-- Silvester Petara Hurit
KEBERANIAN untuk memancangkan gagasan kekaryaan sendiri, menggali, dan mereformulasikan pengalaman sendiri dalam karya kreatif teater adalah sebentuk keberanian untuk menghargai eksistensi sendiri. Menghargai eksistensi sendiri artinya membangun fondasi bagi biografi dan tumbuhnya nilai-nilai pribadi yang pada gilirannya memberi kontribusi pada bangunan sosial teater.
Keberanian jenis ini dinamakan keberanian kreatif. "Berkarya dalam kebebasan, berkarya dengan keberanian tanpa ketakutan", demikian komentar penuh dukungan dari sutradara Rahman Sabur terhadap Festival Karya Baru yang digelar Oyag Forum, di STSI Bandung, Kamis-Minggu, 6-9 Agustus 2009.
Festival yang merupakan ajang perwujudan diri bagi pekerja muda teater, kendati tidak begitu banyak pengunjungnya, menjadi debut awal bagi tumbuhnya nyali dan spirit berkarya terutama berhadapan dengan pelbagai problem yang melilit tubuh teater sendiri.
Ajang ini meninggalkan kesan dan jejak yang patut dicatat demi perjalanan dan arah pertumbuhan insan teater di masa depan.
Ada sepuluh karya yang digelar. Rata-rata memperlihatkan geliat gelisah pergumulan dari para penggarapnya. Asep Holidin menggarap instalasi "Migrasi Burung-Burung" dari material kertas, kayu, kain, plastik, dan aneka benda pulungan. Migrasi burung yang lebih banyak berupa tempelan kertas kosong tersebut kemudian direspons oleh penampilan dua performer yang hanya mengeluarkan bunyi sengau cicit burung-burung tanpa memedulikan kehadiran objek riilnya. Kehadiran lantas menjadi tidak penting ditambah dengan logika inversif ruang dengan tumbuhnya pohon terbalik menyiratkan ketidaksedapan, keanehan, dan kekacauan migrasi yang tengah mengepung.
Teater Casa Nova menghadirkan Balada Ritus Fragmen Waktu karya sutradara Irwan Jamal yang memperlihatkan ironi dari ritual upacara bendera. Ziarah ke masa lampau dalam ramuan fiksi, fakta, dan teks sejarah, dihadirkan untuk menelanjangkan kenyataan kengerian dan derita di hari ini. Litani kemirisan digedor dengan kekuatan tubuh dan spirit patriotisme. Kehancuran, kesewenangan disetubuhi keberingasan akrobatik permainan para aktor yang menyembulkan harapan dan semangat martir. Sebuah sikap heroik yang masam, yang dijalani dengan pengorbanan dan keberanian yang perih.
Pentas Seba karya Wan Renggo produksi Teater Citra dan Padepokan Abah Renggo tampil dalam kekuatan lokalitasnya yang bersitegang dengan pikiran modern yang bual dan penuh hasrat berkuasa. Gairah erotisme yang juga mendenguskan kesegaran dan gairah hidup terjungkal dan terpojok oleh wajah garang-licik kaum elite dengan selera dan nuraninya yang ternyata binal dan banal.
Dengan kekuatan olahan visual rupa, Egg-O karya Yayan Katho dari Teater Awal UIN Sunan Gunung Djati, membentangkan hasrat, kehendak, dan kekuatan sebagai esensi dasar dan daya dinamik dari proses hidup manusia dalam evolusi kehidupan di semesta ini. Pergumulan hasrat mengingatkan kita akan genesis awal dimana kehidupan lahir dari pecahnya telur kosmik yang melayang-layang di atas permukaan air primordial. Hasrat itu kemudian dalam gerak purbanya menghantar manusia kembali ke jejak asalnya.
Sedangkan Caramu Cirimu dari kelompok Rawikara Lantera Zaman karya Rusli Keeling menggamit masa lalu lengkap dengan segala getar pesona sakralitas karnaval ritualnya yang kemudian mengutuhkan pelbagai keberagaman dalam lingkaran kosmos keteraturan. Pertunjukan yang meruwat semesta chaos menjadi semesta kosmos. Memulihkan dimensi kudus dari realitas kontaminatif ruang dan waktu manusia saat ini.
Peristiwa di Teater karya Semmi Ikra Anggara dari Black Rose Theatre melawan elitisme pertunjukan dengan menghadirkan peristiwa keseharian persiapan pementasan sebagai tontonan pertunjukan. Saat rehat awak pentas menjadi saat rehat penonton. Pentas memperlihatkan segala hiruk-pikuk, problem-problem getir, mentalitas aktor, kecerewetan sutradara, bahkan penghancuran dan penjungkirbalikan setting berikut peruntuhan simbol-simbol sakral keagamaan sebagai pertunjukan. Penelanjangan yang seolah dengan lengking teriak mengatakan, "Inilah kenyataan!".
Karlinda Juwita melalui Seorang Perempuan Bernama Kartini, menyuguhkan pesan kilat bahwa Kartini tengah terlantar oleh kesepian yang miris. Lantaran para perempuan di hari ini hiruk-pikuk berlari ke sana kemari, berebut mengklaim dirinya sebagai Kartini tanpa pernah mereguk pahit luka, kesakitan, perlawanan, serta ketulusan, keindahan, dan keteguhan seorang Kartini.
Taufik Darwis dari Syarekat Ababil memotret kenyataan traumatik perang dalam semangat "bermain-main". Kebisingan lalu lintas jalanan, deru semangat aksi demonstran, gedor dentuman tembak-menembak dibawakan dalam gaya jalan santai pantomim. Anak kecil bermain tembak-menembak dengan lucu, menawarkan permen, menjewer telinga, dan menasihati kecengengan orang besar. Pertunjukan melompat ke dunia klenik hitam dengan tawar-menawar tumbal manusia. Kenyataan korban dan bisnis jual darah dihadapi dengan main-main yang sesungguhnya menyembunyikan sebuah pesimisme putus asa dalam sikap yang dingin, gigil, dan masam.
Lawe N.H. dalam pertunjukan musik "Puitikautis" memainkan musik dalam lingkaran dengan instrumen yang terus bergerak mengelilinginya. Lawe tak ubahnya dengan seorang autis. Memainkan musik secara khusyuk dengan bunyi ketukan, pukulan, dan gesekan yang senggang dan lebar. Sajian musik "aneh" dan tak sedap di telinga yang seolah-olah mengatakan bahwa musik juga butuh godaan keanehan untuk menggugat dan mempertanyakan kembali keindahannya.
Pertunjukan terakhir Interupsi Jambal Roti karya sutradara Benjon menyajikan ironi konsumerisme lewat tematik kisah dan karakter yang terus melintas, interuptif, dan tak pernah diam dalam gaya bahasa yang liar meluapkan reflek-reflek indrawi. Petualangan interogatif melawan tabu susila normatif. Pertemuan dan persetubuhan teater dan karya lukisan Diyanto melahirkan buah keturunan site-instalation theatre.
Karya-karya para pekerja muda teater dalam festival ini meninggalkan satu semangat, yaitu semangat keberanian bagi pernyataan diri termasuk mengetengahkan gugatan, kegelisahan, serta sikap dan gagasan dalam memandang dan menyoal realitas irasional, keterbatasan, dan wajah buruk dunia yang melingkunginya. Di zaman yang penuh ironi dan ketidakutuhan ini, di dunia seni maupun di lapangan kehidupan yang lain, kita butuh generasi yang tidak saja mampu berpikir, tetapi lebih dari itu berani berpikir dan berpikir berani berikut sikap dan karya yang diledakkannya demi pembebasan terhadap apa yang bertumbuh dan meruang di hati, di tubuh, dan di batok kepalanya.***
* Silvester Petara Hurit, pengamat seni pertunjukan.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 23 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment