Sunday, August 23, 2009

Ironi Naratif Enzensberger

Bantai-membantai demi sesuap nasi
kudengar, sesuap nasi demi setiap orang
pada tiap hari: Berondongan altileri
pada gubug-gubug rapuh, samar
kudengar, sambil makan malam


EMPAT puisi di atas dipetik dari puisi Berita Malam karya penyair Jerman kontemporer, Hans Magnus Enzensberger dalam antologi puisi Coret Yang Tidak Perlu, hasil suntingan Berthold Damshäuser dan Agus R. Sardjono, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Buku tersebut diterbitkan majalah sastra Horison bekerja sama dengan Goethe Institut.

Seri antologi puisi Jerman ini, merupakan antologi puisi kelima, setelah sebelumnya, kedua pekerja seni tersebut menerjemahkan sejumlah puisi karya penyair Rilke (Padamkan Matamu), Bertolt Brech (Zaman Buruk Bagi Puisi), Paul Celan (Candu dan Ingatan), dan Gothe (Satu dan Segalanya). Tentu saja, puisi karya penyair kelas dunia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia itu, hanya sebagian kecil. Puisi-puisi tersebut merupakan puisi pilihan, untuk memperkenalkan apa dan bagaimana karya sastra Jerman dari generasi ke generasinya.

"Apa yang kami lakukan tiada lain ingin memperkenalkan apa dan bagaimana karya sastra yang ditulis para sastrawan Jerman untuk peminat sastra Jerman di Indonesia. Sayangnya, hal ini tidak dilakukan pemerintah Indonesia untuk memperkenalkan karya sastra Indonesia di Jerman. Padahal, Komisi Bahasa Jerman-Indonesia sudah dibentuk pada zaman Soeharto berkuasa," ujar Berthold Damshäuser, dalam percakapannya dengan penulis, Selasa malam (18/8) di Goethe Institut, Jln. L.L.R.E. Martadinata, Bandung. Malam itu, buku karya penyair Jerman kontemporer yang juga dikenal sebagai intelektual terkemuka itu, diluncurkan dengan acara baca puisi oleh Berthold dan Agus, musikalisasi puisi oleh Ari Kpin, serta diskusi dengan moderator Ahda Imran.

Membaca lima larik puisi tadi, akan terasa ironi muncul ke permukaan dalam benak kita, yang dipaparkan secara naratif dengan bahasa yang lugas. Ironi, sebagaimana dikatakan Agus R. Sardjono dan Berthold Damshäuser memang merupakan ciri khas dari isi puisi yang ditulis oleh penyair Hans Magnus Enzensberger dengan kalimat yang nyaris mengabaikan metafora, majas, apa pun namanya. Kata-kata yang ditulisnya diangkat dari dunia keseharian, dan boleh jadi dari sampah kata-kata. Dalam hal ini adalah dari kata-kata yang sudah jarang dipakai lagi oleh masyarakat ketika selesai diucapkan dalam pergaulan sehari-hari.

Prof. Dr. A. Teeuw dalam Membaca dan Menilai Sastra (1983:3) mengatakan, dalam teks sastra ungkapan itu sendiri penting, diberi makna, disemantiskan segala aspeknya, barang buangan dalam pemakaian bahasa sehari-hari. "Sampah bahasa" (bunyi, irama, urutan kata, dan lain-lain) yang dalam percakapan begitu dipakai begitu terbuang (asal komunikasi telah berhasil) dalam karya sastra tetap berfungsi, bermakna, malahan semuanya dimaknakan dan diperankan maknanya.

Teks sastra. Paling tidak, begitulah Berthold menyebut karya sastra yang ditulis Hans Magnus Enzensberger, dan bukan puisi. Apa sebab? "Karena apa yang ditulis Hans Margus Enzensberger ini ada kalanya mengabaikan rima, dan bahkan metafora. Boleh jadi pada satu sisi, Hans telah menguji kita, ia telah bermain-main dengan kata dan makna," ujar Berthold.

Adakah yang ditulis Hans itu sebagai sesuatu yang baru dalam perkembangan dan pertumbuhan puisi di Jerman? Boleh jadi pada zamannya demikian adanya. Dan boleh jadi juga dalam perkembangan dan pertumbuhan puisi di dunia, sudah ada yang memulainya pula, dan ini perlu penelitian untuk menelusurinya. Lanjutan dari petikan puisi tersebut berbunyi: di genteng-genteng mengkilat/ kudengar butiran nasi menari/ sesuap, sambil makan malam/ butiran nasi di atapku, hujan maret/ yang pertama, alangkah jelasnya.

Ada kalanya puisi yang ditulis penyair Jerman kelahiran 11 November 1929 ini, menggunakan pola naratif dengan menyelipkan metafora atau majas pada larik-larik tertentu yang dianggapnya penting. Dan apa yang ditulisnya ini pada puisinya yang kemudian benar-benar mengabaikan rima. Bisa jadi yang ingin dikejarnya bukan lagi estetika bahasa, akan tetapi lebih fokus pada bagaimana isi pikiran itu dicurahkan. Di Indonesia bila kita membaca sejumlah puisi yang ditulis almarhum Rendra, hal semacam itu akan pula kita dapatkan. Kedua penyair ini sudah sampai pada tahap bagaimana isi pikiran dicurahkan dalam teks yang disebut puisi.

"Pada akhirnya, puisi bukan persoalan bagaimana kita mengotak-atik rima agar terasa nilai estetikanya, tetapi bagaimana isi gagasan atau isi pikiran itu diekspresikan. Bahasa hanya sarana. Dan menulis puisi dengan kalimat yang sederhana itu sulit, sebab selalu ada nafsu untuk sembunyi dalam metafora," kata Rendra, dalam sebuah kesempatan di Leiden.

Sebagai contoh kita baca puisi Hans Magnus Enzensberger sebagai berikut, yang ditulis dengan kalimat sederhana, yang sepenuhnya mengeksplorasi pikiran: Kami baik-baik saja/ Kami sibuk/ Kami kenyang/ Kami makan// Rumput tumbuh/ produk sosial/ kuku jari/ masa lalu// jalanan kosong/ kontrak-kontrak sudah beres/ sirine-sirine membisu/ semua bakal berlalu// (petikan dari puisi Middle Class Blues) juga pentikan puisi lainnya yang berbunyi: Bicara itu gampang// Tapi kata-kata tak bisa dimakan/ Maka buatlah roti/ Membuat roti itu sulit/ Maka jadilah tukang roti// ("Rondeau")

Petikan teks puisi itu saya lepaskan dari konteks yang melatarinya, yang dibilang Berthold pada sisi-sisi tertentu diilhami juga oleh masa kelam ketika Nazi berkuasa, dan Hans pada zamannya adalah korban dari peristiwa tersebut yang menyebabkan Jerman jatuh dalam jurang perang dunia kedua. Yang saya hendak katakan adalah, meski apa yang ditulisnya itu tanpa metafora, nyatanya keseluruhan teks tersebut telah menjelma menjadi metafora tertentu, terutama bila puisi tersebut hendak kita tafsir, pakai teori apa pun.

Pada akhirnya, berkualitas dan tidak berkualitasnya sebuah puisi, sebagaimana pernah dikatakan Rendra maupun Wing Kardjo, bukan hanya terletak pada sederhana dan tidak sederhananya kata-kata itu diekspresikan, akan tetapi terletak pada sejauh mana seorang penyair berhasil menghayati pengalaman batinnya secara total, yang kemudian segera mengambil sikap pada sisi mana dari apa yang dihayatinya itu hendak diekspresikan.

Lihatlah, apa yang ditulis oleh Hans tentang kata-kata yang tidak bisa dimakan hingga menyuruh kita jadi tukang roti, sesungguhnya bukan hanya permainan kata-kata belaka, akan tetapi ada isi pikiran yang dihayati. Intinya hanya kerja keraslah yang akan menghasilkan sesuatu, dan bukan omong kosong. Dan puisi memang bukan omong kosong, selalu ada makna tersembunyi di dalamnya, selalu ada kata yang disemantiskan, kata Prof. Dr. A. Teeuw.

Di luar semua itu, saya sependapat dengan apa yang dikatakan Roland Barthes, bahwa pengarang surut ke belakang setelah teks itu dituliskan. Ini artinya, apa pun tafsir atau hasil baca apresiatornya terhadap teks yang dibacanya, tidak mesti dan tidak harus sejalan dengan apa yang dimaksudkan oleh si pengarangnya, termasuk di dalamnya menduga, gaya penulisan macam apa yang telah dan tengah dikembangkan oleh pengarangnya. Lepas dari semuanya, diperkenalkannya Hans Magnus Enzensberger bagi pembaca karya sastra Jerman di Indonesia adalah keuntungan tersendiri, meski memang terjemahan akan menghilangkan hal-hal tertentu yang ada di dalam puisi aslinya.

Paling tidak, demikianlah saya membaca teks Hans Magnus Enzensberger dari kaca mata yang sangat personal, di luar segala teori sastra yang akademis itu. Sungguh beruntung saya yang tidak mengerti bahasa Jerman itu bisa membaca puisi Hans dengan nikmatnya, seperti segelas kopi. (Soni Farid Maulana/"PR")***

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 23 Agustus 2009

No comments: