-- Yudi Latif
BULAN puasa hadir menandai retakan imaji sejarah bangsa. Dalam tradisi Islam, ibadah puasa adalah tanda kemenangan; diwajibkan setelah pertempuran Badar, saat pasukan kecil dengan komitmen kebenaran dan keadilan bisa mengalahkan pasukan besar dengan jiwa penindasan dan keangkuhan. Puasa sebagai tanda kemenangan juga mewarnai sejarah bangsa.
Kemerdekaan Republik Indonesia sebagai tanda kemenangan atas penjajahan diproklamasikan pada bulan puasa. Waktunya dipilih secara saksama oleh Bung Karno pada tanggal 17 Agustus (1945), bertepatan dengan 17 Ramadhan yang dipercaya oleh umat Islam sebagai hari keramat, awal turunnya Al Quran sebagai Al-Furqon (pembeda antara kebenaran dan kebatilan).
Berbeda dengan imaji puasa pada awal kemerdekaan, bulan puasa tahun ini membiaskan imaji keterpurukan. Tradisi perolehan medali emas di olimpiade berhenti. Kegagalan ini lebih tercoreng oleh memudarnya nilai sportivitas. Lembaga penegak hukum justru sarang pelanggar hukum; institusi kepolisian yang mestinya memuliakan imperatif hukum (right) justru mengedepankan logika kekuatan (might)—ngotot menangani sendiri kasus korupsi yang menimpa institusinya. Keterpurukan bangsa ini nyaris sempurna bahkan Al Quran sebagai Al-Furqon dijatuhkan nilai kesuciannya oleh tangan-tangan kebatilan korupsi yang tak lagi mengenal batas.
Setelah 14 tahun reformasi, politik menjadi berisik sebagai ”komedi omong” di sepanjang perubahan prosedural dalam skala masif. Sebegitu jauh, belum ada tanda bahwa pelbagai perubahan itu kian mendekatkan bangsa ke jalur kemenangan. Berbagai perubahan yang terjadi tidak membawa transformasi dalam watak kekuasaan. Watak penyelenggara negara tetap bersifat narsistik; lebih melayani kepentingan sendiri dan kelompoknya ketimbang kepentingan bangsa secara keseluruhan.
Faktor pemimpin memang selalu memainkan peran penting dalam transformasi watak kekuasaan. Pada masa krisis, pemimpin harus bisa mengatasi kelemahan institusional lewat kekuatan personal. Pemimpin harus menyadari pentingnya merawat harapan dan optimisme, dengan mengobarkan tekad, kehendak, dan tindakan bersama, melalui keteladanan yang memberikan inspirasi kepada rakyatnya untuk meraih kemuliaan hidup lewat kesediaan bergotong royong merealisasikan kebajikan bersama.
Yang diperlukan memang pemimpin kuat yang berani mengambil keputusan sulit. Namun, tidaklah berarti kita harus memalingkan imaji kita kembali kepada pemimpin yang kekuatannya bersifat represif. Yang diperlukan adalah pemimpin transformatif yang mengandalkan kekuatannya pada keteguhan menjalankan hukum dan etika kekuasaan.
Gerak lurus keteguhan kepemimpinan dalam mengemban nomokrasi (rule of law) tidak hanya bergantung pada kudanya, tetapi juga kekuatan pelananya. Rekayasa pelana institusional harus dirancang ketat untuk memastikan agar kuda bisa bergerak terus di jalan yang benar. Prinsip-prinsip pemilu yang murah, perekrutan kepemimpinan yang lebih menekankan daya otoritatif ketimbang daya beli, penyelenggaraan pemerintahan yang melayani publik secara transparan dan akuntabel harus diinkorporasikan ke dalam desain institusi politik.
Dalam buku Why Nations Fail (2012), Daron Acemoglu dan James A Robinson menunjukkan bukti-bukti yang meyakinkan betapa pentingnya rancangan institusi politik dalam membentuk perekonomian, perilaku kolektif (budaya) dan watak kekuasaan yang pada gilirannya menentukan keberhasilan dan kegagalan suatu bangsa.
Namun, betapapun kuatnya pelana kendali yang kita siapkan, tidak ada jaminan pemimpin dapat mengemban tugasnya secara benar. Banyak di antara krisis dan kesulitan yang kita hadapi menyembunyikan krisis spiritual yang dalam.
Agama yang seharusnya membantu manusia untuk menyuburkan rasa kesucian, kasih sayang dan perawatan (khalifah) justru sering kali memantulkan rasa keputusasaan dan kekerasan zaman dalam bentuk terorisme, permusuhan, dan intoleransi.
Untuk itu, selain menyiapkan pelana yang kuat, kita memerlukan transformasi spiritual yang mengarahkan warga bangsa pada kehidupan etis penuh welas asih. Dalam proses transformasi ini, seperti ditekankan oleh Karen Amstrong dalam The Great Transformation (2006), persoalan agama bukan soal apa yang kita percaya, melainkan apa yang kita perbuat.
Untuk itu, agama tidak perlu meninggalkan kepercayaan dan ritualnya, tetapi perlu lebih menekankan pentingnya komitmen etis dengan menempatkan moralitas pada jantung kehidupan spiritualitas. Satu-satunya cara meraih kasih ”Yang di Langit” adalah dengan mengasihi ”apa-apa yang ada di bumi”.
Kuasa dan agama harus ditransformasikan dari alat perampasan dan kekerasan menjadi wahana belajar melayani dan mengasihi. Ali bin Abi Thalib mengatakan, ”Rakyat tidaklah akan menjadi baik kecuali penguasanya juga baik. Pun penguasa tidak akan baik kecuali dengan kelurusan rakyat. Maka, jika rakyat menunaikan kepada penguasa haknya dan penguasa menunaikan kepada rakyat hak mereka, akan kuatlah kebenaran di antara mereka dan berdiri tegak prinsip-prinsip agama dan rambu-rambu keadilan.”
Yudi Latif, Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
Sumber: Kompas, Selasa, 7 Agustus 2012
BULAN puasa hadir menandai retakan imaji sejarah bangsa. Dalam tradisi Islam, ibadah puasa adalah tanda kemenangan; diwajibkan setelah pertempuran Badar, saat pasukan kecil dengan komitmen kebenaran dan keadilan bisa mengalahkan pasukan besar dengan jiwa penindasan dan keangkuhan. Puasa sebagai tanda kemenangan juga mewarnai sejarah bangsa.
Kemerdekaan Republik Indonesia sebagai tanda kemenangan atas penjajahan diproklamasikan pada bulan puasa. Waktunya dipilih secara saksama oleh Bung Karno pada tanggal 17 Agustus (1945), bertepatan dengan 17 Ramadhan yang dipercaya oleh umat Islam sebagai hari keramat, awal turunnya Al Quran sebagai Al-Furqon (pembeda antara kebenaran dan kebatilan).
Berbeda dengan imaji puasa pada awal kemerdekaan, bulan puasa tahun ini membiaskan imaji keterpurukan. Tradisi perolehan medali emas di olimpiade berhenti. Kegagalan ini lebih tercoreng oleh memudarnya nilai sportivitas. Lembaga penegak hukum justru sarang pelanggar hukum; institusi kepolisian yang mestinya memuliakan imperatif hukum (right) justru mengedepankan logika kekuatan (might)—ngotot menangani sendiri kasus korupsi yang menimpa institusinya. Keterpurukan bangsa ini nyaris sempurna bahkan Al Quran sebagai Al-Furqon dijatuhkan nilai kesuciannya oleh tangan-tangan kebatilan korupsi yang tak lagi mengenal batas.
Setelah 14 tahun reformasi, politik menjadi berisik sebagai ”komedi omong” di sepanjang perubahan prosedural dalam skala masif. Sebegitu jauh, belum ada tanda bahwa pelbagai perubahan itu kian mendekatkan bangsa ke jalur kemenangan. Berbagai perubahan yang terjadi tidak membawa transformasi dalam watak kekuasaan. Watak penyelenggara negara tetap bersifat narsistik; lebih melayani kepentingan sendiri dan kelompoknya ketimbang kepentingan bangsa secara keseluruhan.
Faktor pemimpin memang selalu memainkan peran penting dalam transformasi watak kekuasaan. Pada masa krisis, pemimpin harus bisa mengatasi kelemahan institusional lewat kekuatan personal. Pemimpin harus menyadari pentingnya merawat harapan dan optimisme, dengan mengobarkan tekad, kehendak, dan tindakan bersama, melalui keteladanan yang memberikan inspirasi kepada rakyatnya untuk meraih kemuliaan hidup lewat kesediaan bergotong royong merealisasikan kebajikan bersama.
Yang diperlukan memang pemimpin kuat yang berani mengambil keputusan sulit. Namun, tidaklah berarti kita harus memalingkan imaji kita kembali kepada pemimpin yang kekuatannya bersifat represif. Yang diperlukan adalah pemimpin transformatif yang mengandalkan kekuatannya pada keteguhan menjalankan hukum dan etika kekuasaan.
Gerak lurus keteguhan kepemimpinan dalam mengemban nomokrasi (rule of law) tidak hanya bergantung pada kudanya, tetapi juga kekuatan pelananya. Rekayasa pelana institusional harus dirancang ketat untuk memastikan agar kuda bisa bergerak terus di jalan yang benar. Prinsip-prinsip pemilu yang murah, perekrutan kepemimpinan yang lebih menekankan daya otoritatif ketimbang daya beli, penyelenggaraan pemerintahan yang melayani publik secara transparan dan akuntabel harus diinkorporasikan ke dalam desain institusi politik.
Dalam buku Why Nations Fail (2012), Daron Acemoglu dan James A Robinson menunjukkan bukti-bukti yang meyakinkan betapa pentingnya rancangan institusi politik dalam membentuk perekonomian, perilaku kolektif (budaya) dan watak kekuasaan yang pada gilirannya menentukan keberhasilan dan kegagalan suatu bangsa.
Namun, betapapun kuatnya pelana kendali yang kita siapkan, tidak ada jaminan pemimpin dapat mengemban tugasnya secara benar. Banyak di antara krisis dan kesulitan yang kita hadapi menyembunyikan krisis spiritual yang dalam.
Agama yang seharusnya membantu manusia untuk menyuburkan rasa kesucian, kasih sayang dan perawatan (khalifah) justru sering kali memantulkan rasa keputusasaan dan kekerasan zaman dalam bentuk terorisme, permusuhan, dan intoleransi.
Untuk itu, selain menyiapkan pelana yang kuat, kita memerlukan transformasi spiritual yang mengarahkan warga bangsa pada kehidupan etis penuh welas asih. Dalam proses transformasi ini, seperti ditekankan oleh Karen Amstrong dalam The Great Transformation (2006), persoalan agama bukan soal apa yang kita percaya, melainkan apa yang kita perbuat.
Untuk itu, agama tidak perlu meninggalkan kepercayaan dan ritualnya, tetapi perlu lebih menekankan pentingnya komitmen etis dengan menempatkan moralitas pada jantung kehidupan spiritualitas. Satu-satunya cara meraih kasih ”Yang di Langit” adalah dengan mengasihi ”apa-apa yang ada di bumi”.
Kuasa dan agama harus ditransformasikan dari alat perampasan dan kekerasan menjadi wahana belajar melayani dan mengasihi. Ali bin Abi Thalib mengatakan, ”Rakyat tidaklah akan menjadi baik kecuali penguasanya juga baik. Pun penguasa tidak akan baik kecuali dengan kelurusan rakyat. Maka, jika rakyat menunaikan kepada penguasa haknya dan penguasa menunaikan kepada rakyat hak mereka, akan kuatlah kebenaran di antara mereka dan berdiri tegak prinsip-prinsip agama dan rambu-rambu keadilan.”
Yudi Latif, Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
Sumber: Kompas, Selasa, 7 Agustus 2012
No comments:
Post a Comment