Sunday, August 09, 2009

[Kehidupan] Inspirasi dari Rendra

DI balik pesona sebagai ”Burung Merak”, almarhum WS Rendra adalah pekerja seni budaya yang teguh memperjuangkan cita-cita. Melintasi berbagai tekanan ekonomi dan politik, Bengkel Teater-nya menancapkan tonggak penting teater modern serta melahirkan sejumlah seniman kuat di Tanah Air.

Pentas puisi Rendra di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, tahun 2005. (KOMPAS/DANU KUSWORO)

”Bersumpahlah.... Jangan bikin grup teater.... Hasilnya apa? Jangan nulis sastra.... Gajinya tak seberapa. Tidak ada kesempatan beridealisme di Indonesia,” kata Narti. Demikian catatan Rendra mengutip ancaman istri pertamanya, Sunarti, dalam buku Rendra dan Teater Modern Indonesia (editor Edi Haryono, tahun 2000).

Ancaman itu dilontarkan Narti ketika Rendra baru pulang studi dari American Academy of Dramatic Arts di New York, Amerika Serikat, tahun 1967. Namun, ternyata larangan itu didobrak, bahkan kemudian Narti ikut hanyut dalam idealisme jalan kesenian.

Rendra mendirikan kelompok teater tahun 1967—yang kemudian dikenal sebagai Bengkel Teater Rendra. Kelompok ini berlatih di depan rumahnya di Ketanggungan Wetan, Yogyakarta. Dia sendiri juga berkembang sebagai penyair besar.

Meski begitu, peringatan Narti tentang sulitnya beridealisme di negeri ini juga menjadi kenyataan. Dari kenyataan inilah, Bengkel Teater itu tumbuh. Begitu pula lika-liku hidupnya sebagai penyair.

Pada masa awal, Bengkel Teater menghadapi kesulitan ekonomi. Untuk mementaskan lakon Bip-Bop di Balai Budaya Jakarta tahun 1968, misalnya, mereka merogoh kocek sendiri. Sebagaimana diceritakan Rendra dalam catatan tadi, pertunjukan itu didanai dari uangnya sendiri, uang Chaerul Umam (katanya, dengan menggadaikan sepeda), serta sumbangan uang tiket dari Trisno Soemardjo.

Bengkel kemudian berlatih menghidupi diri sendiri dengan menjual tiket pentas, terutama sejak pentas Oedipus Sang Raja (tahun 1969). Setiap pemain dapat honorarium yang cukup untuk hidup.

Sitoresmi Prabuningrat (59), istri kedua Rendra, yang aktif di Bengkel tahun 1970-1979, menceritakan seusai pemakaman Rendra di padepokan Bengkel Teater Rendra di Citayam, Depok, Jawa Barat, Jumat (7/8), produksi teater mengandalkan penghasilan satu pentas untuk membiayai pentas berikutnya. ”Saat uang habis, kami, anak- anak teater, utang pada warung yang menjadi tetangga teater dengan janji akan dibayar kalau dapat persekot pentas berikut. Mereka memberi utangan karena kami tinggal di situ,” kata Sito.

Masa sulit

Karena semua anggota belum bekerja dan sehari-hari hanya berlatih teater, Rendra menanggung makan mereka. ”Saya tanya, ’Mau makan apa?’. Rendra bilang, ’Sudah, pokoknya makan di rumah’. Dan saya tahu persis, banyak kawan disuruh Rendra menggadaikan apa saja, termasuk piring makan Mbak Narti,” tutur Amaq Baldjun, anggota Bengkel Teater sewaktu bermarkas di Yogyakarta.

Masa-masa sulit menerpa ketika Rendra dijebloskan dalam penjara selama beberapa bulan tahun 1978 karena dianggap membahayakan pemerintahan Orde Baru. Kesusahan makin menjadi Bengkel dilarang pentas sejak tahun 1979 hingga 1986. ”Kami mencari makan dengan membuat berbagai kerajinan kulit atau batu akik,” kata Edi Haryono, anggota Bengkel Teater sejak tahun 1974.

Kelompok bisa bertahan karena ikatan kekeluargaan kuat, sedangkan Rendra juga punya jiwa sosial tinggi. Kadang, bahkan anak-anak kandungnya harus mengalah. ”Di bengkel, hubungan keluarga erat sekali. Dia saya anggap sebagai kakak sendiri,” kata Udin Mandarin, anggota Bengkel sejak tahun 1973.

Sitok Srengenge, penyair dan anggota Bengkel Teater, mengenang bagaimana seorang Rendra menekankan kebersamaan dan ketahanan dalam segala situasi. Seluruh anggota, misalnya, hanya boleh punya dua celana. Jika lebih, harus diberikan kepada kawan lain. ”Tujuannya, mengajarkan kesederhanaan. Kata Rendra, kegagahan dalam kemiskinan,” kenang Sitok.

Bengkel Teater pindah ke Depok, Jawa Barat, tahun 1986, ketika mulai menggarap lakon Penembahan Reso. Setelah diundang pentas di Amerika tahun 1988, kemudian pentas keliling Eropa, mereka dapat uang lumayan banyak. Hasilnya dibelikan tanah dan membuat semacam padepokan di Citayam, Depok, tahun 1989.

Pada masa itu, anggota teater mencapai sekitar 30 orang dan sebagian tinggal di bengkel. Setelah keuangan membaik dan dengan manajemen keuangan lebih profesional, anggota dapat uang transpor dan uang saku untuk keluarga. ”Bagi Rendra, berkesenian adalah jalan hidup dan kami bisa hidup dari karya seni,” kata Edi menambahkan.

Bengkel Teater terakhir kali pentas dengan lakon Sobrat tahun 2005. Setelah itu, tak ada lagi pentas atas nama kelompok ini karena biaya pentas semakin mahal dan sulit mencari sponsor. Rendra kemudian memilih banyak tampil membaca puisi, mengunjungi kelompok seni di daerah-daerah, dan berceramah.

Tonggak

Lalu, bagaimana nasib Bengkel sepeninggal Rendra yang dipanggil Allah, Kamis malam lalu? ”Tak ada pesan baru menyangkut kelanjutan Bengkel. Bengkel Teater adalah Rendra. Kalau tidak ada Rendra, ya tidak menjadi Bengkel Teater Rendra lagi. Papa tak pernah menyiapkan seseorang untuk melanjutkannya,” kata Clara Sinta, anak kelima Rendra dari istri pertamanya, Sunarti.

Mungkin memang sulit meneruskan kelompok ini. Namun, spirit Rendra dengan Bengkel Teater dan kepenyairannya telah menjadi tonggak sejarah teater dan sastra modern di Indonesia. Rendra telah mendorong seni untuk bergumul dengan konteks sosial dengan mengangkat persoalan-persoalan kehidupan nyata. Secara bentuk, lakon-lakon teater itu menyumbangkan berbagai pendekatan, seperti bentuk mini kata, lalu jadi drama penuh kata-kata, drama tragedi besar, drama syair dan gerak, juga drama pamflet.

Sosok Rendra bersama Bengkel Teater-nya telah menjadi kawah penggodok beberapa seniman penting di Tanah Air. Beberapa anggota Bengkel yang kemudian tumbuh menjadi seniman mandiri, sebut saja, antara lain, dramawan dan penyair Putu Wijaya, sutradara Chaerul Umam, aktor Amaq Baldjun, Edi Haryono, penyair Sitok Srengenge, dan aktor Adi Kurdi.

”Kehidupan dan kesenian Rendra itu sangat impresif dan inspiratif bagi anggota teater dan para seniman lain, mungkin juga siapa pun yang pernah menjumpainya,” kata Adi Kurdi, anggota Bengkel saat masih di Yogyakarta. (ilham khoiri/ putu fajar arcana/ ninuk mardiana pambudy)

Sumber: Kompas, Minggu, 9 Agustus 2009

No comments: