Saturday, August 15, 2009

[Nasionalisme di Tapal Batas] Mianggas-Marore: Nasionalisme Itu Mahal

-- Edna C Pattisina dan Jean Rizal Layuck

TAK ada kata yang keluar dari penumpang Kapal Motor Perintis Meliku Nusa ketika nakhoda Teguh Prayitno memutuskan kapal tidak sandar di dermaga Miangas. Sekitar 30 penumpang termasuk Kompas pun hanya terdiam.

Awak KM Meliku Nusa mengibarkanbendera Merah Putih saat memasuki Pulau Miangas di KabupatenKepulauanTalaud, SulawesiUtara, Senin (3/8). Pulau Miangas adalahpulau paling utara dari Republik Indonesia yang luasnya 3,15kilometer persegi. (KOMPAS/AGUS SUSANTO)

Setelah perjalanan tiga malam dua hari dari Melonguane, ibu kota Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara, sepanjang 196,3 kilometer, Senin (3/8) sekitar pukul 07.00, kapal memang telah mencapai Miangas. Melonguane sendiri dapat dicapai dari Manado melalui perjalanan 15 jam dengan kapal umum.

Dari kejauhan terlihat dermaga Miangas yang dipenuhi masyarakat. Dari atas kapal Meliku Nusa terbuat dari besi berbobot 150 ton, tampak ombak setinggi 1 hingga 2 meter terus bergulung-gulung menuju pantai. Alunan gelombang itu diikuti angin selatan bertiup kencang di sekitar dermaga cukup berisiko bagi kapal perintis untuk sandar.

Jangankan sandar mencari posisi berlabuh, KM Meliku harus manuver selama dua jam mengelilingi Pulau Miangas.

Kondisi perairan di perbatasan Indonesia dan Filipina cukup terbuka, berada di bibir Samudra Pasifik yang memiriskan siapa saja ke sana. Tak hanya Miangas, beberapa pulau dalam lingkaran perbatasan, seperti Marore, Kawio, dan Kawaluso, di Kabupaten Sangihe, tak luput dari terpaan angin kencang diikuti gelombang tinggi.

Dua pekan sebelumnya, kapal perang milik TNI Angkatan Laut (AL) harus menunggu sampai 10 jam untuk sandar di dermaga Miangas saat membawa rombongan mahasiswa Universitas Indonesia yang melakukan kuliah kerja nyata (KKN) di sana.

Camat Miangas Sepno Lantaa bercerita dekade tahun 1980-an kapal rombongan Gubernur Sulut GH Mantik terdampar di Davao Filipina karena terseret angin kencang. Kota Davao, ibu kota Mindanao, hanya berada 83,6 kilometer dari Miangas. ”Nakhoda kapal tak melihat Pulau Miangas yang tertutup gelombang,” katanya.

Dalam kondisi bergelombang itu rakyat Miangas dan Marore tak berdaya. Tak ada kapal yang berani masuk ke dua pulau itu. Sedangkan tiga kapal perintis yang disubsidi pemerintah untuk melayari pulau-pulau di kawasan perbatasan enggan masuk. Karakteristik kedua pulau perbatasan itu hampir sama, dan luasnya sekitar 3 kilometer persegi.

Suatu waktu penduduk kekurangan pangan karena tak ada kapal yang berani masuk. Terpaksa warga mengonsumsi galuga, kelapa yang dikeringkan dimakan dengan daun ubi talas.

Dalam empat tahun terakhir situasi Miangas dan Marore menunjukkan perubahan. Pemerintah Provinsi Sulut membangun sejumlah prasarana di kedua pulau perbatasan tersebut, antara lain gudang penyimpanan beras. Selama ini beras dipasok dari Manado dua bulan sekali sehingga warga tidak kelaparan. Di samping gudang pangan, juga dibangun puskesmas, sekolah, jaringan komunikasi, serta listrik.

Hal sama terlihat di Marore, Kawio, dan Kawaluso, gugusan pulau di perbatasan Kabupaten Sangihe. Di Pulau Kawio dan Kawaluso bangunan dermaga dan terminal penumpang terlihat lapang dengan bangunan beton kokoh melebihi kantor pemerintahan kecamatan.

Akan tetapi, postulat bahwa pembangunan untuk kesejahteraan rakyat nyaris terabaikan. Ketersediaan listrik dan bahan bakar minyak serta ekonomi yang hidup menjadi persoalan krusial. ”Rasanya kami mau mati saja. Apa gunanya ada beras kalau tidak bisa masak,” kata Nico Tindi, Camat Karatung. Untuk mengambil kayu di hutan dilarang oleh pemerintah karena khawatir daerah itu tandus.

Hibor Banerah, warga di sana, mengkritik sikap pemerintah yang melarang warga membawa bensin ataupun minyak tanah yang dibeli dari Manado dimuat di kapal-kapal perintis. Kebijakan itu dinilai tidak bijaksana. ”Padahal kami membawa minyak tanah hanya 10 liter dipakai masak,” tambahnya.

Hal sama juga disampaikan guru-guru di Kabupaten Talaud dan petugas keamanan yang tak mendapatkan uang lebih dari pemerintah. Seorang guru SMP negeri di Kakorotang mengatakan hanya menerima gaji tanpa ada insentif. Malahan, tunjangan dari kabupaten untuk tiap pegawai negeri sebesar Rp 250.000 per bulan telah terhenti sejak Agustus 2008.

Masyarakat Miangas dan Marore juga sangat merasakan beban hidup menyusul merosotnya pendapatan perikanan yang menjadi sumber hidup sebagian masyarakat. Itu karena harga BBM sangat tinggi.

Di Miangas dan Marore harga bensin Rp 15.000 per liter dan minyak tanah Rp 10.000 per liter. Harga bensin paling murah Rp 8.000 dan bisa dinikmati cuma seminggu setelah pasokan BBM datang saat perahu motor datang dari Melonguane. Di Melonguane sendiri harga bensin Rp 6.000 per liter. ”Orang Jakarta yang uangnya banyak membeli bensin Rp 4.500, kami yang miskin justru membeli bensin Rp 15.000. Inikah keadilan pembangunan,” tambah Hibor.

Bupati Kabupaten Sangihe Winsulangi Salindeho mengatakan, saat berkunjung ke Kawio ia kaget melihat terminal penumpang yang luas dan kokoh. Tapi, apa arti terminal jika warga tak bisa memasarkan hasil perkebunan dan perikanan. Mereka butuh suplai rutin BBM, kapal penumpang rutin, serta pabrik es untuk mengawetkan produksi ikan mereka.

Jawaban

Jawaban atas persoalan di Sangihe dan Talaud—kabupaten paling utara Indonesia dan berbatasan dengan Mindanao—sebetulnya sudah diucapkan Presiden Megawati Soekarnoputri Maret 2003, saat membuka seminar nasional tentang Sangihe Talaud. Megawati mengatakan, faktor paling penting adalah meningkatkan peran manusianya dan paradigma bahwa perbatasan adalah halaman belakang dan wilayah pinggiran, harus diubah menjadi ”halaman depan Indonesia”.

Kekecewaan masyarakat Miangas dan Marore akan hadirnya ”Indonesia” di sana agak emosional, sebab sampai Indonesia merayakan kemerdekaan ke-64 tahun ini, belum ada seorang pun presiden yang berkunjung ke sana. ”Kami rindu kunjungan presiden. Biar lihat rakyat perbatasan,” kata Betoel Dalope, warga Miangas.

Karena itu, dengan dalih nasionalisme pula warga Miangas, kata Dalope, menuntut ganti rugi tanah mereka berlipat-lipat untuk dijadikan lapangan terbang di Miangas. Mereka menuntut Rp 150.000 untuk tiap meter persegi tanah; jauh di atas harga NJOP Kabupaten Talaud Rp 12.000 per meter persegi.

Pernyataan Dalope boleh jadi merupakan kompensasi rakyat yang sudah lama menderita dan merasakan ketimpangan ekonomi. ”Tak semata soal uang, tetapi rakyat sudah lama hidup susah,” kata Camat Miangas Sepno Lantaa menambahkan.

Sumber: Kompas, Sabtu, 15 Agustus 2009

No comments: