-- Iwan Meulia Pirous
WILAYAH perbatasan negara sering kali dibayangkan sebagai area pinggiran yang ”asing”. Imajinasi kita tentang perbatasan negara adalah garis merah di atas peta nasional sebelum daerah putih. Garis ini merupakan pinggiran kedaulatan, kawasan frontier yang rentan aktivitas ilegal dan penyusupan paham-paham asing.
Bendera Merah Putih berkibar di atas perahu yang ditambatkan di depan tugu perbatasan negara di Pulau Miangas. Pulau Miangas adalah pulau paling utara dari Republik Indonesia yang luasnya 3,15 km persegi dan terletak di Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara, Senin (3/8). (KOMPAS/AGUS SUSANTO)
Maka, cara pandang keamanan dianggap dominan untuk menyelesaikan masalah-masalah perbatasan secara seragam. Isu-isu yang mengemuka tentang perbatasan negara sering kali juga direduksi sebagai masalah pelanggaran kedaulatan, kesimpangsiuran tapal batas, serta adu kekuatan diplomasi politik antarnegara sebagai aktor-aktornya.
Pemahaman kita tentang perbatasan negara sendiri masih terpaku pada persoalan properti ”kita” dan ”mereka”, yang mempersoalkan garis-garis kartografis sebagai penanda jati diri bangsa. Warga yang tinggal di daerah perbatasan negara dengan sendirinya dianggap rentan untuk dimasuki nilai-nilai budaya asing, termasuk ideologi-ideologi berbahaya.
Oleh karena itu, perbatasan dianggap perlu dijaga dengan kekuatan militer penuh. Tapi, benarkah demikian?
Cukup Indonesiakah?
Untuk kasus Kalimantan, warga perbatasan sesungguhnya mengalami minoritas ganda. Di negara sendiri mereka tidak mendapatkan pelayanan layaknya warga negara karena minimnya infrastruktur lokal.
Mereka pun dikenakan stigma sebagai orang-orang yang mudah terbawa-bawa paham asing alias tidak nasionalis, dan perlu selalu diberdayakan dan diindonesiakan. Sementara di negara tetangga, mereka pun mendapatkan perlakuan stereotip sebagai pendatang haram, yang sering kali harus bersiasat memanipulasi dan memanfaatkan identitas kultural ketika ada razia.
Sesungguhnya keterikatan warga perbatasan yang mayoritas adalah suku Dayak terhadap tanah sangatlah kuat. Sistem perladangan berpindah yang mereka praktikkan turun-temurun menuntut konsistensi mereka untuk kembali ke tanah tersebut dalam jangka waktu tertentu. Alpa menunaikan kewajiban berladang berarti merelakan tanah diambil orang.
Maka, jika kita tanyakan kepada seorang Dayak di ladang, mereka akan dengan pasti menyebut bahwa tanah air adalah Indonesia, sementara Malaysia hanya berupa ladang berikutnya untuk merantau mencari pekerjaan dan pendidikan.
Pengalaman buruk masa konfrontasi dengan Malaysia pada 1960-an memberikan narasi kuat tentang nasionalisme sebagai sesuatu yang pahit tapi penting.
Tahun 1963, Soekarno menginstruksikan agar sukarelawan di Kalimantan Barat yang kebanyakan etnis Tionghoa—yang pro terhadap kemerdekaan Malaysia—dilatih militer oleh RPKAD. Milisi yang terbentuk kemudian menjadi Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) maupun Paraku (Partai Rakyat Kalimantan Utara), ditugaskan menghadang Inggris dan Gurkha.
Tahun 1968, Soeharto menyerukan agar konfrontasi dihentikan dan RPKAD diminta melibas milisi yang mereka latih. Konflik tidak terhindarkan. Banyak suku Dayak Iban yang direkrut paksa untuk membunuh gerilyawan PGRS-Paraku, dengan alasan mereka musuh Indonesia. Sementara itu, tidak sedikit saudara Iban mereka di Malaysia direkrut Inggris untuk menghadapi Iban Indonesia.
Bagi rakyat yang hanya merupakan pion, nasionalisme adalah sesuatu yang asing dan aneh, jauh dari aspek kultural, sangat penuh pemaksaan dan berdarah. Ironisnya, ketika perbatasan bukan lagi merupakan ”hotspot” seperti tahun 1960-an, perbaikan signifikan bagi warganya masih sangat minim.
Budaya khas perbatasan
Sudah saatnya kita memikirkan problem perbatasan secara kultural. Sepanjang berupa daratan, perbatasan negara adalah kawasan dengan penduduk beragam yang telah lama hidup sebagai masyarakat, bahkan jauh sebelum negara ada.
Wilayah Kalimantan memberikan contoh bahwa suku Dayak Iban dan Dayak Kenyah sudah mengembangkan pola migrasi, jalur penjualan komoditas hutan, wilayah permukiman, dan sistem kekerabatan, yang melintasi wilayah-wilayah yang merupakan kekuasaan Inggris dan Belanda pada masa lalu, yang kini menjadi batas internasional Malaysia-Indonesia. Suku Iban melakukan bejalai, yaitu mengembara mencari hasil hutan, bekerja cari nafkah, sebagaimana suku Kenyah melakukan peselai dengan esensi yang sama.
Bukan hal aneh bila pola migrasi kedua suku tadi bersifat transnasional, mengikuti pola kekerabatannya. Minimnya hegemoni kekuasaan negara di perbatasan membuat warga terbiasa hidup tanpa adanya budaya dominan. Maka, masyarakat perbatasan di Kalimantan secara aktif mengembangkan budaya yang sangat toleran dan apresiatif terhadap etnis lokal, etnis pendatang, maupun para pemangku kepentingan untuk tujuan-tujuan kooperatif.
Sekalipun hadir, negara lebih pada regulator, mengontrol arus orang dan barang yang sering kali menyulitkan dengan urusan imigrasi dan perizinan. Pada saat seperti ini, identitas etnis digunakan secara maksimal.
Baik Iban maupun Kenyah menggunakan pengetahuan sistem kekerabatan untuk menerangkan asal-usul yang akan sangat berguna dalam urusan negosiasi imigrasi dengan petugas-petugas di Malaysia, yang juga banyak menggunakan orang-orang Dayak. Dalam urusan kesehatan dan pendidikan, masyarakat perbatasan lebih memilih berorientasi pada Sarawak, mengingat biayanya bisa sangat murah—bahkan gratis—asal dapat membuktikan adanya hubungan keluarga dengan warga lokal Malaysia.
Sudah merupakan hal biasa, keluarga-keluarga Dayak di Indonesia menitipkan anak-anak mereka kepada keluarga Dayak di Malaysia untuk diadopsi sehingga pendidikannya menjadi gratis. Persoalan muncul kemudian, ketika mereka tidak bisa kembali ke kampung untuk bekerja di sektor-sektor pemerintahan karena statusnya sebagai warga negara Malaysia.
Keterikatan historis dengan wilayah dan penduduk Malaysia karena alasan kesamaan budaya, juga keterbukaan akses ke Sarawak, dipahami sebagai ancaman oleh Pemerintah Indonesia sehingga dianggap perlu untuk membuat jalan darat yang mempermudah akses ke Indonesia.
Tahun 1988 dibukalah jalan lintas utara di sepanjang Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Dengan begitu diharapkan akan menjauhkan orientasi warga perbatasan dari Sarawak serta membuat komoditas hutan mengalir ke arah dalam negeri.
Diharapkan masyarakat perbatasan akan ”terpanggil pulang” untuk lebih mendekat ke wilayah Indonesia. Kebijakan ini adalah kelanjutan dari pasca-konfrontasi dengan Malaysia ketika masyarakat perbatasan dipaksa meninggalkan dusun-dusun dan diharap untuk membangun rumah panjang baru di areal lebih masuk ke Indonesia.
Namun, akibat yang terjadi malah sebaliknya. Terbukanya akses darat menuju Sarawak justru mendatangkan bisnis baru yang lebih menjanjikan, yaitu kayu. Cukong-cukong kayu dari Malaysia memanfaatkan peluang ini secara legal maupun ilegal dengan mempekerjakan buruh-buruh lokal dan migran dari Indonesia.
Saat ini, wilayah perbatasan Malaysia-Indonesia di Kalimantan lebih mirip seperti pasar tempat bertemunya berbagai suku bangsa yang datang dari luar pulau (Jawa, Bugis, Makassar, Flores, Timor) karena magnet pekerjaan sebagai buruh kayu tanpa perlu dokumen. Akses terhadap komoditas bahan pokok dari Sarawak ke Indonesia pun jadi mudah.
Banyaknya bahan pokok made in Malaysia di wilayah perbatasan Indonesia menjawab kebutuhan akan barang sehari-hari dengan harga terjangkau.
Terkecuali kemudahan-kemudahan izin lintas batas bagi warga Dayak transnasional, negara memang belum mampu menjawab banyak persoalan dengan regulasi sehingga banyak aktivitas di perbatasan dilabelkan dalam kategori ilegal. Negara, melalui kebijakan pengelolaan perbatasan, harus memerhatikan adanya kemungkinan bahwa kebijakannya itu hadir bersamaan dengan kebijakan nasional negara tetangga.
Penting untuk diketahui bahwa batas administratif belum tentu berpotongan secara persis dengan batas budaya. Untuk itu, pemahaman perbatasan secara transnasional dengan pertimbangan adanya pengakuan (recognition) terhadap adanya budaya khas perbatasan, kesamaan etnis dan sejarah, sudah saatnya dilakukan.
Saya pikir, mempertanyakan kualitas keindonesiaan saudara-saudara kita di perbatasan adalah naif. Justru mereka adalah pendekar-pendekar yang menjaga dan berkorban agar Indonesia ini tetap ada.
* Iwan Meulia Pirous, Direktur Eksekutif Forum Kajian Antropologi Indonesia
Sumber: Kompas, Jumat, 14 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment