-- Edi Sedyawati*
APA arti kebudayaan bagi suatu bangsa? Semua tahu jawabannya: kebudayaan adalah jati diri suatu bangsa.
Suatu bangsa diperbedakan dari yang lain melalui kekhasan kebudayaannya. Di sini segera perlu diperbedakan dua kemungkinan pengertian ”bangsa”. Pertama, satuan kemasyarakatan terbesar yang ditandai kesatuan budaya. Kedua, satuan populasi, yang juga disebut ”nasion” (nation) yang diikat oleh kesatuan negara.
Dalam suatu negara bisa terdapat beberapa ”bangsa” dalam pengertian pertama. Untuk Indonesia, satuan-satuan kemasyarakatan yang ditandai kekhususan budaya itu disebut ”suku bangsa”. Istilah lain untuk itu adalah ”satuan etnik”, mengacu ilmu antropologi.
Dalam kasus Indonesia, bangsa dalam arti kedua, yang sama dengan nation itu, terdiri dari banyak ”bangsa” (suku bangsa) dalam arti pertama. Mengingat ”bangsa” dalam pengertian nasion pun perlu mempunyai identitas yang bersifat budaya, bangsa Indonesia pun perlu mempunyai dan mengembangkan suatu ”kebudayaan nasional”, yang di satu sisi melintasi identitas suku-suku bangsa, tetapi di sisi lain juga ”menampung” apa yang dalam Penjelasan UUD 1945 disebut sebagai ”puncak-puncak kebudayaan” dari asal suku-suku bangsa.
Saya pernah mengajukan saran untuk menafsirkan ”yang puncak” itu sebagai unsur-unsur, atau berbagai khazanah budaya etnik yang berterima luas di Indonesia, di luar lingkup etnik asalnya.
Satu hal lagi yang perlu mendapat pemahaman bersama adalah adanya kemungkinan perkembangan varian-varian dari suatu kebudayaan. Sebagai contoh dapat disebutkan, kebudayaan Jawa mempunyai varian Yogyakarta, Surakarta, Banyumas, Tegal-Pekalongan, Banyuwangi, dan lainnya. Atau kebudayaan Bali punya varian Bali Utara dan Bali Selatan. Begitu pula ”kebudayaan Melayu” yang amat luas jelajahnya, bahkan meliputi kawasan di berbagai negara, yaitu sekurangnya Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam, pasti mempunyai varian-varian lokal selain ada sehimpunan penanda umum.
Indonesia-Malaysia
Perbedaan perkembangan budaya, meski berasal dari satu sumber, dapat disebabkan dua macam pendorong. Pertama, migrasi komuniti yang cukup besar ke suatu lingkungan lain, baik yang berbeda secara alami maupun sosial. Kedua, komunikasi intensif antarbangsa yang terjadi tanpa migrasi menetap. Yang terakhir ini bahkan dapat membuahkan akulturasi saat suatu budaya kuat berinteraksi intensif dan memengaruhi pihak lain.
Dalam hal hubungan budaya Indonesia dan Malaysia, banyak kemungkinan terjadi persamaan warisan budaya (khususnya berpangkal pada kebudayaan Bugis, Dayak, Melayu, Minang, dan Jawa) meski pengembangan selanjutnya dapat menghasilkan varian-varian yang berbeda. Relasi budaya itu adalah bagian dari sejarah kependudukan kedua nasion. Namun, jelas tak tercatat migrasi skala besar dari Bali ke Malaysia sehingga ketika tari Pendet tiba-tiba muncul dalam iklan Malaysia, banyak orang Indonesia tersentak, bahkan marah, karena seolah milik budaya Indonesia yang khas Bali itu ”dicuri” oleh Malaysia. Sebenarnya orang juga bisa sama berangnya dengan tampilan bunga endemik dari Bengkulu-Indonesia—Rafflesia arnoldi—pada iklan yang sama.
Dalam hubungan dengan perlindungan khazanah budaya tradisional suku-suku bangsa (serta pengembangan selanjutnya), baik yang berupa pengetahuan tradisional atau traditional knowledge maupun yang berupa ekspresi budaya tradisional atau traditional cultural expression perlu diketahui bahwa Departemen Hukum dan HAM telah menyiapkan sebuah RUU untuk melindunginya. Perlindungan hukum ini khususnya terkait pemanfaatan dan kemungkinan penyalahgunaannya oleh pihak yang bukan pemiliknya.
Klasifikasi urusan kebudayaan
Dalam suatu negara—apalagi yang kaya akan ragam budaya seperti Indonesia—yang juga rumit dalam urusan penataan interaksi antarbudaya, serta kerja sama lintas sektor, tentu diperlukan arahan kebijakan dan penanganan untuk tindakan. Ada tanggung jawab negara mengenai itu.
Untuk itu disarankan penggolongan urusan kebudayaan beserta urusan khusus dalam tiap golongan.
Pertama, sejarah, peninggalan sejarah, budaya, dan lingkungan. Kelompok ini dengan aneka urusan, terutama a) penelitian (sejarah dan arkeologi); b) perlindungan, konservasi, dan restorasi; c) permuseuman; dan d) registrasi terpadu.
Kedua, kesenian, dengan aneka urusan, terutama a) seni rupa (dua dimensi dan tiga dimensi, desain, multimedia, arsitektur); b) seni pertunjukan (musik, tari, teater); c) seni sastra (lisan dan tertulis); dan d) seni media rekam (film, video, sinetron; kemasan auditif). Sedangkan upaya-upaya yang diperlukan untuk itu meliputi perangsangan kegiatan dan perkembangan kreatif, pengkajian dan pembangunan kekuatan informasi, serta pelestarian dan perluasan jangkauan.
Ketiga, bahasa, falsafah, pengetahuan, nilai budaya, dan adat istiadat. Kelompok ini dengan berbagai urusannya: a) penelitian (aneka budaya etnik, proses perkembangan masa kini); b) enkulturasi nilai-nilai budaya; c) pelestarian bahasa, pengetahuan dan teknologi tradisional; d) ”pertukaran budaya” lintas etnik; dan (e) penataan informasi.
Keempat, industri budaya dengan urusannya berupa pendorongan dan pembelaan untuk produk-produk industri budaya (buku, kemasan auditif, kemasan audio-visual, benda seni) yang bermutu tinggi dan mengandung isi yang bermakna bagi martabat bangsa. Substansi dari ketiga urusan terdahulu merupakan pemasok isi bagi berbagai produk industri budaya. Upaya pembelaan itu juga harus meliputi ”penciptaan pasar”, dalam arti ekonomik maupun mental-spiritual.
Dengan klasifikasi itu, jika akan dibentuk departemen kebudayaan tersendiri pada masa depan (sesuai rekomendasi beberapa kongres kebudayaan yang lalu), keempat pokok garapan itu dapat dijadikan dasar pembagian empat direktorat jenderal. Atau, jika hanya dua direktorat jenderal yang dikehendaki, dapat diadakan penggabungan sehingga misalnya menjadi, pertama, Ditjen Nilai Budaya dan Cagar Budaya, atau Ditjen Seni dan Industri Budaya.
* Edi Sedyawati, Peneliti Kebudayaan; Direktur Jenderal Kebudayaan 1993-1999
Sumber: Kompas, Senin, 31 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment