-- Ilham Khoiri
”ENAM boelan kita telah merdeka. Sesoedah enam abad,--masih merdeka! Sekali merdeka, tetap merdeka!”
Panglima Besar Jenderal Sudirman dan Kasum Jenderal Oerip Soemohardjo pada satu kesempatan bersama, Januari 1946. Foto ini dipamerkan dalam Merdeka- Merdeka di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jakarta, 14 Agustus-14 September 2009. (ANTARA-HIPPHOS)
Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia, menuliskan kata-kata itu dengan penuh gelora. Di baliknya tertera potret dirinya berdiri gagah dalam balutan jas-dasi yang rapi. Optimisme bagi negeri yang baru saja merdeka itu meluap.
Di halaman berikutnya terpampang potret Wakil Presiden Moh Hatta, dengan jas putih dan kacamata bulat. Dia menegaskan seruan serupa. ”Tanah tumpah darah kita Indonesia kitalah jang poenya, dan akan kita miliki sampai akhir zaman sebagai tanah poesaka!”
Pada bagian tengah, ada laporan seputar upacara proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta, 17 Agustus 1945. Selain berisi gambaran pandangan mata oleh wartawan D Bassah, halaman itu dipenuhi sejumlah foto. Salah satunya, foto Soekarno tengah membacakan teks proklamasi didampingi Moh Hatta.
Catatan Soekarno, Hatta, dan laporan proklamasi itu adalah bagian dari ”Nomor Peringatan 6 Boelan Repoeblik Indonesia” terbitan Surat Kabar Merdeka, 17 Februari 1946. Bisa dibilang, inilah penerbitan pertama yang secara lengkap dan terbuka mengabarkan proklamasi RI. Soalnya, saat proklamasi, Pemerintah Jepang melarang keras pemberitaan kemerdekaan itu, termasuk di Harian Asia Raya—surat kabar besar di Jakarta kala itu.
Kini, nomor penerbitan setebal 124 halaman tersebut dipamerkan dengan tajuk ”Merdeka Merdeka” di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jakarta, 14 Agustus-14 September. Nomor itu berisi laporan enam bulan setelah proklamasi yang dilengkapi dengan foto-foto, komentar para pemimpin RI, tokoh masyarakat, dan catatan wartawan.
Pameran dilengkapi foto-foto seputar kemerdekaan, hasil jepretan Frans Mendur dan Alex Mendur yang bekerja untuk Indonesia Press Photo Service (IPPHOS). Sebelumnya, kedua fotografer ini juga bekerja untuk nomor peringatan tadi. Ada juga beberapa lembar contoh penerbitan koran atau majalah sebelum proklamasi yang menyuarakan kemerdekaan, seperti Hoakiau (1925), Soeloeh Ra’jat (1929), Fikiran Rakyat (1933), dan Djawa Baroe (1944-1945).
Semua arsip itu adalah koleksi Monumen Pers Nasional di Solo, yang kemudian ditampilkan kembali sesuai aslinya. Teks dan foto tadi direproduksi ulang. ”Ini adalah dokumen penting dan otentik dari sisi foto maupun laporan jurnalistik,” kata kurator pameran, Oscar Motuloh.
Otentik
Bagaimana kekuatan jurnalistik dan foto dari nomor peringatan enam bulan proklamasi itu?
Dari sisi jurnalistik, laporan itu tidak seheboh laporan jurnalistik zaman sekarang yang bisa menyajikan berita secara lebih lengkap, lebih aktual, bahkan bisa seketika lewat siaran langsung layar televisi. Namun, di tengah situasi politik pascaproklamasi yang genting dan keterbatasan media cetak, nomor tersebut memberi efek besar bagi perjuangan kemerdekaan bangsa ini.
Menurut Rosihan Anwar, redaktur pelaksana Harian Merdeka kala itu, nomor tersebut terbit karena kebutuhan. ”Selain memberi gambaran situasi enam bulan pascaproklamasi, nomor itu menghidupkan kembali semangat untuk mempertahankan kemerdekaan, memperkuat perjuangan, sekaligus memberi harapan pada masa depan Indonesia,” katanya saat ditemui di rumahnya di Jakarta, Kamis (20/8).
Adapun foto-foto karya Frans Mendur dan Alex Mendur, baik dalam nomor peringatan atau dari IPPHOS, lebih jelas menangkap momen-momen bersejarah yang sangat penting itu. Sebagian foto itu menjadi ikon kemerdekaan RI. Sebut saja, antara lain, foto Soekarno membaca teks proklamasi, pengibaran Merah-Putih, para wartawan asing berbincang dengan Soekarno-Hatta, atau Presiden disambut ribuan masyarakat di Jakarta sepulang dari Yogyakarta.
Di luar itu, ada juga beberapa foto yang lebih menyuguhkan sisi kemanusiaan. Salah satunya, foto seorang warga Desa Sumadeng memeluk erat kaki Soekarno. Sang proklamator mengenakan setelan jas putih, sedangkan warga itu berpakaian lusuh. Di sampingya, ada labu besar, ubi, dan topi petani—mungkin milik warga itu.
Dari teks dan foto-foto itu, kita bisa belajar banyak hal.
Sumber: Kompas, Minggu, 23 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment