-- Edna Caroline Pattisina dan Jean Rizal Layuck
BERAGAM terminologi muncul ketika membicarakan ekonomi wilayah perbatasan, khususnya Miangas dan Marore di Sulawesi Utara. Istilah orang-orang Sapi (Sangihe-Philipina) yang bekerja di kapal-kapal ikan Filipina kerap membuat repot pihak keamanan Indonesia.
Mereka memang warga Indonesia, tetapi berbahasa Tagalog dan Besaya, bahasa yang banyak dipakai warga Mindanao, Filipina. Lebih keren lagi, warga Sapi umumnya mencampuradukkan bahasa mereka dengan bahasa Inggris ala Filipina.
Seorang polisi penyidik di Bitung mengatakan kesulitan memeriksa orang-orang Sapi, karena dari aspek hukum mereka warga negara Indonesia, tetapi tak bisa berbahasa Indonesia, apalagi jika disuruh menyebut Pancasila.
”Mereka dimanfaatkan oleh juragan-juragan kapal Filipina dalam rangka kegiatan penangkapan ikan di laut teritorial,” katanya.
Dulu orang-orang perbatasan juga kerap berkomentar mengenai keragu-raguan atas kehidupan mereka. ”Mereka bilang ’kaki di Indonesia, tetapi perut di Filipina’,” kata Shelley Sondakh, Kepala BIMP EAGA Perwakilan Sulawesi Utara.
Ibarat sebuah rumah, rona kehidupan Miangas dan Marore masih bergerak di dapur, bukan beranda sebagaimana slogan pembangunan wilayah perbatasan. Miangas seperti berada nun jauh di mata.
Menurut Sondakh, setidaknya sekitar 12.000 warga Sangihe dan Talaud tinggal bekerja sebagai buruh kasar di Filipina.
Mereka tidak mendapat persoalan berdomisili di negeri tetangga yang dianggap lebih baik daripada negaranya.
Pemerintah Filipina menganggap warga Sangihe dan Talaud adalah ”saudara”, tetapi dalam kependudukan warga diwajibkan mendaftar untuk mendapatkan dokumen izin tinggal. Ini artinya setiap warga Sangihe harus mengeluarkan uang sekitar Rp 400.000 setiap tahun untuk disetorkan kepada pemerintah setempat.
Pemerintah Indonesia tidak mau repot mengurus warga Sangihe dan Talaud, toh selama ini jarang muncul kasus tenaga kerja seperti dialami pekerja kita di Malaysia. Program repatriasi, pemulangan ke Tanah Air, yang pernah disampaikan beberapa pejabat Departemen Luar Negeri sangat sulit dilakukan.
Hal itu dipengaruhi banyak faktor, terutama ketersediaan lapangan kerja dan lahan ekonomi yang digarap. Lagi pula aspek interaksi di bidang sosial budaya terjadi proses kawin-mawin membuat banyak warga Sangihe enggan kembali ke wilayah leluhurnya.
”Tak apalah hidup di Balut daripada pulang ke Indonesia tetapi kita menganggur,” ujar Victor Delopas, warga Sangihe yang tinggal di Mindanao. Victor sekali-sekali ke Sangihe dan Manado dalam rangka bekerja di kapal ikan Filipina. Menurut Victor, kehidupan mereka di Balut jauh lebih baik jika dibandingkan tinggal di Sangihe karena pendapatannya lebih besar.
”Kami dikontrak setiap enam bulan oleh perusahaan kapal ikan. Keluarga yang kami tinggalkan juga diperhatikan oleh pemilik kapal dengan diberi beras dan bahan pokok untuk dipakai hidup sehari-hari,” katanya.
Disparitas kehidupan antara orang Sangihe dan Talaud di Filipina dan saudaranya yang bermukim di wilayah perbatasan Marore serta Miangas telah memicu gelombang eksodus. Pertumbuhan penduduk di kedua wilayah itu tidak ada, malah setiap tahun banyak yang keluar.
Kepala Kecamatan Miangas Sepni Lantaa mengatakan, setiap tahun sekitar 50-100 warga pergi merantau. Sebagian kaum muda lebih senang merantau ke Filipina daripada ke Manado yang jaraknya 310 mil (209,2 kilometer).
Pembangunan Miangas dan Marore sendiri ditandai pembangunan fisik monumen yang kurang menguntungkan dari warga. Belakangan pemerintah melalui Departemen Pertahanan membangun Monumen Santiago, pahlawan Sangihe yang gigih berjuang melawan Belanda sampai dia dihukum mati. Monumen itu dikabarkan bernilai miliaran rupiah.
”Semua pembangunan baik, tetapi lebih baik jika kami diberi kail untuk hidup,” kata Betoel Dalupa. Kail dimaksud adalah kapal-kapal penampung ikan dan pabrik es untuk menampung ikan-ikan tangkapan nelayan perbatasan.
Dalam konteks perbatasan negara, pemerintah selalu gandrung dengan slogan nasionalisme. Masyarakat pun selalu terguncang dengan isu-isu pencaplokan sumber daya alam dan wilayah yang dilakukan negara tetangga.
Namun, becermin pada masyarakat Pulau Miangas yang masyarakatnya bertahan hidup di tengah bahan bakar minyak yang nyaris tak ada, air bersih susah, listrik hanya enam jam sehari, serta sinyal dari operator seluler yang terbatas untuk tujuh pengguna pada area tertentu, muncul sebuah pertanyaan: siapa yang peduli pada nasionalisme?
Kenyataannya, perhitungan ekonomis pragmatis yang selalu menjadi jenderal di atas segalanya, termasuk nasionalisme. Masalahnya, kebijakan ekonomi yang pragmatis itu pun sering tidak cocok seperti berlakunya pola pikir kontinental untuk negara kepulauan ini. Belum lagi masalah yang timbul di lapangan, termasuk penyelewengan dan upaya mengejar proyek semata.
Bagi Kabupaten Talaud, Miangas seperti beban yang tak tertangani. Dengan sumber daya minim, dia diminta mengatasi masalah Miangas yang secara alam terisolasi, tetapi secara politis sangat strategis.
Frans Udang, Sekretaris Daerah Kabupaten Talaud, bercerita, dana alokasi umum (DAU) yang berasal dari pusat, misalnya, hanya memperhitungkan luas daratan. Hal ini tentunya merugikan Kabupaten Talaud yang 80 persen wilayahnya laut. ”DAU hanya Rp 250 miliar, setengahnya saja sudah habis buat gaji pegawai,” tukasnya.
Menurut Frans, pendapatan per kapita masyarakat Miangas kira-kira Rp 2,5 juta per tahun, atau setengah dari pendapatan rata-rata per kapita di Kabupaten Talaud. Selama ini, dengan kehadiran pos-pos TNI dan Polri, kondisi keamanan telah cukup baik.
Masalahnya memang pada ekonomi. Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Talaud di antaranya telah menyuplai beras untuk warga miskin 10 kilogram per bulan untuk setiap keluarga. ”Tapi masalahnya bukan cuma beras, listrik, sekolah, air, sampai insentif guru dan medis yang tidak ada,” katanya.
Menurut Frans, dibutuhkan pendekatan khusus, bukan pendekatan dengan perhitungan ekonomi belaka, dari pemerintah pusat. Misalnya, kalau Pelni memang tidak bersedia mengangkut BBM dengan alasan keamanan, diadakan kapal khusus yang mengangkut BBM dan bahan-bahan pokok. Pengadaan listrik juga perlu ditingkatkan demi industri perikanan yang tangguh. ”Kalau uang dari kabupaten, ya enggak akan pernah bisa cukup,” katanya.
Ketersediaan bahan bakar minyak yang merupakan bahan dasar dari industri masyarakat modern menjadi kendala utama. Namun, kepentingan untuk hidup sehari-hari, berseberangan dengan kepentingan ekonomi Pertamina.
Basuki Trikora, Vice President Komunikasi Pertamina, mengatakan, Pertamina memang hanya memiliki depot di Tahuna, ibu kota Kabupaten Sangihe, tetangga Kabupaten Talaud yang memang hasil pemekaran.
Menurut dia, harga bensin hingga Rp 15.000/liter di Miangas merupakan konsekuensi dari mekanisme pasar yang terkait kebijakan kabupaten masing-masing.
Apatis
Masyarakat Miangas yang sibuk bergulat untuk bertahan hidup tidak pusing dengan nasionalisme. Bagi mereka, Miangas adalah lahan penghasil kopra, ikan.
Gerson Marinus (65), nelayan, pendatang dari Tahuna yang sudah 20 tahun tinggal di Miangas bercerita, dengan modal perahu motor 5,5 PK, kalau laut sedang teduh, ia bisa menjual ikan seharga Rp 150.000-Rp 200.000 sehari. Kini, ia telah memiliki kebun kelapa di Miangas seluas 1,5 hektar. Padahal, waktu pertama kali datang, ia nyaris hanya bermodal dengkul. ”Saya kerja apa saja, sampai buruh bangunan. Orang-orang di sini malas-malas,” katanya.
Perlahan tapi pasti, masyarakat Miangas seakan menjadi apatis. Mereka sadar, Pemerintah RI tidak jarang sekadar menyorongkan janji-janji surga demi kepentingan politik sesaat. Sebaliknya, masyarakat menyambut baik ”bantuan pura-pura” ini sekenanya.
Isu yang berkembang belakangan ini, misalnya, tentang pembangunan lapangan terbang seluas 20 hektar di lahan kelapa produktif.
Warga membuka harga Rp 350.000 per meter persegi, dan pemerintah menawar Rp 100.000. Tawar-menawar dalam beberapa tahun terakhir telah membuat warga tak menanam kelapa di areal tersebut.
Menurut Agus Tege, Kepala Sekolah SDN Miangas, keberadaan bandara tetap karena kepentingan pemerintah pusat. Warga setempat mana mampu membayar tiket pesawat ratusan ribu sampai jutaan rupiah. ”Siapa yang tidak nasionalis kalau kayak begitu,” tandasnya.
Di tengah kondisi seperti itu, Lautan Pasifik yang mengelilingi Miangas bebas dieksploitasi kapal-kapal asal Filipina dengan pukat dan mesin kapal bertenaga serta awak bersenjata api.
Hani Palense (30) yang baru tahun lalu bekerja sebagai nelayan di kapal Filipina bercerita bagaimana menggiurkannya harga ikan di pelelangan Filipina. Ikan kakap merah ukuran 20 kilogram pada musim baik laku dijual Rp 60.000 di Miangas, sedangkan di Filipina harganya bisa hingga Rp 500.000.
Nasionalisme akan jadi jargon usang saat dibenturkan dengan perhitungan ekonomis. Namun, penanganan yang cerdas dan berkesinambungan membuat dua kepentingan ini bahu-membahu untuk kepentingan masyarakat Miangas.
Sumber: Kompas, Jumat, 21 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment