Sunday, October 18, 2009

Suwage Memfiksikan Kenyataan

-- Heru Hikayat

AGUS Suwage, perupa kelahiran Purworejo 1959, tak pelak lagi figur khas dalam seni rupa kontemporer Indonesia. Kekhasan seni kontemporer macam penggunaan media campuran, pelintasan batas disiplin seni, penihilan kategori seni tinggi-seni rendah, ruang yang dibikin bias dan bersilangan, eklektik, parodi, apropriasi, dan masih banyak lagi berbagai istilah teknis kaum posmodernis yang bisa diterapkan pada karya-karyanya. Karya-karya Suwage seperti membenarkan klaim bahwa seni kontemporer memijakkan dirinya pada posmodernisme.

Tahun ini, menandai lima puluh tahun masa hidupnya, Suwage menginisiasi pameran besar berupa tampilan seleksi karya-karyanya dari rentang 1985 hingga 2009. Pameran telah dilaksanakan Juli lalu di Jogja National Museum. Bagi warga Bandung, silakan menikmati tampilan pilihan ini di Selasar Sunaryo Art Space (SSAS), 9 Oktober – 1 November 2009. Dengan pilihan seperti itu, pelihat dapat menelusuri perkembangan kekaryaan si perupa dan mengenali titik-titik penting tertentu.

Seingat saya, di rumah Agus Suwage di Yogyakarta hampir selalu banyak orang. Selain mempekerjakan banyak asisten, yang memang dibutuhkan untuk mengerjakan berbagai projek artistiknya, hampir selalu ada teman atau tamu yang datang untuk berbagai keperluan. Jika orang-orang berkumpul, seperti biasa, ada makanan, minuman, perbincangan, dan tentu saja: rokok. Satu dari sekian banyak tempat sampah di rumah Suwage dikhususkan untuk menampung puntung rokok. Rupanya ia sedang mengumpulkan puntung rokok untuk dibikin karya. Di pameran ini, kita bisa lihat sejumlah besar puntung rokok dibungkus dalam wadah berbentuk gitar dan memadati kotak gerobak becak rakitan. Pengalaman ini saya ceritakan untuk mengilustrasikan Suwage sepertinya bisa memungut apa saja untuk dirumuskan jadi karya seni.

Betulkah apa saja bisa dijadikan seni, atau ada kecenderungan untuk memungut hal-hal tertentu saja?

Tak perlu terlalu jeli untuk segera mengenali tampilan satu wajah yang terus-menerus mendominasi pemandangan. Ia bukan hanya banyak dan menempati posisi penting, ia juga besar: bayangkan menatap wajah bervolume 260 x 147 x 130 sentimeter dari alumunium yang sengaja dipasang lebih tinggi dari manusia, hingga tengadah kita menatapnya. Wajah itu adalah potret si perupa sendiri. Suwage memang dikenal kerap menampilkan potret dirinya. Ia difoto dalam berbagai pose lalu foto-foto itu jadi acuan gambar. Ia menjadikan dirinya model cetakan lalu dijadikan patung. Kenapa ia jadi penting?

Saya kira, selain soal wajah itu adalah wajah Suwage, hal lain adalah ia merupakan sosok khusus yang sengaja ditempatkan dalam berbagai situasi. Dalam hal wajah representasional, Suwage juga banyak menampilkan tokoh-tokoh historis. Maksud saya, bukan dalam pengertian pemihakan pada narasi besar seperti tersirat dalam frasa "pelaku sejarah", tetapi lebih seperti suatu karakter dalam alur historis tertentu. Karya "Ars Longa" dan seri "Aku ingin Hidup Seribu Tahun Lagi", menyituasikan sejumlah tokoh dalam alur waktu fana. Seseorang menjadi penting ketika ia memproblematikakan dirinya, terus-menerus menguji situasi di mana ia berada, lalu pada gilirannya sejarah akan mengamini atau menolaknya, merayakan atau menyingkirkannya, menyebutnya pahlawan atau penjahat.

Waktu kemudian mengantar pada kematian. Tubuh yang disakiti dan habis jadi tengkorak tampil berulang-ulang. Dalam hubungannya dengan sejarah, karakter yang terus menampilkan dirinya disakiti, Frida Kahlo pun tampil. Suwage bukan hanya menampilkan potret diri Kahlo disalib dan tubuhnya dipenuhi anak panah (karya "Vox Morits, Vox Orbis"), Suwage juga menampilkan dirinya dalam pose yang pernah ditampilkan Kahlo: gambar potret diri setengah badan dengan jantung yang terpisah dari dada (karya "Frida Kahlo’s Lonely Heart Club Band"). Gambar-gambar potret tokoh pada karya "Ars Longa" dilengkapi jam dan dituliskan pula padanya tanggal tertentu. Antara gambar yang mengabadikan orang yang telah tiada—dengan demikian mengatasi waktu yang telah menggerus—dipertentangkan dengan kebiasan kita mengkaveling waktu menjadi satuan-satuan matematis yang kaku dan membatasi. Apakah sesungguhnya beda hari ini dan hari esok—apakah karena hari ini dinyatakan tanggal 18 dan besok tanggal 19?

Kurator pameran, Enin Supriyanto menggarisbawahi peran gambar sebagai unsur dasar penting. Suwage dinyatakan telah merevitalisasi teknik ini. Pilihan karya-karya dalam pameran ini, saya kira menunjukkan bagaimana teknik gambar dirayakan. Pada banyak bagian kita bisa melihat Suwage membuat gambar kemudian mengolah idiom yang sama dalam bentuk trimatra.

Banyak gambar karya Suwage, terutama hingga 1990-an, menampilkan ruang trimatra yang didatarkan. Karya "Keberangkatan", menampilkan satu "perahu-gerobak" berdayung mengangkut sejumlah kepala. Karya dilengkapi mekanik berbunyi gemuruh membuat gerak mendayung perlahan. Latar belakang "kendaraan" ini adalah gambar charcoal berupa gerobak yang sama membawa tubuh-tubuh tanpa kepala. Latar belakang gambar adalah citra sebuah pojok ruangan berbatas dinding. Ditempatkan di ujung Bale Tonggoh SSAS, latar gambar ini terasa meniru batas ruangan itu. Bentuk trimatra dilengkapkan dengan ilusi dwimatra.

Ada unsur lain yang tampil berulang-ulang: becak. Becak berskala 1:1 dimodifikasi jadi ayunan, disepuh stainless steel. Becak miniatur dimuati boneka-boneka babi lucu. Empat becak miniatur menyangga satu papan catur. Becak dengan gerobak yang dipenuhi puntung rokok. Becak-becak itu selain telah berubah fungsi, mereka juga diletakkan dalam ruangan. Roda dan pedal adalah potensi gerak, tetapi mereka tidak mobile lagi. Ini paradoks lain dalam karya Suwage: mobilitas yang dibikin diam.

Soal pengulangan-pengulangan yang tampak mencolok pada rangkaian karya Suwage, bagi Enin Supriyanto ini serupa pengujian: kebalikan dari filsuf yang terus mencari "kebenaran" Suwage mengekspose dirinya pada kemungkinan bahwa ia mungkin saja "salah". Ataukah ini sebentuk keraguan? Keraguan yang kemudian membuat subjek seniman Suwage merasa perlu mengolahnya lagi, melakukan usaha perbaikan, dan menampilkannya berulang. Pengulangan ini seperti menunjukkan satu hal: ketika seniman telah memilih cara mengeksekusi gagasannya lalu menampilkan pilihannya pada orang banyak, ia kemudian dihantui ingatan tentang betapa sebelum pilihan itu dijatuhkan ia berada dalam keluasan berbagai alternatif.

Ketika Suwage memungut tokoh sejarah juga puntung rokok dan mematut-matutkan dirinya dalam pose tertentu untuk dijadikan seni, ia sedang memfiksikan kenyataan. Dengan demikian, figur-figur pada karya Suwage serupa karakter-karakter dalam fiksi tetapi tetap dalam pertautan dengan kenyataan. Strategi Suwage meminjam berbagai citraan yang telah dikenal dan berbagai hal dari keseharian menegaskan pertautan ini.

Ini ciri zaman kita: fiksi adalah cermin dari fakta. Figur-figur itu, yang merupakan representasi dari manusia nyata dilengkapi dengan berbagai properti, ditempatkan dalam situasi-dalam ruang, pada gilirannya mengungkapkan tanya: apakah kita sadar tentang dunia sebagai ruang tempat kita ada atau kita sekadar menganggapnya sebagai latar belakang?***

* Heru Hikayat, kurator.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 18 Oktober 2009

1 comment:

Unknown said...

maaf bisa dipostkan email- om agus suwage!!??