-- Edy Prasetyono*
SEBAGIAN kalangan masyarakat Malaysia kembali berulah. Kali ini tari pendet dari Bali menjadi targetnya.
Sebelumnya, mereka mendaku reog, angklung, batik, rendang, wayang, Ambalat, dan lagu ”Rasa Sayange” sebagai miliknya. Buku- buku kuno sastra Melayu juga menjadi incaran mereka. Inilah serangan frontal nirmiliter yang ditujukan kepada kebudayaan dan identitas bangsa Indonesia.
Langkah mereka sungguh luar biasa. Tidak pernah terjadi, dalam waktu relatif singkat, sebagian kalangan dari suatu negara mendaku secara bertubi-tubi terhadap kekayaan budaya masyarakat negara tetangganya yang sering dininabobokan dengan sebutan bangsa serumpun.
Masyarakat Indonesia yang sering dianggap sebagai saudara tua benar-benar terlihat letih sehingga sering dipermainkan oleh sebagian saudara mudanya yang tidak mengenal etika pergaulan antarbangsa dengan mengklaim kepunyaan orang lain. Entah apa yang terjadi dengan Malaysia.
Sebagian dari kami telah kehilangan kepercayaan kepada mereka sejak ketegangan Ambalat dan TKI justru saat Indonesia dihantam bencana tsunami.
Identitas bangsa
Tampaknya banyak orang Malaysia memang bermasalah dalam hal identitas bangsa. Kemajuan ekonomi yang dicapai tidak dibarengi pembentukan identitas budaya. Dari segi kultural, mereka adalah keturunan para nenek moyangnya yang berasal dari Sumatera dan sebagian dari Sulawesi (Bugis). Tidak ada kekhasan yang asli Malaysia yang dapat dibanggakan di tengah keberhasilannya dalam bidang ekonomi.
Mereka merasa tidak komplet menjadi bangsa tanpa identitas budaya. Mungkin ada rasa kehilangan identitas yang sangat dalam, yang secara tidak sadar mendorong mereka untuk mengklaim sebagai bangsa yang benar- benar Asia, the trully Asia, tetapi tetap tidak berakar secara lokal/ asli.
Bangsa hanya akan menjadi besar jika mempunyai identitas kuat. Identitas ini juga sering berguna ketika bangsa itu dihadang kesulitan. Ini yang menjelaskan mengapa krisis politik dan ekonomi yang hebat tidak mampu meruntuhkan Indonesia sebagai negara dan bangsa.
Negara dan bangsa tidak dapat hanya mengandalkan aspek fisik. Negara mempunyai dua properti identitas, yaitu fisik dan nonfisik. Properti fisik, misalnya, adalah wilayah, penduduk, kekayaan alam, dan sebagainya. Properti nonfisik adalah nilai, kebudayaan, norma-norma, dan kohesi sosial.
Jika ditanyakan apa identitas kebangsaan Malaysia? Mungkin jawabnya adalah Melayu-Islam. Namun, ini bukan monopoli mereka. Inilah krisis identitas yang mereka hadapi. Suatu krisis yang menjadikan mereka agresif karena kepercayaan diri yang besar, karena kemajuan ekonomi yang mereka raih.
Inferior kompleks
Selain itu, mungkin sebagian masyarakat Malaysia mengalami inferior kompleks yang luar biasa tanpa mereka sadari akibat pengekangan berekspresi di negara ini. ISA (Internal Security Act) masih menjadi belenggu politik dan hukum di Malaysia. Kreativitas tidak tumbuh.
Sebenarnya, lagu-lagu Indonesia jauh lebih laris daripada lagu- lagu Malaysia. Kebebasan pers dan akademis di Indonesia jauh lebih besar daripada di Malaysia. Konsep-konsep dan pemikiran kita tentang nasionalisme dan kemerdekaan jauh mendahului mereka, bahkan termasuk yang paling awal di kalangan pergerakan bangsa-bangsa terjajah, yaitu tahun 1908 dan 1928. Secara terus-menerus nilai-nilai ini terinternalisasi menjadi dorongan besar untuk melakukan reformasi dan demokratisasi di Indonesia yang digerakkan oleh para pemuda dan mahasiswa.
Prestasi besar
Karena itu, saya sering menegaskan dalam berbagai kesempatan, Indonesia mempunyai prestasi luar biasa besar, terlepas dari krisis yang telah melanda negeri ini. Pertama, prestasi demokrasi membuat kita tegak sebagai bangsa beradab dalam pergaulan internasional. Ini membuat kita amat bangga sebagai anggota keluarga besar Indonesia yang kini tidak boleh menundukkan kepala sebagai bangsa paria dalam masalah demokrasi dan HAM. Hal itu kita tunjukkan dalam sikap progresif para diplomat Indonesia dalam perdebatan tentang HAM ASEAN.
Kedua, kita mewarisi kekayaan kebudayaan yang indah dan beragam, yang membuat beberapa bangsa lain mungkin ngiri sampai harus mendaku kebudayaan kita. Kebudayaan strategis kita juga amat hebat sebagai salah satu dari tiga negara (Indonesia, Aljazair, dan Vietnam) yang melakukan perang kemerdekaan melawan penjajah seusai Perang Dunia II.
Ketiga, prestasi membentuk bangsa Indonesia yang terdiri dari ratusan suku dan bahasa-bahasa daerah. Yes, we are Indonesian.
Harus tegas
Klaim-klaim kebudayaan Indonesia oleh beberapa kalangan di Malaysia memang sebagian dibuat oleh nonpemerintah. Namun, bahwa itu terjadi berulang kali menunjukkan Pemerintah Malaysia terkesan membiarkan. Dan membiarkan adalah berarti ”merestui” hal itu.
Apa pun yang terjadi, kita dan pemerintah harus tegas terhadap Malaysia.
* Edy Prasetyono, Dosen pada Departemen Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Indonesia, Depok
Sumber: Kompas, Rabu, 26 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment