PERDEBATAN karya sastra hampir sebanding dengan perdebatan soal membangun karakter bangsa. Namun tidak dimungkiri, pemerintah sebagai lembaga yang berkompeten membangun karakteristik bangsa, seringkali tidak melibatkan karya sastra dalam penyusunan berbagai kebijakan.
Namun, pada kondisi paling ekstrem, justru kesusastraan seringkali dicurigai akan merusak dan menghancurkan bangsa itu sendiri. Pada era sebelum merdeka, buku-buku yang diterbitkan penerbitan swasta dipantau ketat oleh penerbit Balai Pustaka yang mewakili pemerintah.
Namun, kenyataan lain menunjukkan, era reformasi yang membukakan banyak kebebasan termasuk dalam penerbitan karya-karya sastra, justru cenderung paradoks. Di satu sisi, karya-karya sastra bertumbuh sangat pesat. Namun, di sisi lain, tidak menjamin bertumbuhnya karya sastra itu diikuti kualitas karya yang baik. Malah, muncul kecenderungan siapa pun dapat menulis apa pun.
Keadaan ini semakin parah karena tidak adanya ruang kritik. Karya lahir begitu saja dan nyaris tanpa wacana. Keberadaan sastra seakan tidak ada keterkaitan antara karya sastra dan pembentukan karakteristik bangsa yang dapat ditempuh lewat kritik sastra.
Pada kondisi inilah, Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (Hiski) merasa penting untuk mengadakan Konferensi Internasional Kesusastraan XX. Guna membaca kembali fungsi-fungsi sosial sastra dalam menumbuhkan nilai dan sikap kebangsaan. Bertempat di Isola Hotel, Kampus UPI Bandung, hadir berbagai pemakalah dari dalam dan luar negeri.
**
UNTUK memetakan kembali kesusastraan, Melani Budianta mendefinisikan bahwa sastra adalah seni yang menggunakan medium bahasa. Dalam kaitan berbangsa, sastra adalah sesuatu yang mendukung, melawan, dan bersikap ambigu, terhadap wacana dominan. Sastra juga menyuarakan kelompok yang terpinggirkan dan atau menjadi "hati nurani". Sastra memberikan kritik terhadap tatanan sosial politik ekonomi, membangun wawasan alternatif, membayangkan dunia yang berbeda, dan menjadi modal budaya (aset) dan pengayaan intelektual.
Melani mengatakan, melalui karya rekaan sastra kita membayangkan dan menghadirkan berbagai wilayah satu negara, sehingga pembaca dapat mengalami dan merasa memiliki. Melalui sastra pula masyarakat merajut berbagai acuan budaya, mitos, legenda, dan bahasa-bahasa nusantara, sehingga terjadi "hibriditas lintas budaya".
Pada dasarnya sastra adalah mengolah interaksi lintas budaya dan persoalan-persoalan Indonesia membangun wacana tentang keindonesiaan atau mimpi (termasuk kritik dan mimpi buruk) Indonesia; menggali warna lokal, mitos, legenda rural dan urban dalam dinamika lokal-global; mengangkat persoalan identitas budaya (agama, suku, gender dan seksualitas, kelas) dalam proses mengindonesia yang tak pernah selesai.
Kendati begitu, sastra memberi sistem yang demokratis. Memberi ruang bagi kebebasan berekspresi. Dan dengan kebebasan berekspresi, terjadi demokratisasi sastra yang digambarkan. Pengarang mempunyai kebebasan berekspresi, sedangkan pembaca dan penerbitan mempunyai kebebasan memilih.
Maka pada kondisi kesusastraan kini, Sapardi Djoko Damono menilai, adalah sah bila kemudian masyarakat justru memilih kesusastraan yang lebih "ringan" dan mudah dicerna. Pasalnya, ketika industri menggasak semua lini, tidak ketinggalan dunia sastra telah terjadi perubahan sosial yang tidak saja mengubah karakteristik masyarakat, tetapi juga "mencerabut" masyarakat itu dari asal-muasalnya.
Orang-orang yang datang ke kota "menciptakan" kebudayaan baru yang belum dikenal sebelumnya. Akan tetapi kota menyediakan ruang bagi mereka untuk merasa aman tinggal di dunia yang mengasingkan mereka. Sebagai warga kota, orang-orang ini tidak lagi mengenal kebudayaan desa, tetapi juga mendapat kesulitan untuk mengenal kebudayaan kota. Mereka masuk pada situasi yang memaksa mereka untuk mengembangkan kebudayaan baru yang mudah dicerna.
Dalam kaitannya dengan kesusastraan, masyarakat seperti ini memerlukan bacaan yang lebih "ringan" dari jenis yang sebelumnya berkembang. Waktu luang mereka untuk belajar membaca, tidak cukup mengubah kebanyakan dari mereka untuk mampu bergabung dengan kalangan elite.
Sementara itu, Riris Toha K. Sarumpaet, memandang kesusastraan kini, tidak lebih dari kesusastraan seragam. Masyarakat industri yang dikatakan Sapardi sudah menjadi manusia dengan kebudayaan baru yang bukan kebudayaan masa lalu ataupun masa yang akan datang, tersihir pola global yang mengerutkan manusia pada satu dunia, satu selera.
Sihir Harry Potter sebagai satu di antara produk yang mendunia, telah merontokkan cerita-cerita lain di setiap daerah dan di setiap negara. Hal sama terjadi jauh sebelumnya ketika dongeng Cinderella menjadi sangat "di sini" dan sebagai "kita".
Terpinggirkannya selera kesusastraan pada yang lebih populer atau lebih mendunia, menurut Riris, dilegalisasi dengan sistem pendidikan yang notabene hanya menitikberatkan pada kemampuan kognitif para siswa. Pesan dan nilai-nilai yang disampaikan dalam karya sastra, hanya menjadi anatomi kosa kata yang dipecah menjadi huruf-huruf.
Hibriditas sastra yang dipandang Melani memunculkan pluralisme yang demokratis, Riris justru memandangnya lebih sebagai penyeragaman. Dongeng Cinderella, tidak saja dihafal semua anak, remaja, bahkan orang tua di seantero dunia tetapi tata nilai, sikap, dan ideologi yang disampaikan Cinderella, diterima dan diyakini semua orang. Pendek kata, dongeng Cinderella ataupun Harry Potter telah melahirkan satu sikap dan ideologi yang sama bangsa-bangsa di dunia.
Kendati begitu, Sapardi menegaskan, tidak mungkin karya sastra itu disensor. Masyarakat yang telah berubah dan lebih menyukai bacaan yang populer adalah kenyataan yang tidak dapat dilarang. Persoalannya sekarang, kata Sapardi maupun Riris, mampukah sastra hibrid yang dimaksud oleh Melani itu dibuat para pengarang dan penulis Indonesia, dengan versi baru yang lebih mengindonesia?
**
ADALAH Acep Zamzam Noor, penyair dengan Sanggar Sastra Tasik (SST) yang dikembangkannya, justru telah lebih dulu membumikan sastra hibrid ini dalam ke-Indonesiaan yang tak pernah selesai dengan karut-marutnya.
Rasa kebangsaan atau nasionalisme yang sering disebut sebagai "an awareness of membership in a nation together with a desire to achieve, maintain, and perpetuate the identity, prosperity, and power of the nation" (suatu kesadaran sebagai bangsa yang disertai oleh hasrat untuk memelihara, melestarikan, dan mengajukan identitas, integritas, serta ketangguhan bangsa), bagi Acep dan SST adalah sikap yang diwujudkan dalam bentuk tindakan, untuk memelihara dan melestarikan identitas dan terus berjuang untuk memajukan bangsa dan negara, dengan membasmi setiap kendala yang menghalangi di jalan kemajuan.
Nasionalisme seperti ini, dimanifestasikan Acep melalui berbagai kegiatan--kalau tidak mau disebut sebagai pergerakan--SST. Hal itu dapat dilihat dari keanggotaan orang yang bergabung dengan SST adalah orang-orang teater dan seni rupa, sejumlah siswa SMA, mahasiswa, dosen, guru, ibu rumah tangga, pemusik, penganggur, pedagang kaki lima, kepala desa, serta penarik becak. Termasuk RSPD FM sebagai radio daerah setempat yang dijadikan media publikasi SST.
Untuk pluraritas keanggotaan ini, Acep bersama SST dan Tasikmalaya tempat komunitas ini tinggal, telah meruntuhkan asumsi bahwa seniman/penyair seringkali "terasing" dari lingkungannya.
Yang menarik, gerakan yang dikembangkan kemudian adalah selalu merespons setiap keadaan dan peristiwa dengan langsung "masuk" ke dalam keadaan dan peristiwa yang sedang terjadi itu. Contoh, ketika bahasa para pejabat dan birokrat sudah seragam dan tidak mempunyai "ruh" dari setiap yang disampaikannya, komunitas ini gencar memasang berbagai spanduk dan pamflet yang menggunakan bahasa-bahasa membumi dengan masyarakat.
Pada gerakan ini, Acep bersama SST bukan cuma sedang mengajari para birokrat ini dalam berbahasa, tetapi juga sedang merayakan puisi bersama masyarakat. Pun demikian ketika komunitas ini merespons perhelatan Pemilu 2004. SST tidak sebatas menggelar mimbar puisi, tetapi juga melakukan workshop berupa investigasi terhadap nama-nama dan "track record" caleg dari partai-partai peserta pemilu, khususnya untuk daerah pemilihan Kota dan Kabupaten Tasikmalaya.
Dari investigasi itu nyaris dapat disimpulkan, tidak ada caleg yang bisa dipercaya, semuanya adalah nama-nama lama yang perilakunya sudah diketahui umum. Dari workshop ini lahirlah puisi-puisi kontekstual yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan, yakni kecenderungan yang sangat kuat pada "golput".
Puisi-puisi ini kemudian dibacakan dalam suatu pergelaran yang bertajuk "Penyair Memilih Puisi dalam Pemilu 2004", di Gedung Kesenian Tasikmalaya. Untuk memantapkan ekspresi ketidakpercayaan ini, dua hari menjelang pencoblosan, digelar "Karnaval Golput" yang melibatkan komunitas-komunitas kesenian yang lain.
Dari apa yang sudah dilakukan Acep dengan komunitasnya, kita dapat menangkap suatu formula bahwa mengapresiasi sastra sebagai upaya menumbuhkan rasa kebangsaan adalah dengan terjun langsung pada masyarakat itu sendiri. Komunitas ini tidak menjadikan sastra dan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai satu yang terpisah dari kesusastraan, tetapi justru sebagai satu kesatuan yang di dalamnya adalah para penyair, birokrat, rakyat, bahkan sampai ke tukang bandros penikmat lagu-lagu dangdut.
Uniknya, ketika kesusastraan menjadi tak terpisahkan dan menjadi bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara itu sendiri, para penyair yang notabene menurut Riris Sarumpaet adalah minoritas, tetap intens dalam mendewasakan karya-karyanya. Hal ini dapat disimak pada kegiatan "tradisi enam" yang dijalankan SST. Tradisi ini membagi anggota SST ke dalam grup-grup kecil yang masing-masing berjumlah enam orang.
Grup-grup kecil ini diberi waktu untuk membuat workshop intern, menyiapkan dan mematangkan karya-karya mereka, mengusahakan penerbitan antologi sederhana dan kemudian menyelenggarakan acara berupa pembacaan puisi yang disertai diskusi dengan pembahas dari luar.
Sebagai upaya pemicu kreativitas, kegiatan ini cukup menarik. Ada persaingan yang sehat antargrup, terutama dalam penyelenggaraan acara. Ada juga persaingan antaranggota masing-masing grup, khususnya dalam kreativitas dan produktivitas. Setiap grup diberi nama yang sesuai dengan kecenderungan puisi maupun karakter dari anggota grup itu sendiri, seperti "Enam Penyair Menembus Udara", "Enam Penyair Membentur Tembok", "Enam Penyair Meminum Aspal", dan "Enam Penyair Mengisap Knalpot". Nama dari grup-grup tersebut sekaligus juga menjadi judul antologi puisi mereka.
Jadi, fenomena hibriditas sastra yang dituding tidak lagi memberi "impact" terhadap munculnya rasa kebangsaan, justru hanya muncul ketika para pelaku sastra berjarak dengan masyarakat pembacanya. Ketika para penyair hanya sibuk mencari penerbit untuk menerbitkan buku puisinya dan ketika para akademisi "anteng" meneliti sastra dengan kondisi masyarakat yang justru jauh telah berubah, atau kalangan birokrasi hanya mengejar angka-angka dari pola didik yang dijalankannya.
Maka adalah sah, bila konferensi ini melahirkan delapan butir rekomendasi. Di antaranya bahwa kesusastraan memiliki peran sangat penting dan strategis dalam pembentukan nilai dan sikap kebangsaan, bahkan terlibat langsung dalam pembentukan negara dan bangsa, sehingga kurikulum pendidikan perlu ditinjau ulang karena cenderung mengarahkan pengajaran sastra kepada aspek pembangunan pengetahuan (kognitif).
Kurikulum sebagai kebijakan pemerintah memang sangat politis dan dapat memengaruhi berbagai kebijakan di bawahnya. Namun rekomendasi ini juga menggarisbawahi adalah keharusan pula bila Hiski dan lembaga terkait lainnya, mampu merumuskan berbagai materi ajar dan model pengajaran yang tepat untuk berbagai tingkat pendidikan sehingga rasa kebangsaan akan tetap menggelora dalam situasi apa pun. (Eriyanti/"PR")
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 08 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment