-- Rosihan Anwar*
PADA zaman sekarang kerja media dan wartawan hebat. Peristiwa memburu teroris Noordin M Top di Temanggung, 7 Agustus 2009, diliput live hiruk-pikuk oleh televisi, diberitakan lengkap oleh pers cetak. Pada zaman dulu, persisnya tanggal 17 Agustus 1945, segalanya sunyi sepi belaka. Tidak ada berita dalam koran tentang proklamasi kemerdekaan yang diumumkan oleh Soekarno-Hatta di Pegangsaan Timur 56 Jakarta.
Kontras tajam ini tidak selalu diketahui oleh anak bangsa kini.
Satu-satunya surat kabar di Jakarta, waktu itu, ialah Asia Raja. Terbit awal 1942 dengan Soekardjo Wirjopranoto, tokoh Parindra, anggota Volksraad (Dewan Rakyat) zaman kolonial Belanda sebagai pemimpin umum, dan RM Winarno sebagai pemimpin redaksi, kemudian digantikan oleh Mr Soemanang. BM Diah adalah redaktur luar negeri dengan nama pena: Bahroen Oedaja. Anwar Tjokroaminoto penulis pojok dengan nama: Bang Beojat. Saya, sejak usia 20 tahun, bergabung sebagai wartawan junior di Asia Raja.
Sialnya, tanggal 17 Agustus 1945, saya tidak berada di Jakarta. Masih tetirah di Sukabumi karena sakit malaria tropika. Begitu mendengar kabar "ada apa-apa terjadi di Jakarta", "tentara PETA memberontak", maka pada 18 Agustus saya bergegas balik ke Jakarta. Tanggal 19 kerja lagi menunggu berita di gedung Pejambon di mana Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta mengadakan rapat dengan para pemimpin lain, menyusun pemerintahan Republik Indonesia yang baru diproklamasikan.
Saya cek isi koran Asia Raja. Di halaman depan kiri atas terdapat berita berjudul Terus berjuang menegakkan kemerdekaan ketetapan hati bangsa Asia. Sedangkan, di bagian kanan atas dimuat berita berjudul Pengalaman sewaktu menjadi tawanan dalam kapal selam musuh. Sebuah foto dimuat dengan keterangan gambar yang berbunyi: "Haiho kita siap untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang kekal dan abadi, makmur dan adil".
Tanggal 18 Agustus 1945, Sabtu, Asia Raja memuat di halaman depan judul berita: Pengangkatan kepala negara Indonesia Ir Soekarno dan Drs Moh. Hatta.
UU negara disahkan.
Kemudian judul berita Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Di bagian kanan bawah halaman muka tertera sebuah artikel yang ditulis oleh Soekardjo Wirjopranoto berjudul Indonesia Merdeka goal.
Akan tetapi, bila diperiksa dengan teliti, berita dan tulisan di surat kabar Asia Raja tanggal 17 dan 18 Agustus 1945 tidak ada satu patah kata pun menyebutkan tentang proklamasi kemerdekaan 17 Agustus yang dibacakan oleh Soekarno. Mengenai proklamasi kemerdekaan itu koran bungkam sama sekali. Penyebabnya, Gun Kenetsu Han, badan sensor balatentara Dai Nippon, tidak mengizinkan berita tentang proklamasi disiarkan dalam surat kabar. Pada zaman Jepang, berlaku ketentuan setiap berita yang hendak dimuat dalam koran harus lebih dulu dikirim ke kantor sensor. Baru setelah dibaca sensor dan diberi persetujuan (fiat) koran bisa menyiarkannya.
Selundupkan Berita
Pada 17 Agustus 1945, Jepang menyerah kalah kepada pihak Sekutu dan diperintahkan untuk menjaga keamanan dan ketertiban menunggu sampai tentara Sekutu tiba di Jakarta. Dalam keadaan demikian, pimpinan tentara Jepang ke-16 di Jawa melarang penyiaran berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Bagaimanakah waktu itu memberitahukan kepada rakyat tentang peristiwa proklamasi? Jangan lupa, koran dan wartawan sedikit jumlahnya. Ada usaha melalui wartawan yang bekerja pada kantor berita Jepang Domei Bagian Indonesia, seperti Adam Malik dan kawan-kawan, untuk menyiarkan berita proklamasi dengan sandi worse, tapi apakah sampai pada pihak-pihak yang dituju, tidaklah pasti.
Wartawan Domei Indonesia itu (kelak kantor berita Antara) menyelundupkan berita proklamasi kepada kawan-kawan di radio Jepang Hos Kyoku, seperti Jusuf Ronodipuro, untuk disiarkan secara klandestin. Memang sempat dibacakan, tapi ketahuan oleh Jepang. Kempetai segera menindak. Jusuf dan teman-temannya dipukuli dan "dipermak" oleh pihak Jepang.
Meskipun koran Asia Raja tidak bisa memuat berita proklamasi tanggal 17 Agustus, namun dalam perkembangan selanjutnya berkat ketuk-tular kabar dari mulut ke mulut, rakyat di Pulau Jawa, lalu di Sumatera, tahu juga tentang proklamasi. Fotografer Mendur bersaudara, yakni Alex dan Frans Sumarto (kemudian mendirikan Ipphos), sempat membikin foto tentang Soekarno membacakan proklamasi dan Chudancho PETA Latif Hendraningrat mengibarkan bendera Sang Merah Putih, yang pada malam sebelumnya dijahit oleh Ibu Fatmawati Soekarno.
* Rosihan Anwar, wartawan senior,
Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 19 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment