat dirasakan sebagai rukun tetangga di mana semua laki-laki dan perempuan dihormati sama dan diakui martabat mereka yang sepenuhnya sebagai ciptaan mulia Allah”.
Hiburan hati dan tantangan
Bagi saya mengikuti pertemuan ini merupakan hiburan hati dan tantangan. Hiburan hati, karena saya mengalami bahwa saudara dan saudari dari latar belakang agama dan budaya begitu berbeda dapat bertemu dalam semangat saling terbuka dan bercita-cita dasar sama; persis seperti di tulisan dalam Common Word. Tantangan, karena persatuan hati 18 orang selama tiga hari di tempat yang indah baru akan berarti apabila menjadi kekuatan nyata yang memberi semangat dan kegembiraan.
Akhirnya saya menjadi lebih optimistis bahwa warisan kecurigaan dan sejarah yang sulit bukan hanya antara umat Kristiani dan Islam, melainkan antara banyak umat beragama, tidak perlu menjadi belenggu untuk selamanya. Di Indonesia pun sudah lama semakin banyak di antara kita mengalami bahwa—melintas segala perbedaan dan berhadapan dengan pelbagai kesulitan—kita, bangsa Indonesia, warga agama- agama yang berbeda, dapat saling menerima dan menghargai serta makin lama makin akan mengembangkan sinergi untuk bersama-sama menanggulangi masalah-masalah bangsa dan umat manusia di masa mendatang.
* Franz Magnis-Suseno, Rohaniwan; Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
Sumber: Kompas, Sabtu, 10 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment