-- Eriyandi Budiman
KEJUTAN selalu datang dengan kualitas psikologis yang dapat mengguncang. Apalagi, jika datang dari sosok yang legendaris. Michael Jackson adalah bukti lain bahwa sejarah kebudayaan selalu mempunyai puncak-puncak yang dapat mengguncangkan peradaban. Apalagi, pada peradaban pascamodernisme, yang mempunyai perangkat artefak budaya yang beragam, tersebar luas dan cepat, serta dapat dibuat dalam beragam format pula. Oleh karena itu, ritus penghormatan kepada sosok legendaris, terutama yang lintas apa pun seperti Michael Jackson ini, menjadi gelombang artefak budaya yang berefek sangat beragam.
Jika di tempat-tempat lain para pencinta Jacko menggelar pentas-pentas musik hingga festival dance, sejumlah pelukis di Bandung, menggelar ritus berupa pameran lukisan. Niatnya tentu untuk mengenang serta menghormati sang maestro musik pop, yang kemudian menjadi ikon-ikon penyerta budaya hingga sosial lainnya. Michael Jackson memang manusia ajaib, semacam nabi kontemporer, yang mengundang empati dari seluruh dunia, beragam latar, dan beragam usia. Para pelukis Bandung yang tertarik dalam program pameran ini, tentu berbuat atas dasar empati yang besar pula. Apalagi secara visual, sosok Michael Jackson justru banyak pula melahirkan efek-efek seni visual yang lebih dari sekadar mencerahkan dan mencerdaskan. Ia bisa menjadi sumber ilham yang tak habis-habis pula. Bisa pula, ia adalah dunia ilham itu sendiri.
Pameran ini tentu juga menjadi catatan penting pula, bagaimana kubu seni rupa, memberi reaksi terhadap ikon kontemporer yang mengguncangkan sosiopsikologis penduduk dunia itu. Sebagian besar karya yang hadir memang berupa empati. Baik kepada kualitas musikal Jackson maupun jiwa sosialnya. Ada beberapa pendekatan kajian visual yang dilakukan para pelukis itu. Misalnya dengan mengutip judul-judul lagunya, gaya tarinya, parodi, hingga kontroversi hidupnya, atau sebutan kepada sang legenda.
Pameran bertajuk Beat It ini diikuti 21 pelukis Bandung, yang hampir semuanya telah lama bergelut di karya lukis, dan telah mempunyai kualitas visual tertentu. Dari sisi visual, pendekatan dilakukan lewat ikon fotografis sang legenda yang telah ada. Ikonitas ini hanya mengalami sedikit pergeseran, baik warna maupun sedikit gesturnya. Ini dilakukan misalnya oleh Abun Adira (Say say say; dan Thriller), Arry Setiawan (Moonwalker); Budhy Noor (MJ, dan IF), Ratman DS (The Genius #1 dan 2), Suherman (The Legend),Tjutju Widjaya (The King of Pop), Yaya Sukaya (She’s Out of My Life), Yusuf Karya (Jacko On Stage), dan Zainudin (Black or White). Karya-karya ini kemudian jadi memperkaya pose-pose Michael Jackson, dalam ragam dimensi dan karakter visual baru.
Simbolisme kemudian dipilih Abdurahman Abro, yang menampilkan sosok bersahaja Jacko dengan dunia merpati dalam dua karya menarik (Beat It # 1 dan Beat It #2). Andreas Camelia kemudian menggali kedalaman psikologis Jacko dalam simbolisme sebuah drawing ber-puzzle dan satu drawing dengan gambaran keterbelahan wajah Jacko. Dua karya hitam putih Andreas ini (Facet #1 dan 2), menampilkan realisme simbolik yang apik dan kuat dalam detail. Simbolisme juga dipilih Didit Sudianto lewat karya visual acak teks-teks dan gambar botol parfum (Was Your Life The Blue Michael), dan sebuah karya semi fotografis (No Matter It’s Black and White). Begitu pula Dedi Syarif yang menampilkan sosok Jacko dalam putik bunga (The Last Flower), dan sebagai penyayang anak (Children’s Lover). Ia sehati dengan Edo Sahir yang memilih karya dengan simbolisme bersahaja (Children’s Friend) juga dengan Dodo Abdullah pada karya (Global Stage dan The Unforgetable). Sedangkan Azasi Adi memilih gaya simbolisme minimalis (Heal The Word dan Of The Wall), dengan penyertaan teks-teks nyanyian Jacko yang filosofis.
Pelukis Dadan Yunandar tampil memilih sublimasi, dengan titik tekan pada semangat visual yang menguatkan warna serta komposisi titik dan garis. Ia memilih mata sebagai objek utama roh Jacko (Eyes and Jack, dan Jack’s Style). Ini berbeda dengan Eddy Hermanto, yang menampilkan dua karakter visual yang berbeda. Ia menampilkan gaya kubisme (The Girl Is Mine), serta semiabstrak dalam corak batu dan gaya kaki Jackson (Moonwalk).
Sementara itu, karya-karya Rizal Pranajaya (Who’s Bad), Rendra Santana (The Lost Childhood dan Turn On And Of), serta Setiyono Wibowo (Jacko From Corpus Hypercubus dan Walking from The Moon), selain mempunyai kualitas visual yang baik, dengan muatan kritik dan filosofis yang menyodok, menjadi oase lain yang menyegarkan dari karya-karya yang ada.
Pameran A Tribute To Michael Jackson: Beat It ini, yang digelar di Galeri Kita 25 Juli – 10 Agustus 2009, memang merupakan respons yang cepat terhadap kematian sang legenda. Meski terbilang singkat, karya-karya yang dihadirkan ini tidaklah kedodoran, baik secara visual maupun muatan filosofisnya. Ini menarik, karena saya yakin, Michael Jackson sudah lama ada dalam darah dan ingatan para pelukis tersebut. Lalu, seperti diungkapkan tulisan dalam katalog oleh Aming D. Rachman dan Sarwoko, pameran ini sesungguhnya mengajak kita dalam sebuah perenungan: seperti apakah kelak kita pergi?
Ya, seperti apakah kelak kita pergi?***
* Eriyandi Budiman, pengamat kebudayaan.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 9 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment