-- M Syaifullah
TIGA lelaki tanpa baju, Jumat (31/8) sekitar pukul 19.00, membungkukkan badan secara bergantian saat melewati portal atau palang kayu ulin di Jalan Pangkalan menuju Sungai Aji Kuning di Pulau Sebatik. Tanpa rasa takut, malam itu, mereka masuk ke perbatasan negara Malaysia di Sebatik.
Para petani di Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, menyemprot hama yang menyerang tanaman padi mereka. Hal ini dilakukan agar padi tidak puso. Para petani Sebatik menjual beras dengan harga Rp 6.500 per kilogram. Beras Sebatik sangat digemari di Tawau, Malaysia. (KOMPAS/M SYAIFULLAH)
Memang betul, sebagian Sungai Aji Kuning itu masuk wilayah Malaysia. Tapi, kami tidak pernah macam-macam di sini. Kami warga Indonesia. Karena itu, tidak pernah menggeser atau merusak patok batas Negara,” kata Jamal (35), warga Dusun Abadi, Desa Aji Kuning, Kecamatan Sebatik Barat, Kabupaten Nunukan, Kaltim.
Jamal adalah salah satu dari tiga lelaki yang turun ke Sungai Aji Kuning. Di Sungai itulah mereka menurunkan hasil pertanian yang dikumpulkan dari kebun-kebun milik petani Sebatik.
Malam itu, bertandan-tandan pisang, daun pisang, sayur-mayur, nanas, pepaya, durian, kakao, dan lainnya diangkut ke beberapa perahu jongkong. Begitu selesai, mereka pun kembali ke rumah untuk beristirahat.
Sekitar pukul 05.00, mereka kembali ke sungai. Airnya yang tadinya surut, tergenang lagi karena air laut pasang. Perahu-perahu itu pun berlayar menuju muara. Kurang dari satu jam, jongkong-jongkong itu tiba di Tawau.
”Tujuan mereka cuma menjual hasil pertanian ke Tawau. Semua terjual karena sudah pesanan para pedagang di sana,” kata Khumson, Koordinator Penyuluh Pertanian Sebatik.
Selama ini, perdagangan lintas batas tidak bermasalah. Sebab, para petani tidak pernah merusak atau menggeser patok batas kedua negara.
Para petani di sana justru memanfaatkan lahan perbatasan untuk bertani. Kepentingannya hanya satu, hasil usaha tani ini terus terserap pasar di Tawau. Dengan begitu, kehidupan mereka juga bisa terpenuhi.
Untuk di wilayah utara Kaltim, kata Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Nunukan Jabbar, pertanian di Sebatik paling maju. Kemajuan ini terjadi selain karena para petaninya rajin dan tanahnya subur, mereka juga bergairah lantaran memiliki pasar yang jelas, yakni ke Tawau.
Hasil panen padi saja, lanjutnya, saat ini mencapai 4,6 ton per hektar gabah kering giling (GKG). Luas tanaman padi di Sebatik 861 hektar dengan panen dua kali setahun. Sekali panen, paling mencapai 4.000 ton GKG.
Sebagian besar produksi padi dijual ke Tawau karena harganya cukup tinggi Rp 4.760-Rp 6.500 per kilogram. ”Para petani di sana rela membeli beras lainnya yang lebih murah dengan harga Rp 3.000-Rp 4000 perkilogram,” katanya.
Padahal, beras yang dijual ke Tawau itu bukan padi yang baru di panen, tetapi hasil panen tahun lalu. Ini memperlihatkan manajemen ketahanan pangan warga perbatasan juga berjalan baik.
Untuk pisang, misalnya, sehari saja pengiriman ke Tawau melalui satu tempat pengumpulan di terminal agrobisnis bisa, misalnya, mencapai 8 ton. Kakao mencapai 10 ton, durian mencapai 5 ton, dan cempedak 2 ton.
Adapun harganya, kakao 4 sampai 6,5 ringgit atau Rp 11.200-Rp 18.200 per kilogram. Pisang satu tandan sekitar 4 ringgit (Rp 11.200) atau satu sisir seharga 70 sen (Rp 2.100). Sedangkan kopi 6 ringgit (Rp 16.800) per kg. Kelapa sawit 140 ringgit (Rp 392.000) per ton. Buah-buahan, seperti durian dan duku, dijual 3 ringgit (Rp 8.400) per kg.
”Kepastian pasar yang demikian tidak didapatkan kalau menjual ke Tarakan atau Samarinda. Sebab, selain jaraknya jauh, ongkos angkutnya mahal, juga belum tentu terjual habis. Inilah keunggulan bertani di Sebatik,” tuturnya.
Yang membuat mereka khawatir justru adanya tindakan aparat Malaysia yang melancarkan klaim di beberapa areal pertanian milik warga Sebatik yang masuk wilayah negara tersebut. Pada saat kasus Ambalat memanas Juni lalu, misalnya, beberapa warga Desa Sungai Pancang, Kecamatan Sebatik, sempat dikejutkan dengan pemasangan patok-patok kayu di areal persawahan seluas 290 hektar.
Petani-petani setempat baru tenang mengerjakan sawahnya setelah aparat TNI mencabuti patok-patoknya. Alasan pihak TNI melakukan itu karena patok resmi batas negara sudah ada, yakni 18 buah.
Persoalannya, belasan patok tipe C di sepanjang 25 kilometer di batas kedua negara itu tidak banyak diketahui warga karena jaraknya jauh, 1-2 kilometer. Beberapa patok itu juga nyaris terbenam tanah seperti di Aji Kuning.
Akibat kondisi patok yang demikian, terdapat beberapa rumah warga di Aji Kuning yang berdiri persis di batas kedua negara. Rumah-rumah itu bisa berdiri karena tidak ada pagar batas negara yang tegas berupa kawat berduri atau tembok seperti batas negara pada umumnya. Permukiman itu juga sudah ada sebelum ada perjanjian tapal batas kontinental Indonesia-Malaysia di Kalimantan tahun 1969 dan persetujuan batas laut Indonesia-Malaysia tahun 1970.
Beberapa warga Desa Aji Kuning yang ditemui belum lama ini menyebutkan, setahu mereka, patok yang ada sekarang di desa mereka bukan patok sebenarnya. Dulu, patok itu ada di sebelah Sungai Aji Kuning di wilayah Malaysia. ”Kami tidak tahu kenapa diletakkan di sini,” kata Andi Zakir, warga Desa Aji Kuning, menunjuk patok batas negara yang bersih berada di sebelah kanan depan rumahnya.
Persoalan ini perlu penyelesaian sebaik-baiknya agar tidak menjadi masalah krusial nantinya. Alasannya, kata Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat Kabupaten Nunukan Syafaruddin, masalah pergeseran patok atau kasus Ambalat yang terjadi akhir-akhir ini bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri.
Ini seperti menjadi lanjutan aksi Malaysia setelah merebut Pulau Sipadan dan Ligitan dari tangan Indonesia.
Tahun 1979, Malaysia membuat peta yang memasukkan blok Ambalat ke wilayahnya dengan memajukan koordinat 4°10ì arah utara melampaui Pulau Sebatik.
Dengan peta itulah Malaysia berkali-kali melakukan provokasi di perairan Ambalat, antara lain manuver kapal perang dan kapal patroli polisi Malaysia masuk perairan Indonesia, mengusir nelayan yang melaut, ataupun melarang membangun bagan.
Selain itu, menurut Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Kecamatan Sebatik Masjidil, para nelayan Sebatik juga beberapa waktu lalu sempat khawatir dengan maraknya pemakaian trawl (pukat harimau) milik para pengusaha Malaysia yang masuk wilayah perairan Ambalat Indonesia.
”Sekarang para nelayan sudah senang kembali ke perairan Ambalat karena sudah aman,” katanya.
Hal itu karena kapal-kapal perang Indonesia terus berpatroli. Di tapal batas di Sebatik juga aman karena terus di pantau petugas TNI yang menempati beberapa pos. Bahkan, pada akhir Juli lalu, para nelayan Sebatik juga memperlihatkan kesetiaan kepada Tanah Air-nya dengan beramai-ramai ke Ambalat untuk berikrar setia ikut menjaga wilayah Indonesia di perairan tersebut dengan memasang sedikitnya 800 bendera Merah Putih di bagan dan perahu-perahu mereka.
Yang mesti dilakukan pemerintah sekarang, kata Syafaruddin, adalah memacu pembangunan di wilayah perbatasan Kaltim ini dengan fokus memajukan kesejahteraan masyarakatnya. Bukan sebaliknya, mereka terus dibiarkan mencari hidup sendiri terus bergantung dari negeri jiran.
Sumber: Kompas, Sabtu, 15 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment