-- Asvi Warman Adam*
SETIAP tanggal 28 Oktober dari tahun ke tahun diperingati "Sumpah Pemuda" dengan tema dan skala peringatan yang tidak sama. Untuk apa peringatan tersebut ? Sejarawan Prancis, Mona Ozouf, mengatakan bahwa peringatan sejarah itu diadakan untuk mengingatkan semua orang bahwa "kita semuanya tetap sama seperti waktu lalu dan kita ingin tetap sama di masa yang akan datang". Kita memperingati hari sumpah pemuda karena ingin menekankan bahwa nilai-nilai yang tertuang dalam peristiwa itu sangat diperlukan sekarang: persatuan tanpa membedakan suku dan agama serta keberanian menghadapi tekanan pihak asing yang jauh lebih kuat dari kita.
Pentingnya persatuan ini dapat dilihat dalam konteks sejarah masa lalu, sekarang dan masa depan. Secara normatif, kenyataan yang sulit hari ini hanya dapat diatasi dengan modal persatuan agar kita dapat menuju hari esok yang lebih baik. Pada masa Orde Baru istilah persatuan itu digenapkan menjadi "persatuan dan kesatuan".
Pandangan Sukarno tentang "trimatra" sejarah: masa lalu yang jaya (the glorious past), masa kini yang sulit (the dark present) dan masa depan yang cerah (the promising future) juga dianut oleh rezim Orde Baru. Dipercaya bahwa munculnya nasionalisme menumbuhkan persatuan yang menjadi modal perjuangan merebut kemerdekaan untuk memasuki masa depan gemilang. Skema "jaya-sengsara-cerah" ini diikat oleh frase "persatuan dan kesatuan" yang bisa menjadi kunci untuk memahami gerak sejarah bangsa Indonesia.
Yang berbeda antara Orde Baru dengan penguasa sebelumnya adalah cara mencapai masa depan yang lebih baik itu. Penafsiran dan penggunaan nasionalisme pada zaman Sukarno berbeda dengan era Soeharto. Pada masa pemerintahan Sukarno, nasionalisme itu dihubungkan dengan kebangkitan dunia ketiga dan semangat anti kolonialisme. Oleh Soeharto, nasionalisme itu dijinakkan dan diselaraskan dengan pembangunan yang mengandalkan stabilitas keamanan.
Pada dasarnya sejarah itu dapat dibagi dua, sejarah sebagai peristiwa yang terjadi pada masa lalu (histoire realité) dan sejarah sebagaimana diceritakan (histoire recité). Sejarah sebagai realitas, tentunya dapat diganggu-gugat lagi karena pengalaman itu telah lewat. Namun sejarah yang dituturkan dapat berubah-ubah, demikian pula hari-hari yang penting untuk diperingati.
Maka Sumpah Pemuda --yang dianggap sebagai salah satu tonggak kebangsaan Indonesia -- dikenang sejalan dengan perkembangan masa. Yang dikenang oleh Presiden Sukarno tahun 1949 bukanlah "Sumpah Pemuda", melainkan himne Indonesia Raya yang ditampilkan oleh Wage Supratman 28 Oktober 1928. Tanggal 28 Oktober 1954 diadakan Kongres Bahasa Indonesia kedua di Medan, yang merupakan kongres pertama setelah Indonesia merdeka. Kota Medan dipilih M Yamin sebagai tempat kongres karena dinilai merupakan kota yang dihuni beragam etnis namun dapat menggunakan bahasa Indonesia sebagai "bahasa persatuan".
Pada tahun 1956 mulai timbul gerakan separatisme, maka Bung Karno pun berpidato tentang "penyimpangan dari Sumpah Pemuda 1928". Ketika keadaan menjadi kritis tahun 1957, pergolakan daerah muncul, maka justeru ketika itu peringatan Hari Sumpah Pemuda dirayakan secara besar-besaran (Keith Foulcher, 2000). Diperlukan simbol pemersatu, dan itu diperoleh dari pernyataan yang pada Sumpah Pemuda.
Setelah pergolakan di daerah dapat diatasi, maka Sumpah Pemuda pun dikaitkan dengan Manipol tahun 1960 dan pada tahun berikutnya Sumpah Pemuda merupakan bagian dari slogan untuk merebut Irian Barat. Pada era Orde Baru, nilai-nilai pada Sumpah Pemuda dihubungkan dengan upaya untuk memantapkan landasan pembangunan nasional.
Sumpah Pemuda yang diikrarkan tanggal 28 Oktober 1928 memang merupakan sumpah yang diperlukan oleh pemerintah (terutama pada masa Orde Baru) untuk mendukung retorika pembangunan yang mengandalkan "persatuan dan kesatuan". Namun Sartono Kartodirdjo menganggap Manifesto Politik 1925 adalah tonggak sejarah yang lebih penting daripada Sumpah Pemuda. Manifesto itu dikemukakan oleh Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda yang intinya: 1) Rakyat Indonesia sewajarnya diperintah oleh pemerintah yang dipilih mereka sendiri; 2) Dalam memperjuangkan pemerintahan sendiri itu tidak diperlukan bantuan dari pihak manapun; 3) Tanpa persatuan kokoh dari pelbagai unsur rakyat tujuan perjuangan itu sulit dicapai. Di dalam ketiga butir pernyataan tersebut tercakup konsep nasion Indonesia, demokrasi, unitarianisme, otonomi dan kemerdekaan. Prinsip-prinsip nasionalisme di dalamnya mencakup unity, liberty, equality.
Ada tiga hal yang ingin disampaikan sebagai penutup artikel ini. Pertama, prestasi luar biasa para pemuda tahun 1928 adalah mengeluarkan ikrar persatuan tanpa membeda-bedakan suku bangsa dan agama. Negara kita bukan negara agama walaupun sila pertama dari dasar negara Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Upaya untuk mendirikan negara agama jelas suatu kemunduran dari apa yang sudah disepakati 81 tahun silam.
Kedua, etno nasionalisme telah bertransformasi menjadi nasionalisme Indonesia sejak awal abad XX. Bangsa kita terdiri dari ratusan suku bangsa yang telah berjuang dalam merebut dan kemudian mengisi kemerdekaan. Dalam percaturan politik belakangan ini nuansa kesukuan ini kembali mencuat. Sangat logis bila anggota kabinet terdiri dari tokoh yang berasal dari berbagai suku bangsa. Namun memaksakan kehendak bahwa suku tertentu harus menjadi menteri tentulah tuntutan yang berlebihan.
Ketiga, secara kongkret pemuda haruslah menjadi agen perubahan di tanah air kita baik di kota maupun di desa. Program KKN (Kuliah Kerja Nyata) bagi mahasiswa selama tiga bulan di desa-desa yang dijalankan semasa lampau perlu dihidupkan kembali. Menteri Pemuda dan Olahraga, Dirjen Pendidikan Tinggi bekerja sama dengan Pemerintah Daerah perlu mensukseskan program ini. Mungkin pembiayaan dapat dikeluarkan dari anggaran Pemerintah Daerah karena mereka yang memetik manfaat dari "turba" (turun ke bawah) para mahasiswa termasuk laporan lapangan yang dapat digunakan untuk membenahi pembangunan di desa.
* Asvi Warman Adam, Ahli Peneliti Utama LIPI
Sumber: Jurnal Nasional, Rabu, 28 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment