-- Prakoso Bhairawa Putera S.
DEWASA ini kehidupan bangsa yang majemuk mengalami krisis. Reduksi sikap toleransi dan pengertian untuk saling memahami satu sama lain telah nyata mengancam pluralisme kebangsaan. Hilangnya kesadaran untuk saling menghargai dalam ruang publik telah menyurutkan langkah konkret mewujudkan persatuan yang sinergis. Bahkan, setiap kelompok (primordialistik) menunjukkan apatisme sosial yang saling berlawanan. Ketiadaan mediasi serta solusi penyelesaian terhadap masalah ini justru akan membawa jurang perpecahan yang semakin lebar, dan akhirnya tidak jelas juntrungannya.
Perkembangan kehidupan mutakhir tersebut jelas sangat tidak menguntungkan, khususnya terkait dengan upaya perekatan sosial (social integration). Musuh bersama yang sekarang menantang di depan mata sesungguhnya ialah rintangan berupa sikap absolutisme yang akut itu. Yakni, sikap yang terus merangsang sebuah klaim kebenaran yang mutlak dan terus dipaksakan ke ruang publik sebagai kebenaran yang tunggal dan monolitik. Dalam berbagai varian kehidupan sosial, realita ini muncul sebagai penguasaan wacana publik di antara berbagai pertarungan nilai. Absolutisme dengan retorika yang menggebu-gebu, padahal sarat kosong makna, kemudian hadir seolah-olah telah menghipnotis masyarakat.
Resultan yang diperoleh pada gilirannya ialah terjadi eksklusi sosial di tengah keterbukaan ruang publik. Sebuah gejala perpecahan sekat sosial semakin runcing dengan statisme model eksklusi sosial ini. Masing-masing kelompok yang berbeda dalam keadaan ini begitu sulit untuk menerima titik temu secara dialogis dan komunikatif, sehingga meniscayakan kekerasan, baik kekerasan simbolik berupa pertarungan ruang diskursif maupun kekerasan fisik yang dipakai sebagai logika penyelesaian masalah tanpa pikir panjang. Pada urutannya, lahirlah "otoritarianisme" dalam kehidupan sosial.
Ironi pluralisme yang terkoyak tersebut jelas menjadi defisit demokrasi serta demokratisasi kehidupan bangsa. Bukan saja sikap memutlak-mutlakkan secara logis bertentangan dengan logika demokrasi, namun lebih dari itu demokratisasi gagal justru melalui ketidakmampuan publik mengembangkan inklusivisme sosial yang mengarah ke perwujudan pluralisme yang sejati. Demokrasi merupakan "balairung" dari berbagai pintu kelompok yang amat beragam. Demokrasi bukan dimainkan melalui kekuasaan oligarki yang mengusung perbedaan. Setiap kelompok yang berbeda, dalam demokrasi, mestinya bermain secara fair dan rasional dalam kontestasi yang terbuka dan dialogis-partisipatif. Keluwesan disertai strategi perekatan sosial merupakan arena demokrasi yang sejati.
Kewargaan yang beradab
Nestapa bangsa Indonesia yang dirundung krisis demi krisis, musibah demi musibah, konflik demi konflik, hingga aksi anarkistis dewasa ini harus dihentikan. Minimal ada upaya untuk mencegah noktah hitam itu terus mengotori pakaian kebangsaan kita. Sudah tidak terhitung lagi berapa banyak kerugian yang harus dibayar dengan energi yang amat melelahkan, sementara kekuatan membangun bangsa belum optimal.
Jilid-jilid penderitaan mungkin tidak disadari (lagi) telah mengoyak kesatuan bangsa. Bayangkan, selain ragawi bangsa yang terus didera konflik dan ujian, kemiskinan dan peminggiran masyarakat masih menganga lebar, ternyata jiwa bangsa juga ikut terkoyak. Lebih tepatnya, hilangnya spirit membangun jiwa bangsa yang disodorkan oleh tata laku yang beradab, tepa selira, dan kedamaian. Betapa tidak? Tak ada penyelesaian akhir kecuali banyak yang memakai logika kekerasan. Tak ada solusi dialogis kecuali dengan egoisme melalui pembenaran diri, dan yang lain dipandang berdosa, salah, atau bahkan sesat. Tak ada pemecahan yang damai kecuali dengan budaya sektarian yang memecah-belah tanpa harus menyadarinya.
Kalau ditarik benang krisis dari problem tersebut, tidak terlalu salah jika yang terjadi sejatinya ialah kekeringan spiritual berbangsa. Buana kearifan yang berpangkal pada nilai-nilai transendental dalam Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika luruh oleh penodaan-penodaan. Ada sesuatu yang hilang dari sini, yaitu darma kebajikan antarsesama untuk membangun kesatuan di tengah khazanah kemajemukan. Krisis yang amat fundamental ini mesti disadari betul sebagai kehilangan ruh yang menjadi daya penggerak kehidupan bangsa.
Ikatan sejati di tengah perbedaan melalui keadaban (genuine engagement of diversities within bonds of civility) sebagai inti sari paham kemajemukan bernama pluralisme, buktinya, masih sebatas simbol belaka. Hilangnya spirit menegakkan cita-cita persatuan dan kesatuan dengan demikian menjadi tertunda, bukan tidak menyebut terhenti. Di atas hamparan bumi nusantara yang sangat berharga ini, berapa banyak yang masih mengupayakan kebersamaan? Bukan hanya kebersamaan dalam tampilan kasar berupa kebajikan yang kasat mata, melainkan juga kebersamaan dalam satu rasa dan nurani. Sebagai akibat menyusutnya ruh spiritual itu, lihatlah betapa banyak defisit nasionalisme (lack of nationalism) merekah menghancurkan sendi-sendi kehidupan, dan reduksi keberadaban (uncivilized) dengan kekerasan membuncah melumatkan gapura serta bangunan di dalamnya. Sebagai akibatnya, tenda kebangsaan merobek, sementara upaya merendanya hanya secuil .
Menyadari hal demikian, titik balik peradaban bangsa harus diarahkan menuju masa depan yang optimis. Biarpun banyak sekali derita dan nestapa, namun projek besar membangun bangsa harus terus diamanatkan. Oleh karena itu, upaya pertama yang mesti dilakukan ialah meraih common platform membangun kembali kebangsaan melalui revitalisasi secara berkelanjutan. Titik temu kesamaan ini sangat penting sebagai titik pijak bagi tenda besar kebangsaan dan kewargaan.
Langkah konkret
Hidup di negeri yang berslogan gemah ripah loh jinawi ini sepertinya tidak mudah lagi. Menghidupi diri tidak dengan gampang layaknya menanam kayu yang kemudian tumbuh dan dapat diolah menjadi bahan makanan seperti yang sering diajarkan nenek moyang. Mencari lahan untuk tinggal pun kita harus membayar tinggi jika tidak ingin kebagian tempat di bantaran kali atau tersudut di pojok hutan sambil menunggu digugat oleh petugas dan dimintai biaya untuk administrasi tanah. Bahkan kehidupan nyaman pun tak luput dari tragedi alam hingga lantas berhadapan dengan selalu semrawutnya penanganan pemerintah yang bahkan semakin memperlambat proses bantuan yang secara tulus disalurkan.
Seperti tidak cukup dengan tragedi alam yang kerap terjadi. Persoalan korupsi dan patologi mental birokrasi dan politik lainnya terasa belum maksimal. Usaha pemberantasan selalu dihadapkan dengan budaya yang telah tumbuh dan berkembang lama; menjadi sistemik, dan membangun pola kerangka berpikir pemerintah. Melawannya – meminjam salah satu buah pikir Milan Kundera – seperti ingatan yang berjuang melawan lupa. Maka, kemiskinan struktural terjadilah. Dan seperti yang dipesankan Nabi Muhammad saw., kemiskinanlah yang membawa kita menjadi seorang kufur, yang hatinya tertutup dari cahaya kebajikan alias penuh dengan niat dan tekad kriminal.
Akan semakin panjang dan lama bila masih ingin menyusun daftar "kekurangan" Indonesia. Akan semakin variatif pula ungkapan serupa "Malu Aku Jadi Orang Indonesia"-nya Taufik Ismail atau "Bangsaku yang Menyebalkan"-nya Eep Saefulloh Fatah. Namun, ajakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya juga menjadi sikap kita, tidak hanya bencana yang melanda, tapi kondisi Indonesia secara keseluruhan. "Hanya satu tanah airku. Ia berkembang dengan amal, dan amal itu adalah amalku," begitu ucap Muhammad Hatta yang juga lebih baik menjadi gumam kita.
Sudah selayaknya generasi muda lebih memprioritaskan kebersamaan dalam kebhinnekaan, persatuan, kesatuan, dan kreativitas membangun bangsa. Karena generasi inilah yang berkewajiban menjalankan paradigma baru bangsa dengan potensi, kreativitas, optimisme, dan sikap kebhinnekaan yang mampu menguasai diri dalam ilmu pengetahuan dan teknologi serta tidak melupakan ajaran Ilahi. Untuk semua itu, perlu adanya persatuan di antara individu-individu bangsa ini, terlebih di antara generasi mudanya.
Sebagai kaum muda, harapan bangsa, pemuda wajib membangun kembali benteng persatuan yang sempat goyah. Untuk mengupayakan hal itu harus dimulai dengan komitmen kebangsaan, idealisme yang kuat akan keinginan untuk tetap berpegang teguh pada cita-cita kemerdekaan bangsa dan rasa persatuan kesatuan itu sendiri.
Jika mengkaji pemikiran intelektual, semacam gagasan George S. Counts yang meyakini sekolah sebagai salah satu basis pergerakan perubahan sosial, sungguh sangat menarik. Selama ini rasanya pendidikan di Indonesia (kembali) belum maksimal. Padahal untuk mengharapkan warga sekolah dapat menjadi agen perubahan, Counts sendiri mensyaratkan adanya komitmen kolektif – terutama dari pendidik – untuk memberikan teladan terhadap kesadaran akan tujuan dan visi bersama bangsa. Serta mengajarkan agar tak ragu dan kikuk berhadapan (bahkan menggunakan) kekuasaan yang dapat diraih, selama itu dalam kerangka memperjuangkan tegaknya visi bersama tersebut. Apabila pemikiran ini kita analogikan dalam sebuah konsep negara, maka kesadaran kolektif sepertinya harus terbangun guna prasyarat untuk mewujudkan sistem sosial dan politik yang tidak mendominasi; dalam bahasa filsafat politik Aristoteles, politik harus menjadi jalan mencapai kehidupan yang baik (good life). Tak ada dominasi satu pihak, yang diperlukan adanya paradigma kerja dan paradigma komunikasi.
Dalam perspektif masyarakat yang komunikatif, interaksi atau komunikasi yang berlangsung dua arah, dengan daya saling mengimbangi secara proporsional hanya akan terwujud jika prasyarat intelektual; kesadaran rasional, kemampuan komunikasi – itu terpenuhi. Jika tidak hegemoni yang berkuasa hanya akan menjadi warna dominan dan membuat proses kemajuan bangsa kembali mengalami degradasi.
Bekerja sama dapat menumbuhkan kebersamaan yang bermuara pada rasa persatuan dan kesatuan. Sebagai orang muda, jangan takut untuk minta maaf. Dalam kehidupan wajar jika terkadang kita melakukan kesalahan. Karena, bila masalah kecil kita biarkan maka lama kelamaan akan menjadi besar dan ini akan membahayakan persatuan kita bersama. Telah banyak contoh yang mengarah pada hal ini, akankah kita menambahnya? Oleh karena itu, generasi muda harus berupaya untuk dapat menyelesaikan masalah dari yang kecil-kecil agar tidak membahayakan persatuan bangsa. Mengisi waktu luang dengan hal yang bermanfaat dapat menghindarkan kita dari usaha-usaha provokatif pihak lain. Di lain pihak, menjaga sikap dan mampu mengendalikan diri dalam kehidupan bermasyarakat perlu dikembangkan oleh generasi muda. Selain itu, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam pergaulan sehari-hari dapat dijadikan upaya membangunkan kembali rasa persatuan, karena dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi kesalahpahaman akan terhindarkan.
Introspeksi atau refleksi adalah cara untuk kembali menyadarkan. Ibarat kaca spion bagi kita, kita dapat sesekali menengok ke belakang, agar langkah maju kita tak tertikam bahaya laten ataupun kecerobohan yang tak perlu. Termasuk keliru memahami dan menghadapi perubahan.
Masyarakat komunikatif tercipta dengan mampu merasakan kepekaan dan kepedulian serta siap berargumentasi memecahkan permasalahan kompleks yang diidap. Kongkretnya, dengan cara itu, dapat mengawal masa-masa sulit ini menuju suatu arah yang tepat. Bagaimanapun menyiapkan seperangkat infrastruktur yang capable menyikapi setiap kejutan arah angin perubahan secara tenang dan penuh perhitungan dalam konsensus, dapat menyediakan energi yang berlimpah ketika kita amat membutuhkannya. Mengedepankan prioritas tidak bermakna mengesampingkan kebutuhan lainnya.
Orang selalu mengimpikan suatu kedamaian di mana setiap orang bebas hidup dengan damai dan mewujudkan cita-citanya. Baru belakangan ini kita mulai menyadari, dengan kerja sama, kita mampu membangun dunia yang damai. Daripada kita bertengkar satu sama lain, lebih baik kita memerangi bahaya yang akan sama-sama kita hadapi, yaitu kekerasan, keserakahan, membongkar akar-akar pertikaian dan mencoba melaksanakan persamaan lebih besar dalam hubungan ekonomi, sosial dan budaya. (Javier Perez de Cuellar).
Dalam tugas yang memakan waktu dan menantang ini, mantan Sekjen PBB Javier Perez de Cuellar mengatakan, kita harus membentengi diri dengan kepercayaan pada nilai-nilai keutamaan manusia akan cinta, kasih sayang, dan kebijaksanaan sebagai modal memandang masa depan.
Barangkali, sebagai bagian dari bangsa ini. Memang yang lebih diperlukan adalah kemampuan memelihara memori dan mengambil pelajaran dari apa yang sudah bersama kita lalui sebagai sebuah bangsa. Sebuah refleksi juga jalan untuk upaya merawat ingatan bahwa kemerdekaan ini adalah hasil perjuangan beratus dekade oleh berjuta pejuang; bahwa otoriterianisme merupakan jalan yang tidak kita inginkan sebagai bangsa yang bercita-cita dewasa; bahwa represivitas melumpuhkan demokrasi dan intelektualitas; bahwa kebebasan berpikir dan bersuara telah dibayar mahal oleh nyawa yang tak ternilai; bahwa korupsi dan kawan-kawannya telah menghancurkan sendi-sendi keadilan dan meluluhlantakkan harapan untuk hidup makmur, sejahtera, dan berkeadilan; bahwa wajah pendidikan menentukan karakter bangsa; bahwa persoalan bangsa ini adalah persoalan yang harus kita selesaikan secara bersama-sama; bahwa jauh dari tempat kita berada banyak sosok yang tulus bergerak untuk sesuatu yang memiliki nilai kontribusi tinggi daripada kita yang hanya berdiam sambil berpura-pura diskusi dan turut berpikir.***
* Prakoso Bhairawa Putera S., peneliti muda kebijakan iptek – LIPI, Jakarta.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 23 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment