Friday, August 21, 2009

[Fokus] Kumparan Fatamorgana: Transformasi Sosial Tak Berarah

-- B Josie Susilo Hardianto dan Aryo Wisanggeni Genthong

MUNGKIN, saat ini, emas boleh jadi adalah nadi kehidupan di Timika. Nyaris semua kumparan dinamika kehidupan masyarakat Timika berpusat padanya. Namun, emas pula yang telah membuat wajah tua Pius Nimaipouw, Kepala Suku Kamoro yang tinggal di Ayuka, Mimika, mengeras.

banyak hal telah dikorbankan warga untuk emas itu, mulai dari tanah, budaya, hingga nyawa.

”Separuh hutan sagu kami sudah tergenangi air limpahan tailing PT Freeport Indonesia. Sagu itu tetap hidup, tetapi rasanya tidak enak. Sungai Pakuna dahulu menghidupi kami, sekarang dangkal karena menjadi tempat pengendapan tailing. Kami sulit berperahu karena sampan selalu kandas. Ikan pun rasa macam kayu saja, tidak segar lagi. Alam ini sudah berubah,” katanya.

Memang sebagai kompensasi atas persoalan itu, PT Freeport memberikan dana perwalian yang besarannya masing-masing 1 juta dollar AS per tahun kepada delapan kampung yang langsung terdampak, Ayuka adalah salah satunya. Namun, sayang, dana itu justru mengubah cara hidup warga Ayuka.

Jika dulu kehidupan Nimaipouw dan warganya berpusat pada sungai, sagu, sampan, dan hutan ulayat di tepi Sungai Pakuna, sekarang pusat kehidupan itu adalah uang. Warga enggan menokok sagu dari hutan ulayatnya sendiri.

”Susah, jika dibikin sagu bola rasanya juga sudah tidak enak. Sekarang keluarga saya membeli sagu di Pasar Swadaya Timika. Mahal, satu potong kecil saja Rp 20.000,” katanya sedih.

Perubahan itu kontras dengan foto-foto penuh sukacita yang kerap muncul dalam laporan tahunan PT Freeport Indonesia. Banyak orang memang pernah berharap, kehadiran perusahaan itu dapat membuka ruang transformasi bagi orang asli Papua untuk memasuki fase ekonomi industri. Namun, sebagian besar perubahan yang terjadi ternyata justru di luar yang diharapkan.

Thomas Wamang, warga suku Amungme, meratapi kaumnya yang kini justru mendewakan uang. Uang yang selayaknya jadi sarana lantas berubah menjadi tujuan dan bahayanya telah mengubah cara hidup masyarakatnya. Uang tidak lagi menjadi sarana membangun, tetapi berubah menjadi energi yang menjerumuskan.

Sejak ditemukan kasus pertama infeksi HIV di Timika pada tahun 1996—ketika dana 1 persen dikucurkan—data Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Papua menyebutkan hingga Desember 2008 kasus HIV/AIDS di provinsi itu mencapai 4.548 kasus. Kasus terbanyak ditemukan di Kabupaten Mimika (1.793 kasus), diikuti Merauke (1.028 kasus), dan Nabire (554 kasus).

Tidak hanya itu, limpahan uang ternyata lebih banyak mengalir keluar dari Timika karena hampir 100 persen sektor ekonomi dikuasai pendatang. Hanya sebagian kecil uang mengendap dan berputar di kota itu.

Memang ada upaya untuk membangun pemberdayaan masyarakat sebagaimana dilakukan Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro dengan mengelola dana kemitraan untuk membiayai berbagai program. Namun, upaya pemberdayaan itu tampaknya belum memberi hasil optimal dan dinilai belum cukup membantu masyarakat Papua bertarung dalam arus modernitas.

Gagap

Kegagapan masyarakat pribumi (istilah Dewan Adat Papua untuk mengartikan indigenous people) Papua memasuki kehidupan modern yang kompetitif dan materialistis menurut Kepala Pemerintahan Adat Dewan Adat Papua (DAP) Fadel Alhamid terjadi secara menyeluruh di Papua. Alasannya, tidak pernah ada rekayasa sosial yang dilakukan untuk menyiapkan masyarakat pribumi masuk dalam sistem kehidupan modern.

Ia mencontohkan, peluang dari pembangunan jalan oleh Pemerintah Kabupaten Sarmi ternyata tidak dapat ditangkap oleh masyarakat pribumi. Mereka justru menjual tanah di tepi jalan kepada pendatang. ”Akhirnya, bukan masyarakat pribumi yang memetik manfaat terbesar dari jalan yang dibangun,” kata Alhamid.

Sebaliknya, Alhamid mengatakan, kebijakan pembangunan dan investasi di Papua justru kerap memarjinalkan masyarakat pribumi. ”Ketika pembukaan perkebunan sawit di Arso, Kabupaten Keerom, hutan sagu dibabat. Ketika hutan sagu dibabat, masyarakat pribumi harus makan beras. Beras harus dibeli sehingga masyarakat pribumi tiba-tiba membutuhkan uang. Tidak ada proses transformasi yang mendahului pembabatan hutan itu. Masyarakat pribumi diberikan pekerjaan di kebun sawit, padahal mereka peramu yang belum terbiasa bekerja. Mereka akhirnya dipecat, lalu bagaimana mereka akan bertahan?” Alhamid mempertanyakan.

Di Papua, seolah ada dua kehidupan terpisah, yaitu kehidupan modern dan kehidupan subsisten yang tidak saling berketergantungan. Krisis bahan bakar minyak di Mulia, ibu kota Kabupaten Puncak Jaya, pada 2007 misalnya, tidak berpengaruh pada masyarakat pribumi yang tinggal di sekitar lapangan terbang Mulia. Mereka tidak punya kompor dan bukan konsumen listrik.

Saat operasi pemulihan keamanan di Kabupaten Puncak Jaya pascapembubaran kelompok bersenjata yang mengibarkan Bintang Kejora di Gunung Kimibaga, sekitar 2.411 orang pribumi mengungsi. Namun, tidak ada masyarakat pribumi yang mengungsi ke Mulia dan meminta perlindungan kepada aparat setempat. Mereka justru pergi sejauh mungkin meninggalkan Mulia, mencari rasa aman di tengah belantara. Kota bukan bagian dari kehidupan mereka.

Media interaksi

Menurut Alhamid, ibu kota kabupaten seharusnya mampu menjadi media interaksi pemerintah dan masyarakat pribumi untuk membangun saling ketergantungan, tetapi ruang itu tidak tersisa lagi karena tidak pernah ada proteksi dan pemberdayaan yang sungguh-sungguh. ”Orang Papua kalah dalam mengakumulasi modal, kesulitan akses informasi peluang usaha, dan kurang terampil mengelola modal. Dengan pembangunan yang berorientasi fisik semata, masalah seperti itu tidak akan pernah terpecahkan. Kebutuhan mendasar orang Papua tidak pernah dijawab pembangunan, bahkan di era otonomi khusus,” kata Alhamid.

Hal itu diperparah oleh ketiadaan akulturasi antara masyarakat pribumi dan sistem nilai modern. Ruang politik dan sosial pun belum sepenuhnya mendukung upaya tersebut.

Menyikapi kritik tentang kebijakan otonomi khusus bagi Papua, Gubernur Papua Barnabas Suebu mengatakan, kebijakan itu tidak gagal, tetapi implementasi otonomi khusus Papua memang belum berjalan semestinya. Penyebabnya antara lain adanya perbedaan pemahaman antara pemerintah pusat dan provinsi, serta lambatnya pembuatan aturan-aturan pelaksanaan seperti peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah khusus.

Selain itu, hingga saat ini masih ada tarik-menarik kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Menurut Barnabas Suebu, hal itu terjadi karena persoalan kepercayaan.

Pemerintah pusat berpendapat Provinsi Papua tidak mampu, sedangkan Pemerintah Provinsi Papua menganggap pemerintah pusat tidak memiliki niat, akibatnya penyerahan kewenangan di luar lima bidang yang tetap menjadi wewenang pemerintah pusat belum dapat dilaksanakan dengan baik. Lalu ada persoalan tata kelola pemerintah yang belum optimal dan berdampak terhadap lemahnya pengelolaan dana yang membuka ruang terjadinya korupsi.

”Oleh karena itu, selama tiga tahun masa kepemimpinan saya, kami secara sungguh-sungguh melaksanakan reformasi birokrasi untuk membangun tata kelola pemerintahan yang baik, untuk mengelola tugas-tugas pemerintah, pembangunan, pelayanan kepada publik, dan penggunaan dana otonomi khusus secara bertanggung jawab, transparan, dan akuntabel,” kata Barnabas Suebu.

Salah satunya dengan program respek atau rencana strategis pembangunan kampung. Hasilnya, angka kemiskinan di Papua turun. Tentu saja, itu menggembirakan. Namun, masih diperlukan upaya keras untuk mewujudkan apa yang menjadi substansi otonomi khusus, yaitu memberdayakan masyarakat Papua. Jangan sampai berlimpahnya uang justru mengaburkannya, menganggap yang maya adalah nyata….

Sumber: Kompas, Jumat, 21 Agustus 2009

No comments: