Wednesday, August 26, 2009

Senja Kala Seni-Budaya Indonesia

-- Oyos Saroso H.N.*


PELAN dan pasti, satu per satu aset seni-budaya Indonesia diklaim sebagai milik Malaysia. Setelah Reog (Ponorogo), alat musik angklung (Sunda), kain batik, dan lagu Rasa Sayange (Maluku), kini tari pendet (Bali) pun diklaim sebagai milik Negeri Jiran itu. Sebagian besar di antara kita menanggapi dengan berang. Rasa nasionalisme kita tiba-tiba muncul begitu yang kita anggap sebagai milik kita itu diakui sebagai bangsa lain.

Dulu, ketika lagu Rasa Sayange, Reog Ponorogo, dan batik diklaim Malaysia, saya juga termasuk warga Indonesia yang marah. Bersama kawan-kawan jaringan maya, kami menyebut Malaysia sebagai "Malingsia". Itu karena kerjaan Negeri Jiran itu mencuri apa yang menjadi milik kita.

Kini, saya bersikap agak berbeda dengan sebagian besar warga Indonesia lainnya. Saya menanggapi klaim Malaysia itu dengan biasa-biasa saja. Bukan lantaran saya tidak nasionalis. Juga bukan karena saya mendukung Negeri Jiran itu. Saya menanggapi klaim-klaim itu dengan biasa-biasa saja karena saya mafhum benar "peristiwa klaim" itu akan terjadi. Peristiwa itu akan terus terjadi karena sebagai negara-bangsa, kita dalam posisi tawar yang lemah.

Mau bukti? Mudah sekali. Lihatlah bagaimana reaksi pemerintah Indonesia ketika seni Reog Ponorogo dan lagu Rasa Sanganye diklaim sebagai milik Malaysia! Biasa-biasa saja, bukan? Saya menduga, itu lantaran pemerintah kurang peduli terhadap nilai-nilai seni-budaya. Seni-budaya hanya dianggap sebagai aset, sebagai warisan leluhur yang dianggap memiliki nilai jika sudah dijual sebagai "barang pakai" dalam paket pariwisata. Di luar itu, seni-budaya Indonesia "berjalan sendiri", hidup dengan kesendiriannya di tengah-tengah masyarakat pemiliknya.

Kalau pemerintah kita peduli, tentu begitu ada klaim atas milik kita, segera ada sikap yang jelas dan tegas. Kita dan Malaysia sama-sama menjadi anggota PBB. PBB memiliki perangkat yang mengurusi masalah kebudayaan dan pendidikan yang disebut UNESCO. Nah, langkah-langkah politik apa yang dilakukan oleh wakil kita di PBB untuk mempertahankan aset seni-budaya yang dirampas Malaysia itu?

Saya menduga, Malaysia telah memanfaatkan kebodohan kita dalam mengelola seni-budaya. Kita pun tampak makin bodoh ketika menunjukkan amarah begitu aset budaya yang kita miliki dirampas bangsa lain. Kebodohan pertama kita (baca: pemerintah) tentunya adalah karena kita lengah mendaftarkan hak cipta semua produk budaya. Padahal, sebagai hasil olah budaya, semua bentuk seni budaya sangat mudah ditiru orang. Dengan mudah pula si peniru itu menempelkan cap di atas produk itu sebagai karyanya.

Kebodohan kedua adalah kekuranggigihan kita (pemerintah) mempertahankan apa yang menjadi hak dan milik kita. Dalam kasus wilayah Ambalat, mungkin pemerintah Indonesia boleh ragu bersikap karena ada ketakutan terhadap kehebatan peralatan perang Malaysia. Harus diingat, peralatan militer Malaysia jauh lebih canggih. Jika terjadi perang dengan Malaysia, kita akan lumat tak lebih dari seminggu karena mereka dibantu Negara-Negara Persemakmuran. Ini asumsi ekstremnya. Namun, dalam kasus klaim Malaysia atas aset seni-budaya Indonesia, seharusnya tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak bertindak cepat.

Selain dua kebodohan itu, ada lagi dua kelalaian kita yang juga menjurus kepada bentuk kebodohan. Pertama, kita tidak pernah benar-benar menganggap penting makna seni-budaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, kita mudah terlena oleh ninabobo sebagai sesama "bangsa serumpun" (Melayu). Sebagai sesama bangsa serumpun, kita harus saling menghargai, katanya.

Cukup banyak bukti yang menunjukkan bahwa pemerintah (dan kita semua) tidak benar-benar serius mengurusi seni-budaya. Yang paling konkret adalah soal besarnya dana yang dialokasikan untuk mengurusi seni-budaya. Berapa dana APBN yang dialokasikan untuk mengurusi seni budaya? Di tingkat lokal, berapa dana APBD dialokasikan untuk mengurusi seni-budaya? Jawabannya pasti: sangat kecil. Sebab, seni-budaya dianggap sebagai isu pinggiran yang tidak lebih penting dibanding sektor pariwisata, misalnya.

Lebih riil lagi adalah tidak adanya kementerian yang secara khusus mengurusi kebudayaan. Urusan kebudayaan disatukan dengan pariwisata dalam satu kementerian. Alhasil, seni-budaya acap dijual murah secara paketan untuk melayani bisnis pariwisata semata. Memang tidak ada salahnya seni budaya menjadi penunjang pariwisata. Namun, "menjualnya" secara murah tanpa pernah memberikan "perlakuan yang wajar" terhadap seni budaya, sama saja dengan menganggap seni budaya sebagai "sampah yang diperindah".

"Perlakuan yang wajar" yang saya maksudkan di sini adalah perhatian yang serius dari pemerintah terhadap para pelaku seni-budaya dan upaya serius untuk terus menghidupkan dan mengembangkan seni-budaya yang ada. Dalam konteks ini, saya sering cuma bisa ikut prihatin ketika ada seniman tradisional yang setia sampai mati bekerja keras mempertahankan seni tradisional tapi selalu luput dari perhatian pemerintah. Yang mendapatkan perhatian adalah para makelar seni yang pandai membuat proposal, sementara para pekerja seni terus berkubang dengan kemiskinan.

Soal ninabobo sebagai bangsa serumpun, sudah lama kita dengar gaungnya. Bentuk paling riilnya adalah kerja sama di bidang bahasa dan sastra. Dalam forum Kongres Bahasa Melayu Sedunia pada 25 Agustus 1995, Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam mewujudkan kerja sama di bidang sastra dalam sebuah lembaga yang disebut Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara).

Tujuan Mastera antara lain; pertama, merapatkan hubungan, pengertian, dan kerja sama kesusastraan bagi memajukan dan mengembangkan kesusastraan Indonesia/Melayu di arah menjadi warga sastra dunia yang berwibawa. Kedua, menyelaraskan kegiatan dan penelitian kesusastraan Indonesia/Melayu secara terpadu. Ketiga, mengusahakan peluang-peluang bersama untuk para sastrawan memajukan bakat, penerjemahan, penerbitan, dan pengiktirafan terhadap pencapaian mutu ciptaan sastra. Keempat, memantapkan penyebaran dan penggunaan bahasa Indonesia/Melayu sebagai wahana komunikasi, media ilmu pengetahuan, dan media pengucapan seni ke peringkat rantau dan antarbangsa. Kelima, melaksanakan segala butiran yang terkandung dalam piagam majelis.

Jauh sebelum itu, sejak 1972 Indonesia juga bekerja sama dengan Malaysia di bidang pengembangan bahasa Melayu/Indonesia lewat lembaga Majelis Bahasa Indonesia-Malaysia (MBIM). Setelah Brunei Darussalam bergabung pada 4 November 1985, lembaga ini berganti menjadi MABBIM (Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia).

Piagam MABBIM yang ditandatangani pada 11 Juni 1987 menyebutkan tujuan dan fungsi MABBIM sebagai berikut: (a) meningkatkan semangat kebersamaan dan persaudaraan antara negara anggota, (b) meningkatkan peranan bahasa kebangsaan/resmi negara anggota sebagai alat perhubungan yang lebih luas, (c) mengusahakan pembinaan dan pengembangan bahasa kebangsaan/resmi negara anggota supaya menjadi bahasa yang setaraf dengan bahasa modern yang lain, (d) mengusahakan penyelarasan bahasa melalui penulisan ilmiah dan kreatif, pedoman, dan panduan, (e) mengadakan pertemuan kebahasaan berkala demi penyelarasan dan pendekatan bahasa kebangsaan/rasmi negara anggota.

Kita tahu, lewat forum-forum kerja sama yang mengatasnamakan persamaan bangsa serumpun itu telah banyak dilakukan aneka pertemuan dalam bentuk seminar, lokakarya, dan penelitian. Namun, apa hasilnya? Di bidang sastra, Malaysia lebih banyak belajar dari kita (saya haqul yakin kesusasteraan Indonesia beberapa tingkat lebih maju dibanding Malaysia). Di bidang bahasa, Malaysia pun sukses memasukkan semua kata dalam Kamus Baku Bahasa Indonesia (KBBI) ke dalam Kamus Bahasa Malaysia! Karena penyusunan Kamus Bahasa Malaysia itu tanpa menyertakan sumbernya (berasal dari KBBI) itu artinya bahasa Indonesia pun diakui sebagai milik Malaysia. Bahasa kita pun dicaplok Malaysia juga!

Pada titik inilah kita seharusnya tidak memahami klaim beberapa aset seni-budaya Indonesia oleh Malaysia semata-mata dengan motif bisnis pariwisata. Kita mestinya juga memahami pencaplokan itu sebagai bentuk upaya sistematis untuk merampas semua jati diri kita. Seni-budaya (termasuk bahasa) merupakan cermin jati diri bangsa yang seharusnya kita pertahankan dengan gigih. Upaya mempertahankannya tentu tidak melulu kita lakukan ketika seni-budaya dan bahasa itu diklaim sebagai milik negara tetangga. Janganlah kita seperti orang bodoh yang tergopoh-gopoh begitu menyadari beberapa barang berharga dicuri orang yang sudah dianggap sebagai saudara.

Kita menjadi Negara-Bangsa Indonesia karena kita memiliki keanekaragaman budaya. Kita bernama Indonesia karena telah berikrar untuk menjunjung bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Kalau kita masih ingin dianggap bangsa-bangsa lain sebagai bangsa yang memiliki harga diri, sudah saatnya kita serius mengurusi semua aset kebudayaan kita. n

* Oyos Saroso H.N., Pemerhati kebudayaan, tinggal di Lampung

Sumber: Lampung Post, Rabu, 26 Agustus 2009

No comments: