-- Tarman Effendi Tarsyad
ARSYAD Indradi lahir di Barabai, 31 Desember 1949. Arsyad Indradi termasuk penyair generasi 1970-an. Menulis puisi baik dlam bahasa Indonesia maupun bahasa Banjar. Kumpulan puisi tunggalnya dalam bahasa Indonesia yang sudah terbit, antara lain, Nyanyian Seribu Burung ( 2006a ), Romansa Setangkai Bunga ( 2006b ), Narasi Musafir Gila ( 2006c ), Anggur Duka (2009). Kumpulan puisi tunggalnya dalam bahasa Banjar dan terjemahan dalam bahasa Indonesia yang sudah terbit, antara lain Kalalatu ( 2006 ) dan Burinik (2009).
Puisi Arsyad Indradi juga dimuat dalam beberapa antologi bersama, antara lain, Jejak Berlari (1970 ), Panorana (1972), Tamu Malam (1992), Jendela Tanah Air (1995), Rumah Hutan Pinus (1996), Gerbang Pemukiman (1997 ), Bentang Bianglala (1998), Cakrawala (2000 ), Bahana (2001 ), Tiga Kutub Senja (2001 ), Bulan Ditelan Kutu (2004 ), Bumi Menggerutu (2004 ), Baturai Sanja (2004 ), Anak Jaman (2004 ), Dimensi (2005), Puisi Penyair Nusantara : 142 Penyair Menuju Bulan (2006), Seribu Sungai Paris Barantai (2006),Penyair Kontemporer Indonesia dalam Bhs China (2007),Kenduri Puisi Buah Hati Untuk Diah Hadaning (2008),Tarian Cahaya Di Bumi Sanggam (2008),Bertahan Di Bukit Akhir (2008),Pedas Lada Pasir Kuarsa (2009),Konser Kecemasan (2010), Akulah Musi (2011), Doa Pelangi di Tahun Emas (2010), Kambang Rampai Puisi Anak Banua (2010), Kalimantan dalam Puisi Indonesia (2011), dan Seloka Bisu Batu Benawa (2011).
Dari empat kumpulan puisi Arsyad Indradi yang ditulisnya dalam bahasa Indonesia sejak 1970 hingga 2010 Nyanyian Seribu Burung ( 2006a ), Romansa Setangkai Bunga (2006b), Narasi Musafir Gila (2006c ),Anggur Duka (2009), suatu hal menarik, melalui puisinya dapat diketahui rangkaian kehidupan yang barangkali memang dekat dengan kehidupan penyair,. Pertama, melalui puisinya dapat diketahui mengenai kota yang dipilih penyair sebagai tempat tinggalnya. Melalui puisi “Aku Suka Kota Ini (2006a:61) penyair mengatakan bahwa kota yang dipilihnya sebagai tempat tinggal yaitu kota Banjarbaru. Mengapa penyair memilih Banjarbaru sebagai tempat tinggal ? Menurut penyair “ tidak seperti kota lain/kota ini mungil/hutan karamunting di sanasini/waktu pagi aku berada di surga burungburung/kala malam sejuta kunangkunang bertebaran/banjarbaru sebuah kota lahir dari rahim gunung apam/di ranahnya kutanam bungbunga cinta”.
AKU SUKA KOTA INI
tidak seperti kota lain
kota ini mungil
hutan karamunting di sanasini
tak ada untung rugi
kubangun rumah di sini
dengan keringat sendiri
waktu pagi aku berada di surga burungburung
kala malam sejuta kunangkunang bertebaran
di wajahmu mengantarkan s’luruh mimpimimpiku
kusenandungkan lagulagu rindu buat sang kekasih
lewat derai dedaunan pinus
banjarbaru sebuah kota lahir dari rahim gunung apam
di ranahnya kutanam bungabunga cinta
banjarbaru, 1978
Melalui puisi “Banjarbaru Kotaku Sayang” (2006a.62) penyair juga mengemukakan beberapa pernyataan mengapa ia memilih Banjarbaru sebagai kota tempat tinggalnya. Penyair mengatakan “jika kau beri aku seribu kota”,katanya “kupilih banjarbaru”. Bahkan penyair mengatakan “jika kau beri aku surga”,katanya “kupilih banjarbaru”. Kemudian penyair mengemukakan alasannya mengapa ia memilih Banjarbaru sebagai kota tempat tinggalnya. Menurut penyair “banjarbaru kota idaman” dan penyair mengatakan “kupersembahkan bungabunga cinta/buat kotaku sayang”.
BANJARBARU KOTAKU SAYANG
jika kau beri aku seribu kota
kupilih banjarbaru
jika kau beri aku surga
kupilih banjarbaru
banjarbaru kota idaman
kupersembahkan bungabunga cinta
buat kotaku sayang
banjarbaru,1978
Khusus mengenai pernyataan seorang penyair mengenai sebuah kota, jauh sebelum puisi di atas ditulis. sebenarnya pernah juga dikemukakan oleh penyair Kalimantan Selatan lainnya. Misalnya D.Zauhidhi melalui puisi “ Kandangan Kotaku Manis” (2004:i).
KANDANGAN KOTAKU MANIS
Roma atau Paris
Indah Kandangan kotaku manis
Di Kandangan aku dilahirkan
Dibelai timang sang matahari
Dipeluk cium sang rembulan
Di Kandangan aku kenal diri dan cinta
Susah senang seluruh duka
Roma atau Paris
Indah Kandangan kotaku manis
1960
Kembali kepada puisi Arsyad Indradi, sehubungan dengan kota yang dipilihnya sebagai tempat tingggalnya, pada puisi “Taman di Tengah Kota” (2006a:112) penyair menghendaki bahwa pada kota tempat tinggalnya tersebut (Banjarbaru) ada sebuah taman. Melalui taman tersebut, antara lain anak-anak dapat bermain dan bersuka ria. Taman tersebut juga diharapkan sebagai tempat bagi anak-anak untuk mengasah kreativitasnya dan mengembangkan bakat serta minatnya, misalnya melalui melukis.
TAMAN DI TENGAH KOTA
Ada taman di tengah kota
Sejuta impian siapa
Yang tumbuh di sana
Kota tak pernah diam
Dari pesona
Kota melahirkan
Bocahbocahnya dahaga
Taman adalah ranah
Sejuta bunga
Pesta hari anak se dunia
Bocahbocah melukis
Kota idamannya
Di dinding menara
Ada bocah melukis menara
Yang kehilangan madu lebah
Dari bungabunga
Yang susahpayah ditanamnya
Ada taman di tengah kota
Ada sejumlah impian
Yang tumbuh di sana
Banjarbaru,1997
Selain mengemukakan mengenai kota tempat tinggalnya, melalui puisinya Arsyad Indradi juga mengemukakan mengenai rumah yang dihuninya. Hal tersebut dapat dibaca melalui puisi “Rumah Kecilku” (2006a:17) berikut :
RUMAH KECILKU
rumah kecil pohon bergoyang berlagu duka
pintu dan jendela menghadap matahari terbit
lampu berkedip pada dunia berpaut sempit
bulan kecil tiga beranak di dalamnya
angin menyerahkan diri di gorden jendela
segala berderak bila dibuka
bapa terkapar di kaki malambuta
peluh mengucur sepanjang senyum kota
rumah kecil, rumah kecilku
bila kita cerita tentang esok pagi
betapa kejangnya urat nadi
serta kecilnya langit biru di lorong buntu
segala melaju, segala berlagu
pelabuhan siul pelaut
bapa, ibu kita berpacu
biar kita dirajuk mimpi enggan berpaut
banjarmasin, 1970
Membaca puisi di atas, mengenai rumah kecil yang dihuni oleh beberapa jiwa, barangkali mengingatkan pembaca pada puisi Chairil Anwar (1996:50). Meskipun melalui puisinya tersebut Chairil Anwar mengemukakan mengenai sebuah kamar yang sempit yang dihuni oleh beberapa jiwa.
SEBUAH KAMAR
Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
mau lebih banyak tahu
“Sudah lima anak bernyawa di sini,
Aku salah satu!”
Ibuku tertidur dalam tersedu
Keramaian penjara sepi selalu
Bapakku sendiri terbaring jemu
Matanya menatap orang tersalib di batu!
Sekeliling dunia bunuh diri!
Aku minta adik lagi pada
Ibu dan Bapakku, karena mereka berada
di luar hitungan :Kamar begini
3 x 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa!
1946
Terlepas dari “Rumah Kecil”. di kota idamannya dan di rumah yang dihuninya, selain melalukan aktivitas, Arsyad Indradi juga melaksanakan ibadah sekaligus mendekatkan kepada Tuhan terutama pada malam hari. Salah satu puisinya yang mengemukakan mengenai pendekatan dirinya kepada Tuhan, dapat diketahui melalui puisi “Malam Hening” (2006a:71). Bahkan melalui puisi tersebut, dalam beribadah sekaligus mendekatkan diri kepada Tuhan, penyair mengatakan “setiap untai zikir/sukma sejatiku/tak letih menunggu-Mu”.
MALAM HENING
lilin merah berkalikali dipadamkan angin
entah apa setiap kunyalakan
aku ingin dekat denganMu
dedaunan pinus berdesir
kusembunyikan degup jantungku
dalam hamparan sajadahMu
setiap untai zikir
sukma sejatiku
tak letih menungguMu
banjarbaru,1979
Melalui puisi di atas dapat diketahui bahwa waktu yang dipilih penyair dalam beribadat sekaligus mendekatkan diri. Mengapa penyair memilih waktu malam hari ?
Melalui puisi “Pintu Doa” (2009:35) penyair memberikan alasannya. Kata penyair”Mengapa aku memilih malam menemuimu/Agar aku leluasa mencurahkan isihatiku”. Penyair juga mengatakan “ Di tengah malam yang sunyi yang maha gulita/ Tapi maha bercahya di mataku/ Kurebahkan rinduku di pangkuanmu/ menumpahkan airmataduka/Yang terperangkap dalam dusta dunia”.
PINTU DOA
Mengapa aku memilih malam menemuimu
Agar aku leluasa mencurahkan isihatiku
Begitu ramah membuka pintu setiap aku mengetuk
Di tengah malam yang sunyi yang maha gulita
Tapi maha bercahya di mataku
Kurebahkan rinduku di pangkuanmu
Menumpahkan airmataduka
Yang terperangkap dalam dustadunia
Berkalikali aku datang padamu
Agar aku kaulahirkan kembali
Merindukan tangisan bayi
Yang tak pernah dusta menyerumu
Bbaru, 2008
Melalui puisi di atas, Arsyad Indradi juga mengemukakan mengenai harapannya kepada Tuhan. Sebagaimana ditulisnya pada bait terakhir, ”Berkalikali aku datang padamu/ Agar aku kaulahirkan kembali/ Merindukan tangisan bayi/ Yang tak pernah dusta menyerumu”. Secara tersirat penyair berharap agar ia kembali suci seperti ”bayi yang baru dilahirkan”. Sementara melalui puisi ”
AKU LARON YANG MENCARIMU
DALAM CAHAYA ITU
JANGAN KAU PADAMKAN LAMPU
gerimis semakin menebarkan sepi
semakin jauh ke perut bumi dan
impian yang digantungkan pada diri
bergetar dalam lindap bayangbayang
di sudutsudut ruang yang gelisah
dan memaya ujudnya tapi terasa
menyentaknyentak tak henti
membiarkan rinduku menggelepar
pada sayapsayap luka dalam perjalanan
yang teramat panjang dan betapa letih
dan beribu bisik yang teramat asing
lalu seketika terbaring dengan
kerongkongan kering
dan sampaikah menggapai kendi itu :
aku laron yang mencariMu
dalam cahaya itu
jangan Kau padamkan lampu
banjarbaru, 1999
Mengenai harapan penyair melalui doanya kepada Tuhan, juga dikemukakan penyair melalui puisi “Tuhan Jangan Kau Sembunyikan Doaku” (2009:8). Lewat puisi tersebut penyair mengatakan “Duhai jagat, aku tak pernah mau terajal sedikitpun/Pada sekalian dusta semesta/ Sebab aku pada diri sendiri/ Selamat tinggal pada Fatamorgana”. Kemudian, puisi tersebut ditutup penyair dengan suatu harapan, sebagaimana judul puisi tersebut, “Tuhan jangan kau sembunyikan doaku”.
TUHAN JANGAN KAU SEMBUNYIKAN DOAKU
Darahku seperti alapalap bersayapangin
Begitu isak kecil membuka pintu yang lama terkunci
Jemputlah anganmu yang terbengkalai
Aku tumpah dari perjalananmu yang panjang
Tumpah dari lukalukarindumu
Setiap jalan bersimpang kau bergumul dengan bimbang
Di batubatu kehidupan kau tulis riwayat impian
Sebelum matahari keburu terbenam
Duhai jagat,aku tak pernah mau terajal sedikitpun
Pada sekalian dusta semesta
Sebab aku lahir pada diriku sendiri
Selamat tinggal pada fatamorgana
Kubaca isak dis’luruh tapaktapakkakiku
Dan tak letihletih menulis aksaranamamu
Tuhan jangan kau sembunyikan doaku
Serpong - Tangerang, 2007
Pada puisi di atas, penyair mengatakan “Selamat tinggal pada fatamorgana”. Membaca larik tersebut, timbul pertanyaan mengapa penyair menyatakan demikian ? Secara harfiah fatamorgana berarti “(1) gejala optis yang tampak pada permukaan yang panas, yang kelihatan seperti genangan air. (2) hal yang bersifat khayal dan tidak mungkin dicapai”. (KBBI 1990:240). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fatamorgana yang dimaksud pada puisi Arsyad Indradi berarti hanya suatu impian yang lebih bersifat negatif. Oleh karena itu bagi penyair perlu ditinggalkan. Hal itu juga dikemukakan penyair pada puisi “Jauhkan Fatamorgana di Mataku” (2009:13). Melalui puisi tersebut penyair mengatakan “Mengapa aku selalu berpaling darI tatapan/ Karena aku tak ingin lagi terperangkap”. n
Sumber: Media Kalimantan, Sabtu, 25 Agustus 2012
No comments:
Post a Comment