-- Silvia Galikano
RABU (12/8) lalu, diluncurkan kembali novel Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis, bertempat di Rumah Obor, Jakarta. Senja di Jakarta ditulis antara tahun 1957 dan 1958 dan terbit pada tahun 1963 dalam bahasa Inggris berjudul Twilight in Jakarta.
Awalnya Twilight in Jakarta tidak diterbitkan di Indonesia sebab tidak mendapat izin pemerintahan Sukarno, karena itu diterbitkan di Singapura, lantas di Malaysia (1964). Baru bisa diterbitkan di Indonesia pada tahun 1970 oleh PT Badan Penerbit Indonesia Raya, di tahun 1982 oleh Pustaka Jaya, dan tahun ini oleh Yayasan Obor Indonesia.
Senja di Jakarta bercerita tentang Saimun dan Itam yang pemulung dan buta huruf, sopir truk, dan Neneng yang gelandangan dan menjadi PSK jalanan. Tokoh-tokoh marjinal yang untuk hidup saja harus berjuang, punya utang di banyak warung, dan nasib tak kunjung berubah dari hari ke hari.
Ada juga Suryono, anak pengusaha yang juga anggota parpol, memanfaatkan koneksi ayahnya pada parpol besar, mengelola bisnis ilegal untuk disetor ke partai sambil terus memperkaya diri, gonta ganti perempuan, bahkan dengan ibu tirinya. Ayahnya, Raden Kaslan, pengusaha besar yang dibebani partai untuk mengmpulkan dana besar menjelang pemilu, sehingga direka sejumlah izin untuk perusahaan fiktif yang dipakai untuk mendapatkan dana-dana segar.
Selain itu, ada tokoh partai, pemimpin redaksi surat kabar, cendekiawan, pemimpin buruh, pemuda cerdas, pegawai negeri muda, esais, penyair, menteri yang awalnya lurus tapi kemudian melakukan korupsi.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan Ignatius Haryanto menyebut Senja di Jakarta mengontraskan kehidupan dua dunia, dunia atas dan dunia bawah. Para elite sibuk dengan rencana-rencana busuk untuk korupsi dan menguasai posisi di pemerintahan, sementara itu dunia bawah sibuk mengais-ais makanan dan nasib dalam hitungan hari demi hari.
Haryanto mengutip tesis David T. Hill, Mochtar Lubis: Author, Editor, and Political Actor bahwa semua elite politik yang diceritakan di Senja di Jakarta merujuk pada tokoh-tokoh nyata dalam dunia politik di Indonesia pada dekade 1950-an. Tapi ketika setting ditarik ke tahun 2009, ternyata apa yang dipotret lebih dari 50 tahun lalu itu masih terjadi sekarang.
Tetap dijumpai fenomena korupsi, kongkalikong parpol dan pengusaha, manipulasi lewat media massa, manipulasi rakyat di bawah masing-masing ideologi, rakyat yang jadi korban, serta kisah para pengejar harta, takhta, dan wanita. “Kalau Mochtar Lubis masih hidup, mungkin dia akan menulis novel berjudul Tengah Malam di Jakarta, kata Haryanto.”
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 16 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment