SOROT lampu mengarah ke seorang penari, lagi mencangkung dan bermenung di pojok kanan atas lemari. Samar-samar terlihat lima penari mematung—dengan beragam posisi—dalam lemari, di atas bangku dan meja. Sebuah dipan sederhana terbalik dan bersandar ke lemari.
Tari Puisi Tubuh dipentaskan oleh kelompok Sukri Dance Theatre dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padang Panjang, Sumatera Barat, di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (29/10). (KOMPAS/EDDY HASBY)
Simbol kamar (kos) yang sederhana, yang semula adem. Namun, dalam seketika, berubah drastis, bahkan dramatik. Kamar itu mungkin simbol Indonesia masa kini dengan sosok pergulatan manusianya.
Cermati lagi, tak lama kemudian lelaki di atas lemari itu bangkit, menggeliat, bertumpu di kayu loteng, menggelantung, tubuhnya terus bergerak dengan beragam fungsi dan filosofi. Seperti juga puisi, tubuh memiliki diksi, metafora, serta emosi.
Tubuhnya terus bergerak, kadang meliuk, kadang tangkas bagaikan gerakan silat (uluambek). Tak lama kemudian, penari lain yang mematung tadi mengeksplorasi tubuhnya dengan gerakan. Tubuh sudah menjadi puisi. Puisi sudah menjadi tari. Tari sudah menjadi teater. Ia bisa berwujud tubuh yang sakit, tubuh imaji, tubuh fantasi, dan tubuh sehari-hari.
Setidaknya demikian gambaran detik-detik awal pertunjukan tari Puisi Tubuh karya koreografer Ali Sukri—yang sekaligus sebagai penari (utama), dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padang Panjang.
Tari Puisi Tubuh memperlihatkan sosok manusia di dalam menghadapi kehidupan masa kini: manusia yang semakin kehilangan ruang pribadi karena berbaur dengan ruang publik.
”Gagasan ini berangkat dari hasil pengamatan terhadap fenomena sebuah kamar, yang dinding-dindingnya tidak lagi berfungsi sepenuhnya memisahkan ’dunia luar’ dan ’dunia dalam’. Kamar telah dimasuki oleh informasi global yang menghadirkan kecemasan, ketakutan, kengerian, dan bahkan kematian,” kata Ali Sukri, yang lulusan S-2 Penciptaan Tari di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
Scenographer dan dramaturg Yusril menambahkan, pertunjukan yang gerakannya mengambil spirit tradisi (silat) Minang ini mencoba memadukan unsur seni lainnya secara seimbang.
”Para penari adalah pemain teater, tetapi ruh dan warna tari khas Ali Sukri bisa kelihatan. Estetika cenderung bersifat kolaboratif,” katanya.
Pertunjukan tari berdurasi sekitar 45 menit itu menjadi luar biasa, didukung ilustrasi musik karya komposer terkemuka Elizar Koto dan penata cahaya Surya Jenar. (YURNALDI)
Sumber: Kompas, Jumat, 30 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment