-- M Alfan Alfian*
RAMAI-RAMAI protes klaim tari pendet oleh pihak tertentu Malaysia mengingatkan klaim-klaim atas produk kebudayaan Indonesia lainnya.
Hal ini menyisakan pertanyaan mendasar, sejauh manakah politik kebudayaan kita?
Ini soal yang amat penting dan mendesak untuk dibicarakan ulang. Desain besar apa yang harus dihadirkan setelah polemik kebudayaan tak lagi terdengar?
Munculnya aneka protes sebagai bentuk ketersinggungan atas klaim produk-produk kebudayaan kita oleh Malaysia seharusnya segera memicu perlunya dipikirkan kembali hal-hal mendasar atas politik kebudayaan kita. Hendak diarahkan ke mana kebudayaan bangsa ini?
Berbagai kebudayaan yang sudah sejak dulu dan melekat ke dalam identitas Indonesia tidak lepas dari proses interaksi dengan pengaruh-pengaruh bangsa-bangsa lain. Tidak ada produk budaya yang murni hadir tanpa proses interaksi dengan yang lain. Yang menjadi khas adalah saat ada tafsir yang estetis diwujudkan ke berbagai bentuk produk kebudayaan. Lokalitas itulah yang otentik.
Karena itu, meski pernah didefinisikan bahwa kebudayaan nasional adalah puncak dari kebudayaan-kebudayaan daerah, bukan berarti ditafsirkan sebagai homogenisasi atas produk-produk kebudayaan lokal. Indonesia hanya merangkai suatu mosaik khazanah kebudayaan yang kaya, Bhinneka Tunggal Ika.
Yang diributkan dengan Malaysia saat ini lebih banyak dalam konteks kebudayaan materi. Padahal, kebudayaan banyak yang bersifat abstrak (nonmateri) dan tidak dapat dikuantitatifkan. Karena itu, tugas pemerintah dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan tak dapat dipaksakan untuk diderivasikan ke dalam angka-angka. Ketika kebudayaan didepartemenkan, harus jujur diakui, banyak hal yang dirasakan justru mempersempit makna kebudayaan itu sendiri.
Reorientasi pola pikir
Satu peninggalan berharga atas Polemik Kebudayaan 1930-an yang melibatkan Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Sutomo, Ki Hadjar Dewantara, Purbatjaraka, dan lainnya adalah mengajarkan kepada kita pentingnya pola pikir kebudayaan yang tepat bagi bangsa kita yang plural ini. Di wilayah gagasan, masalah kebudayaan kita belum selesai.
Polemik kebudayaan perlu dilanjutkan, setidaknya untuk merangsang progresivitas pemikiran kebudayaan kita sebagai bangsa yang harus lebih maju. Bahaya besar akan muncul jika soal-soal gagasan kebudayaan tidak lagi didiskusikan secara terbuka dan merangsang suatu pemikiran terobosan bagi bangsa yang saat ini banyak dirundung masalah ini. Polemik kebudayaan itu jangan hanya disimpan di laci sejarah.
Jika kesadaran kebudayaan (maknanya lebih luas ketimbang kesenian) telah tertanam di benak kita sebagai bangsa yang besar dan punya banyak potensi, setidaknya upaya untuk menemukan kembali orientasi kita sebagai bangsa yang digagas oleh pendirinya berdasarkan falsafah Pancasila tidak sulit.
Kekuatan pemikiran
Kebanggaan sebagai bangsa tak pernah lepas dari kekuatan pemikiran. Jika tidak pernah ada rangsangan dan gairah menyala-nyala atas tradisi berpikir kebudayaan, kita tidak akan pernah menemukan letak kebanggaan itu dan tanpa sadar melarutkan diri ke tengah pusaran negativitas globalisasi, menjadi bangsa inlander kembali.
Kita berada pada abad yang besar, kata Hatta mengutip penyair Jerman, tetapi menemukan orang-orang kerdil. Sindiran itu masih terasa hingga kini. Orang kerdil yang dimaksud ialah yang malas berpikir dan berbuat, menciptakan sesuatu yang besar bagi kejayaan bangsanya.
Kita sudah banyak ketinggalan dalam kompetisi ”di segala bidang” dengan bangsa-bangsa lain dan, lagi-lagi terinspirasi Hatta, harus bergerak cepat. Tinggalkan pepatah ”biar lambat asal selamat”. Ubah menjadi ”harus cepat dan selamat”.
Soal klaim tari pendet dan sebagainya oleh pihak lain, pemerintah bisa segera mengambil langkah-langkah nyata, termasuk mematenkan banyak khazanah kebudayaan kita. Namun, ingat, kebudayaan tak sekadar terkait hal-hal demikian, tetapi terutama cara berpikir dan bertindak kita.
* M Alfan Alfian, Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta
Sumber: Kompas, Senin, 31 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment