Monday, August 17, 2009

[Buku] Suryatati Tak Sekadar Berpuisi

Judul: Surat untuk Suami
Penulis: Suryatati
Penerbit: Yayasan Panggung Melayu
Tahun: Maret 2009
Tebal: 76 halaman

TAK semua orang suka baca puisi, kendati rangkaian kata-katanya bernilai sastra dan tersusun indah bak untaian mutiara. Malah biasanya, semakin bersastra, makin tak mengerti orang akan maknanya. Entah mengapa, membaca buku kumpulan puisi karya Suryatati ini, pikiran jadi terinspirasi dan emosi jadi bercampur baur, rasanya bukan sekadar membaca pantun sastra, puisi yang ini sangat berbeda. Seperti membaca prosa, mudah dicerna, walau sarat dengan makna, dirangkai dengan irama pantun dan seloka.

Suryatati dengan cara "enak", terbuka, jujur, dan berterus terang mengungkapkan tentang perasaan, pikiran, dan pengalamannya sebagai seorang perempuan (isteri) setelah ditinggal pergi untuk selama-lamanya oleh suami yang selama ini selalu bersamanya dalam susah dan senang.

Surat untuk Suami merupakan judul buku ketiga kumpulan puisinya yang bisa dibilang sebagai kumpulan puisi keluarga. Sebelumnya, dia telah meluncurkan Melayukah Aku?, dan Perempuan dalam Makna yang ditulis bersama Martha Sinaga.

Suryatati yang juga Wali Kota Tanjung Pinang itu, menggambarkan rasa empati seorang ibu terhadap situasi/kondisi yang dialami anak-anaknya, bertutur tentang kenangannya sebagai anak terhadap orangtua yang sangat disayanginya, menggores kasih akan kakak semata wayangnya, serta melukiskan rasa senang dan sedih dari dua orang cucunya ketika salah satunya mendapat sepeda.

Peluncuran buku ini berlangsung di Sebauk, Tanjung Pinang, baru-baru ini, dan mendapat perhatian luar biasa dari jajaran pejabat dan rakyat Tanjung Pinang. Pada acara itu, Suryatati selain memberi sambutan, juga membacakan puisi Surat untuk Suami. Sebelumnya, beberapa puisi yang ditulisnya diulas dan dibacakan oleh para wartawan dan sastrawan/sastrawati. Melihat perhatian dan dedikasinya terhadap sastra dan perkembangan kota kelahirannya itu, tak heran, bila daerah yang dipimpinnya dikenal dengan jargon "kota gurindam negeri pantun". [R-8]

Sumber: Suara Pembaruan, Minggu, 16 Agustus 2009

No comments: