Saturday, October 17, 2009

Di Balik Penerbitan Buku Sastra Swadaya

-- Adek Alwi

BULAN-bulan terakhir saya menerima beberapa antologi cerpen dan puisi. Buku-buku itu tak cuma karya pengarang/penyair yang tinggal di Ibu Kota dan terbit di Jakarta, akan tetapi juga karya pengarang/penyair yang berdomisili di daerah, dan diterbitkan di daerah.

Dari Jakarta, saya terima antologi cerpen Papirus, berisi cerpen 24 mahasiswa/i Jurusan Teknik Grafika & Penerbitan Politeknik Universitas Indonesia. Lantas kumpulan puisi Di Antara Kita karya Salimi Ahmad; Antologi 20 Penyair yang berisi puisi 20 penyair usia 50-60 tahun; kumpulan cerpen Tina K Laki-laki Beroma Rempah-Rempah yang diterbitkan Kutubuku (milik Kurniawan Junaedhie, yang juga menerbitkan antologi cerpen saya, Nasihat-nasihat Cinta); dan Cerpen Kompas Pilihan 2008 Smokol yang memuat 15 cerpen dari 15 pengarang.

Dari daerah, ada antologi puisi Redi Lawu, memuat sajak-sajak 19 penyair yang tinggal di sekitar Gunung Lawu, diantaranya Beni Setia (Caruban), Hardho Sayoko SPB, Kusprihyanto Namma, Tjahjono Widarmanto, Tjahjono Widijanto (Ngawi), Jo Pakagula (Karanganyar), UE Wriasasmita (Ponorogo), juga Danarto (berdomisili di Jakarta lahir di Klaten). Lalu antologi cerpen Mimpi Jelang Pemilu berisi 10 cerpen dari 10 pengarang, yaitu Andi Dwi Handoko, Atmo Kanjeng, Dian Hartati, Gatot Prakosa, Gusmel Riyadh, Indrian Koto, Joko Purwanto/Jo Pakagula, Kusprihyanto Namma, Titik Andarwati, serta Yuditeha.

Selain buku-buku itu, saya percaya, tentu banyak lagi karya sastra terbit di paruh pertama 2009 dan tidak semua diterbitkan penerbit profesional. Buku-buku tadi misalnya, cuma Laki-laki Beraroma Rempah-rempah, Antologi 20 Penyair, dan Smokol yang terbit lewat penerbit benaran. Lainnya diterbitkan sendiri oleh para sastrawan, dibiaya sendiri atau patungan ramai-ramai, ataupun didanai sponsor tak mengikat.

Dan, bagi saya itu menarik, menggirangkan, mengharukan. Pertama, sebab hal itu melihatkan kehidupan sastra tetap ajek, bergairah, di Ibu Kota dan daerah. Frekuensinya tidak turun oleh aktivitas politik terkait pileg-pilpres, konsentrasi media cetak/ elektronik yang dijejali berita politik, cuapan pakar yang bak pengamat sepak bola. Di mata saya, itu sekaligus melihatkan buramnya visi media, lantaran lupa melihat manfaat yang disimpan sastra; pembangunan manusia dengan menyuburkan apa yang ada di dalam dada.

Tapi, itu pun tak aneh. Di zaman Orde Baru manusia Indonesia dibiasakan supaya pragmatis saja, berorientasi raga, sehingga jangan pula pelaku pers muda usia (lahir pada masa Orde Baru), elit politik/kekuasaan pun tidak akrab dengan kebudayaan, seni, sastra. Lain dengan pemimpin Indonesia tempo lalu (founding fathers); Sjahrir, Sukarno, banyak lagi, termasuk nama-nama yang bisa kita ikuti di Polemik Kebudayaan tahun 1930-an.

Para pelaku sastra sadar betul hal itu. Jauh dari berkecil hati, mereka justru terus berkarya; tulis puisi, cerpen, novel, galang dana lantas terbitkan sendiri atau ramai-ramai. Langkah ini ditempuh karena saat ini penerbit pun berorientasi laba melulu. Laba penting bagi penerbit. Tetapi kalau laba sama sekali meniadakan idealisme (sampai menerapkan subsidi silang buku yang bisa raup untung dan yang kurang pun tak sudi), maka tertutup pintu bagi buku puisi untuk diterbitkan. Itu yang kini terjadi, seperti jarum dalam jerami penerbit yang mau menerbitkan buku-buku puisi.

Nah, para sastrawan/penyair sisihkan penghasilan (sebagai guru, wartawan, dosen dll), atau cari donatur yang masih melek melihat makna di balik sajak, lalu terbitkan buku puisi. Buku itu dibagi-bagi gratis pada khalayak, karena mungkin hanya 99 koma sekian persen saja manusia Indonesia yang sadar guna puisi.

Proses terus berkarya itu, jelas tak sebatas ekspresi belaka. Dan menerbitkan buku sastra lalu membaginya secara gratis, jelas pula bukan didasari ingin populer. Keduanya dilandasi makna itu tadi: karena sastra berdampak pada pertumbuhan jiwa, menggetarkan dada, menggetarkan rasa.

Dada yang tidak mudah lagi bergetar, atau keringnya rasa, adalah persoalan gawat bangsa kita dewasa ini. Di kota-kota besar macam Jakarta, orang kini tak merasa apa-apa dengan kemewahan melimpah-ruah, sedang orang lain (yang tidak lain saudara sebangsa) buat makan apalagi untuk bersekolah, susah. Orang pun senyum terus di televisi, padahal jelas-jelas dia divonis korupsi, merampok uang negara, uang rakyat yang kini nestapa. Banyak lagi hal aneh, ganjil, mencemaskan, akibat jiwa yang tidak bisa lagi bergetar, rasa yang makin hari hilang dari dada.

Kedua, yang bikin saya girang sekaligus haru melihat beterbitannya antologi puisi dan cerpen dibiayai sendiri atau disponsori (akibat penerbit ogah sebab tak hasilkan laba), hal itu tidak saja terjadi di Ibu Kota, tapi juga di daerah-daerah. Malah, daerah tampaknya lebih bergairah, lebih ikhlas, misalnya sastrawan-sastrawan di lereng Gunung Lawu tadi. Di Ngawi, mukim Kusprihyanto Namma yang dulu aktif meneriakkan revitalisasi sastra pedalaman, dan hingga kini tampaknya tidak putus dengan menerbitkan buku-buku sastra berswadaya.

Ngawi, Caruban, di catatan saya memang telah tertera dengan bulatan merah di peta sastra Indonesia, seperti juga Payakumbuh, ataupun beberapa kota/daerah lainnya. Tahun 1970-an lebih-lebih sebelumnya, kota-kota seperti Ngawi, Caruban, Payakumbuh, belum terlihat di peta sastra Tanah Air. Para sastrawan di Nangroe Aceh Darussalam, dan Depok yang sepelemparan batu dari Jakarta, dari buku-buku mereka yang saya terima pada 2008, juga terlihat melakukan hal serupa. Menerbitkan buku sastra, sajak/cerpen, didanai sponsor, bagi-bagikan gratis.

Saya sendiri di Ibu Kota sudah dua kali melakukan itu. Pertama November 2008, untuk kumpulan cerpen Suara Rimba, disponsori pihak Departemen Kehutanan. Kedua, Agustus 2009, untuk kumpulan cerpen Rumah Yang Bercahaya dengan 6 sponsor: Bank BTN, PT Belaputra Intiland, PT Arwana Citamulia Tbk, Bapertarum-PNS, Perum Perumnas, DPP REI. Buku-buku itu dihadiahkan sponsor kepada relasi. Saya sendiri membagikan buku-buku itu ke berbagai pihak; teman-teman, relasi, perpustakaan, media massa, pejabat, rupa-rupa lembaga, dan sebagainya. Langkah itu akan saya tempuh terus sejauh penerbit profesional berorientasi laba melulu, tidak sudi kasih subsidi silang untuk buku-buku sastra.

Ada beberapa manfaat saya rasakan dengan langkah di atas. Pertama, karya-karya saya, yang selama ini bertaburan di berbagai media massa, terdokumentasi dalam wujud buku. Kedua, banyak-sedikit tentu saya dapat duit; bahkan berkali lipat dari royalti kalau buku itu ditangani penerbit. Ketiga, jalan ini akan merapatkan jarak antara pihak sponsor dan karya sastra (dan ini penting sekali, menurut saya). Keempat (kiranya ini tidak kalah penting dari yang ketiga), karya sastra saya dapat tersebar ke berbagai pihak, melalui sponsor dan saya. Moga-moga saja mereka yang kebagian serta membacanya (khususnya mereka yang selama ini masih awam sastra) bisa memetik manfaat yang dikandung karya sastra tadi, yaitu menyuburkan rasa, menghalangi kematian getar dalam dada.

* Adek Alwi, pengarang, wartawan, dan dosen.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 17 Oktober 2009

1 comment:

DRU said...

semoga suatu saat nanti saya bisa menjadi salah satu dari mereka,bisa membukukan coretan-coretan saya.
salam kenal.