Friday, August 28, 2009

[Sosok] Kang Yoyon dan Kecanduan Teater

-- Edna C Pattisina

”KITA berkeliling jalan kaki ke mana-mana menyuarakan kemanusiaan sambil membawa cawan pengasihan untuk sekadar bertahan hidup”. Potongan kredo dari Suyatna Anirun ini dilantangkan Mohamad Sunjaya sebagai pembuka pementasan ”Tari Terakhir” oleh Actors Unlimited di Bentara Budaya Jakarta, 25 Juni 2009. Pementasan tentang dunia seni pentas yang terseok-seok karena kelangkaan dana.

Mohamad Sunjaya (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)

Mohamad Sunjaya, sang aktor, 28 Agustus kemarin genap berusia 72 tahun. Setiap tahun ia aktif dalam sekurangnya satu pementasan. Telah banyak cerita yang beredar tentang sosok yang sering dianggap eksentrik di kalangan orang panggung di Bandung tersebut.

Percakapan dengan Kang Yoyon, panggilannya, berkisar soal energinya dalam berteater hingga kegetiran dana di dunia panggung Indonesia.

”Saya setuju dengan kredo Suyatna. Saya itu orang yang tidak mengutamakan materi. Akan tetapi, saya juga tidak antimateri atau selebriti. Cuma, memang saya tidak mau seperti mereka. Saya ya saya,” katanya.

Inilah akar dari energi yang dimiliki Kang Yoyon selama bertahun-tahun untuk berteater. Ia sadar, dalam berkarya, dibutuhkan energi. Sementara itu, menurut dia, energi manusia itu serba terbatas.

Kang Yoyon mengaku bukan orang yang mampu membagi dua dirinya, antara berkarya untuk memuaskan diri dan berkarya untuk menghasilkan uang.

”Ada orang-orang yang bisa berdiri di dua dunia itu, mereka jago. Saya salut, seperti Nano Riantiarno, dia bisa. Kalau saya, enggak bisa,” katanya.

”Cara saya memelihara energi adalah mengabaikan hal-hal yang enggak perlu,” tambahnya. Bagi Kang Yoyon, hal-hal tidak perlu ini termasuk jika ada tawaran kerja seni yang menghasilkan uang cukup besar.

Ia mengakui, pikirannya ini bertentangan dengan arus besar yang ada dalam masyarakat. Bagi Kang Yoyon, uang itu penting sebagai alat tukar. ”Tetapi, saya tidak mau dijajah oleh dan karena uang,” tegasnya.

Tak rajin mencatat

Kang Yoyon mulai main drama tahun 1955 saat duduk di bangku SMA. Saat Studiklub Teater Bandung didirikan tahun 1958, ia langsung menjadi sekretaris umum. Dalam catatannya, yang menurut Kang Yoyon, ”Itulah yang saya ingat sebab saya bukan orang yang rajin catat-mencatat”, ada 34 kali pementasan sejak 1959 hingga 2008.

Awal 1960, sebagai lulusan SMA, ia bekerja formal dari pagi hingga sore hari. Pulang bekerja, ia berteater. ”Saya bekerja hanya supaya bisa bayar indekos,” katanya.

Kang Yoyon mengakui, banyak pihak yang menyebut-nyebut dirinya sebagai sosok yang setia dan konsisten dalam berteater. Ia miris. Baginya, itu adalah pandangan atau sebutan orang. Kang Yoyon sendiri mendefinisikan dirinya dengan sederhana: ”Saya ini kecanduan, kecanduan teater.”

Sudah menjadi semacam legenda urban yang menginspirasi para pemain teater muda di Bandung bagaimana untuk kecanduannya ini, Kang Yoyon sering harus menjual harta pribadinya untuk menutup biaya produksi. Misalnya, tahun 2000, saat ia harus melepas sepeda motor bebek miliknya untuk menutup utang biaya produksi sebesar Rp 10 juta.

Dia merasa, hal tersulit adalah menciptakan kebulatan bersama antartenaga kreatif dalam teater. Proses latihan bukan hal yang sepele. Sementara itu, tak banyak pemain yang mencurahkan sepenuh waktunya untuk teater. Maklum, berteater di Indonesia tidak bisa menjadi mata pencarian utama bagi banyak orang.

”Saya merasakan susahnya mencari pemain yang sempat latihan dan pentas. Selain itu, juga sulitnya untuk mencari sponsor pementasan,” ceritanya.

Perjuangan politik

Yakin pada pemikirannya sendiri menjadi ciri khas Kang Yoyon. Tak heran, pada saat yang menurutnya diperlukan, ia ikut serta dalam perjuangan politik.

”Dulu, waktu masa Orde Baru, tidak banyak orang yang berani. Sekarang, waktu masanya sudah lewat, semua mengaku reformis,” katanya.

Simak catatan perjuangannya. November 1991, Kang Yoyon dipecat sebagai Pemimpin Redaksi Pusat Pemberitaan Radio Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) Jawa Barat. Ia dipecat karena menugaskan reporter untuk meliput demo anti Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB).

Selain menjadi salah seorang yang ikut mendirikan Institut Studi Arus Informasi tahun 1994, Kang Yoyon juga turut turun ke lapangan, mencetak dan mengedarkan majalah Independen, media alternatif di Bandung yang mengungkap tindakan-tindakan Orba yang tidak boleh dimuat di media utama.

Uniknya, aktivitas adik kandung almarhum Yogie S Memet (Gubernur Jawa Barat 1985-1993, Menteri Dalam Negeri 1993-1998) ini tak mengganggu hubungannya dengan sang kakak. Percakapan di meja makan saat Kang Yoyon berkunjung ke rumah kakaknya tidak banyak membahas masalah politik.

”Cuma sekali, dia pernah tanya apa benar saya ikut parpol yang dikenal beraliran sosialis waktu itu. Saya cuma jawab, saya paham 105 persen tentang partai itu,” cerita Yoyon.

Cetusan-cetusannya ini menunjukkan jiwa Kang Yoyon yang mencintai kebebasan. Ia dengan enteng bercerita tentang kisah cintanya yang menurutnya selalu gagal sehingga sampai kini ia tetap membujang.

Menurut Kang Yoyon, ada sisi dalam dirinya yang dia ingin diisi orang lain. ”Saya ingin menikah, tetapi saya yang selalu ditinggal. Ada saja hambatannya, beda agama atau beda-beda lainnya,” ucapnya.

Ia juga membantah kalau dianggap selama ini tak ingin punya rumah. Sejak dulu Kang Yoyon memang selalu indekos. Kini ia menempati rumah Yogie S Memet.

”Saya ingin punya rumah yang rimbun dengan pepohonan, lalu ada selasar untuk berlatih teater. Tapi, karena enggak pernah cukup uangnya, ya saya enggak pernah beli rumah,” kata anak ketujuh dari 12 bersaudara ini.

Memilih kehidupan yang mengikuti hatinya, namun di sisi lain berkonsekuensi pada minimnya materi, tak membuat Kang Yoyon menyesal. Walaupun, pria yang masih menjadi penyiar di Radio Mara Bandung ini mengaku pusing karena harus mengeluarkan uang setiap bulan untuk mengobati sakit jantungnya.

Sampai usianya kini Kang Yoyon, yang belajar teater secara otodidak itu, terus berkiprah di dunia teater. Sepuluh tahun yang lalu, 29 Agustus 1999, ia ikut mendirikan Actors Unlimited, kelompok teater di Bandung. Setelah menjadi ketua umum hingga Desember 2005, ia kini adalah Ketua Dewan Patron Actors Unlimited. Pergulatannya dalam berkarya, termasuk mengulang pola lama untuk pendanaan Actors Unlimited.

”Dananya masih nombok, urunan, dan sumbangan orang,” katanya tentang biaya produksi berteater yang berkisar Rp 20 juta hingga Rp 150 juta.

DATA DIRI

• Nama: Mohamad Sunjaya • Lahir: Cikalong Wetan, Bandung, 28 Agustus 1937 • Pentas teater puluhan kali, di antaranya: - ”Pagi yang Cerah”, Jawa Barat, 1968 dan 1970, 1971, 1998, 2001, 2008 - ”Melalui Secangkir Teh”, TVRI Jakarta, sekitar 1962-1969 - ”Musuh Masyarakat”, Gedung Kesenian Jakarta, 2003

Sumber: Kompas, Sabtu, 29 Agustus 2009

No comments: