-- Nasrullah Nara dan Korano Nicholash LMS
THERESIA Sado Gebze (12) menyambut kehadiran pak guru di depan kelas dengan mata berbinar.
Dua rekan sebaya yang duduk di bangku kiri-kanannya, Hermina Ndiken dan Agatha Belagaize, antusias membolak-balik buku pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.
Hari itu, Senin, 3 Agustus 2009, siswa kelas VI SD Yos Sudarso, Kampung Kuper, Distrik Semangga, Kabupaten Merauke, Papua, itu belajar materi pelajaran tentang transaksi jual beli. Supardi (41) tak ingin menjejali siswanya dengan bahan teks. Karena itu, ia mengajak muridnya ke pasar desa, tak jauh dari sekolah mereka.
Di sana berlangsung transaksi jual beli hasil bumi dan bahan kebutuhan pokok yang melibatkan warga asli Merauke dan kaum pendatang.
”Jangan lupa bikin laporan untuk didiskusikan di depan kelas,” ujar Supardi, pria asal keluarga transmigran dari Jawa Tengah.
Sementara itu, murid-murid kelas V dengan riuh merubung sebuah sumur di halaman sekolah. Dari bibir tembok sumur, para siswa melongok mengamati timba yang ditarik ulur seorang murid. Di sekolah itu, timba, sumur, dan airnya adalah alat peraga untuk pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, khususnya tentang gravitasi atau gaya tarik bumi. Adapun pasar tradisional yang mempertemukan beragam komunitas suku Marind-anim dan suku-suku pendatang adalah alat peraga Ilmu Pengetahuan Sosial.
Lenda Tahapari, guru SD di Erambu, dekat pos perbatasan RI-Papua Niugini, menjadikan pembelajaran kontekstual sekaligus sebagai kiat untuk merangsang anak giat bersekolah. Kegandrungan akan alam bebas membuat anak-anak Papua suka membolos dari sekolah, terlebih jika diajak orangtua ikut berburu.
Untuk pelajaran Biologi, Yoseph Ngara, guru SMP di Erambu, mengarahkan siswanya bercocok tanam di halaman sekolah. Tanaman kacang-kacangan diharapkan membangun pemahaman siswa tentang perkecambahan, fotosintesis, dan pembuahan pada tumbuhan.
Terletak di ujung timur wilayah republik ini, pelaku pendidikan di Merauke selalu ketinggalan menerima perkembangan informasi terbaru mengenai kebijakan pendidikan yang sentralistik. Contohnya, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) diterapkan secara nasional, tetapi di Merauke baru gencar disosialisasikan, terutama di sekolah swasta.
Sekolah negeri pun tak luput dari kesenjangan. Kepala SD Inpres Mopah Baru, LL Salamun, menggerutu karena buku-buku pelajaran kiriman Departemen Pendidikan Nasional telat tiba di sekolah. Buku pelajaran Bahasa Indonesia, Sains, dan Matematika yang mestinya digunakan tahun 2008 baru tiba di sekolah itu awal Agustus 2009.
”Kalau bukan karena ujian nasional, sebetulnya tidak perlu kita repot mengurusi KTSP,” kata Teodora Siti Raya Prapat, guru di SD itu.
Bagi Hendrikus Kariwop, Ketua Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK) Merauke, yang menaungi 163 SD-perguruan tinggi di Merauke dan sekitarnya, kisah di atas membuatnya gundah dan optimistis.
Gundah karena pada era otonomi sekolah, substansi dan proses pendidikan masih saja harus berformat sentralistik, termasuk kurikulum. Optimistis karena di tengah keterbatasan fasilitas, guru tetap bersemangat untuk menjalankan tugas pembelajaran dengan segala daya upayanya.
Hendrikus, yang akrab disapa Romo Hengky, memandang pembelajaran kontekstual adalah formula jitu bagi anak Merauke. Karakteristik tumbuh kembang anak-anak itu lekat dengan alam raya.
Sonny Betaubun, Ketua Pengurus Satuan Wilayah Yayasan Pendidikan Kristen (YPK) Merauke, pun menilai kreativitas muncul di tengah berbagai keterbatasan yang ada.
Keterbatasan jumlah guru dan biaya penyelenggaraan pendidikan melilit 38 sekolah dalam naungan YPK Merauke. Misalnya, guru tetap yang mengasuh 29 SD hanya ada 146 orang. Dengan total 3.217 siswa SD, masih diperlukan tambahan 80 guru. Di dua SMP hanya tersedia 24 siswa. Masih diperlukan tambahan 11 guru untuk total 582 siswa.
Keterbatasan dana juga tetap klasik. Bagi SD-SMP negeri, dana bantuan operasional sekolah (BOS) memang cukup menopang penyelenggaraan pendidikan. Namun, bagi sekolah swasta, dana BOS justru menjadi buah ”simalakama”. Menerima dana BOS berarti sekolah tidak boleh lagi memungut biaya dari orangtua siswa. Menolak dana BOS berarti mencekik napas keberlangsungan sekolah.
Faktor historis dan ikatan emosional warga setempat membuat kondisi sekolah swasta di Papua berbeda dengan di daerah lain. Di daerah lain, sekolah swasta umumnya diminati anak-anak keluarga berada, sementara sekolah negeri banyak dihuni anak-anak kalangan menengah ke bawah.
Sonny Betaubun mengungkapkan, di Merauke, anak-anak miskin di pelosok pun cenderung memilih sekolah swasta ketimbang sekolah negeri. Repotnya, jika sekolah swasta menerima dana BOS, pengelola tak boleh lagi memungut dana dari orangtua siswa.
Sonny dan Hendrikus mengkritik iklan layanan sekolah gratis yang gencar ditayangkan televisi sebagai informasi menyesatkan. Gratis yang dimaksudkan pemerintah adalah gratis terbatas, hanya pada aspek tertentu.
Pada masa lalu, untuk mengimbangi aktivitas kolonisasinya, Belanda melalui Politik Etis mulai mengurus tatar Melanesia ini awal tahun 1900-an dengan misi pencerahan berbasis gereja.
Romantisme pendidikan ala Belanda, antara lain, diungkapkan Simon Resubun (67), pensiunan guru. Pria asal Kei, Maluku Tenggara, ini menghabiskan masa dinasnya di Mappi, pedalaman Merauke, sejak lulus sekolah guru berasrama zaman Belanda tahun 1961.
Dosen Universitas Musamus, Merauke, Frederikus Gebze, menggambarkan, kalau bukan karena semangat nasionalisme, manalah mungkin para guru pendatang bisa hidup tenang dan betah.
Betapa mudahnya menemukan guru-guru pendatang dari Jawa, Bali, Sulawesi, dan Maluku di hampir setiap sekolah di Merauke. Mereka adalah keluarga transmigran Jawa-Bali, serta perantau dari suku Bugis, Toraja, Manado, dan Kei. Semua bisa hidup rukun berdampingan dan mendinamisasi pendidikan Merauke.
Mereka ibarat lilin tak kenal padam.
Sumber: Kompas, Rabu, 19 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment