Saturday, October 24, 2009

Temu Sastra Nusantara IV: Mengupas Kearifan Lokal, Media, dan Wisata Sastra

KARYA sastra tradisional, sebagai potensi budaya local mampu memberi kontribusi dalam membangun sastra Nasional. Dan sastra lokal yang merupakan "genius local" sebenarnya memiliki nilai-nilai universal. Karena itu dalam membangun sastra Nasional, sudah sepatutnya ada langkah usaha mengembangkan sastra lokal yang terdapat di berbagai daerah di Indonesia.

Di Bali sendiri, memiliki tradisi besar bahasa, aksara, dan karya sastra lokal serta potensi budaya lokal. Demikian akhir dari sajian makalah yang disampaikan oleh DR Ida Bagus Sedhawa, SE Msi, "Potensi Budaya Lokal Dalam Pengembangan Sastra Nasional", dalam acara Temu Sastra Nusantara MPU ke IV, berlangsung di Surakarta (Solo) pada 16-18 Oktober lalu.

Pada bagian lain acara diskusi, DR Agus Maladi Irianto MA (dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro dengan makalah, "Kebudayaan, Media, dan Kearifan Lokal", menguraikan tentang pergeseran tatanan nilai-nilai dewasa ini. Bagi Agus Maladi, lahirnya identitas-identitas oleh media yang mengekspresikan sikap mendistorsis makna "The Sacred" yang akhirnya menciptakan makna baru.

Melalui media, berlangsung pembenturan yang mengguncang struktur kebudayaan dan sistem komunikasi yang telah mapan, berubah pada struktur kebudayaan dan sistem komunikasi baru.Terutama dalam masyarakat kota dengan terjadinya proses perubahan yang sangat cepat. Dalam hal ini media memberi kontribusi yang sangat besar dalam mengkonstruksi realitas tersebut. Dan tak jarang pula dalam waktu yang berubah secara cepat media mendekonstruksi dan merekonstruksi realitas.

Sehingga kebudayaan tidak lagi sebagai keseluruhan tingkah laku dan pola pemikiran secara mapan dari suatu masyarakat. Sebab telah terjadi suatu pembentukan realitas yang selalu diproduksi dan direproduksi secara terus menerus tersuatu kelompok masyarakat.Terjadi semacam arena sebuah dekonstruksi dan rekonstruksi kebudayaan yang kemudian melahirkan identitas-identitas baru. Kata lokal yang melekat pada kata kebudayaan sering diterjemahkan sebagai sesuatu yang statis dalam dimensi ruang yang tetap.

Di sini, Agus Maladi mengingatkan bahwa lokal agar disikapi sebagai landasan bagi pembentukan jati diri bangsa secara Nasional. Sehingga kebudayaan lokal memiliki makna dalam menandai suatu bangsa yang memiliki akar secara jelas. Dan menggali kebudayaan lokal adalah membangun kesadaran tentang kearifan-kearifan. Walaupun bukan mustahil sebagian hilang karena proses persilangan dialektis (akulturasi) dan transformasi yang telah, sedang, dan bakal terjadi.

Kesadaran upaya menemukan identitas bangsa atas dasar kearifan lokal adalah hal penting. Demi penyatuan kebudayaan bangsa atas dasar identitas daerah-daerah yang ada di Indonesia. Agar kearifan lokal memperoleh maknanya dalam kaitan pemahaman, apresiasi nilai-nilai kultural. Agar tercapai usaha meningkatkan ketahanan budaya bangsa, pembangunan Nasional perlu bertitik tolak dari upaya pengembangan kearifan lokal. Kemudian sejumlah pertanyaan disorongkan. Apakah karya sastra masih menjadi sarana yang dipakai oleh manusia untuk mengaktualisasikan ide-ide, gagasan-gagasan, dan hasil tulisan semata.

Mampukan karya sastra mengakomodasi perubahan kebudayaan lokal dan sosial akibat revolusi informasi saat ini. Mampukah perjalanan sastra Indonesia sejalan dengan konstruksi, dekonstruksi, dan rekonstruksi realitas media yang berubah terus menerus secara cepat.

Seperti halnya pembicara yang lain, Teguh Supriyanto (Unnes Semarang) "Tegur sapa: Sarana Membangun Pariwisata Sastra" menyatakan tentang kearifan lokal sebagai sumber nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal.Itulah sebabnya setiap daerah memiliki kearifan lokal yang tercermin dalam bentuk-bentuk aktivitas kultural.

Kearifan lokal, meskipun antara daerah yang satu dengan lainnya berbeda sebenarnya perbedaan itu terletak hanya pada bentuk luarnya karena kandungan di dalamnya memiliki nilai-nilai universal. Oleh karena itu, melalui kearifan lokal antara daerah yang satu dengan daerah yang lain memungkinkan untuk saling bersapa.

Sastra yang berakar pada nilai-nilai itulah yang memungkinkan muncul saling bertegur sapa. Dengan demikian akhirnya sastra yang berakar pada kearifan lokal menjad milik kita bersama yang harus diopeni bersama. Institusi yang disebut sastra perlu ada peluang yang memungkinkan saling menyapa di antara lembaga yang lain, seperti sekolah, masyarakat pembaca, penerbit, dan yang paling penting adalah kalangan pemerintahan. Agar para penguasa daerah menyadari betapa pentingnya karya sastra dibaca masyarakat.

Saling mengenal, belajar, dan saling memberi. Melalui itu kita bisa mengenal karakteristik setiap daerah, membangun emosi kebangsaan, pewarisan nilai-nilai budaya bangsa untuk dipertahankan dan dikembangkan. Inilah proses relasi-relasi ideologis antar lembaga dalam rangka pencerahan yang kemudian disebut wisata sastra. Pembicara yang lain, Radhar Panca Dahana, "Ajisaka

Dalam Advonturisme Sibernetika" bicara tentang bagaimana kreatifnya kemampuan adaptasi dan akulturasi yang dilakukan oleh kebudayaan-kebudayaan lokal melalui interelasi kultural dengan kebudayaan dari luar. Sejak kita mengenal dan memahami identitas budaya-budaya lokal, seperti Jawa, Bali, Madura, Minang, Aceh, Sunda, Melayu, Banjar, hingga Bugis atau Sumba, dan lain-lain sebagai tradisi atau budaya local. Bukti nyata adalah bagaimana semua identitas etnis itu dapat survived dan bahkan tetap berkembang hingga hari ini. Kenyataan yang memperlihatkan bahwa tradisi atau budaya lokal adalah suatu produk yang selalu kontemporer.

Dalam pengertian, produk-produk budaya itu senantiasa hadir secara mutakhir. Adalah sosok yang tak pernah berubah sejak masa lalu, sejak adab dan adat yang didirikan dan dibangun oleh nenek moyang kita: Kita adalah manusia tradisi, manusia kultural, sebuah entitas yang tidak pernah berhenti mengkonstitusi dirinya sendiri, dan mengamandemen pada setiap momentum yang dia butuhkan.Sebagai tradisi itu sendiri. Sebuah kata kerja sekaligus kata benda yang tak berhenti meemperbaharui diri, menjadi masa kini, modern, dan kontemporer.

Tinggal kepercayaan diri yang tinggi, kesetiaan dan disiplin yang tinggi pada ritus dan mekanisme artistik tradisional, menentukan seberapa kuat mampu menerima realitas kekinian, seberapa hebat kualitas seni yang dihasilkan

Kegiatan penyelenggaraan Temu Sastra Mitra Praja Utama (MPU) lanjutan dari kegiatan penyelenggaraan Temu Sastra MPU terdahulu yang telah berlangsung di Banten, Bali, dan Jawa Barat. Realisasi kerjasama antar sepuluh Provinsi di bidang sastra, dari NTT sampai Lampung. Dan diselenggarakan secara periodik setiap tahun. Untuk penyelenggaraan tahun 2010 disepakati berlangsung di Lampung dan menyusul tahun 2011 Provinsi Jawa Timur.

(Slamet Rahardjo Rais)

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 24 Oktober 2009

No comments: