-- Bayu Agustari Adha
SASTRA berfungsi tak hanya memberi hamparan kisah yang tertera begitu saja. Di balik itu sastra juga menyelipkan pertarungan ideologi dalam konflik dan alur yang disajikan. Walau hanya bersifat fiksi, emosi yang disajikan terbukti lebih lama membekas dari karya non fiksi. Itu bisa dilihat pada karya Khaled Hosssaini, The Kite Runner yang secara implisit menyajikan suatu pertarungan ideologi yang membuat suatu Negara yakni Afghanistan menjadi Negara hancur tanpa henti sampai kini. Apa yang membuatnya hancur adalah pertarungan ideologi yang saling memaksakan tanpa adanya suatu negasi. Ideologi itu di antaranya nasionalisme, liberalisme, komunisme dan fanatisme.
Ideologi nasionalis berhegemoni di sini dalam kerangka yang dangkal. Nasionalisme ini beranjak dari primordialisme suku dominan yang ada di Afghanistan. Watak budaya membesar-besarkan ini menjadi suatu ciri khas orang Afghan. Jika seseorang mengatakan anaknya seorang dokter maka kemungkinannya anak itu hanyalah pernah lulus ujian biologi. Inilah kecintaan pada Tanah Air yang dibesar-besarkan sehingga berdampak buruk pada masyarakat itu sendiri. Dalam novel ini digambarkan suku mayoritas yakni Pashtun yang menginferiorkan suku Hazara. Diceritakan karakter utama Amir yang seorang Pasthun punya teman bermain yang anak pembantu keluarganya yakni Hassan bersuku Hazara. Amir memang tak menganiaya Hassan, tapi watak superioritas sebagai suku Pasthun tetap tertanam pada tindakannya walau tak sebenarnya dalam hati. Baba Amir dan ayah Hassan, Ali, dulunya juga seperti itu.
Tindakan terjadi hanya karena konstruksi masyarakat Afghan yang memberi paradigma rendah pada orang Hazara. Dalam kesehariannya, Ali dan Hassan sering diolok-olok kaum Pasthun yang berbeda secara fisik dengan kaum Hazara. Setiap hari Ali memperoleh cemoohan dari remaja yang agak besar dengan sebutan Babulu atau Hantu. Mereka menyebutnya pesek, begitulah ciri-ciri Ali dan Hassan dan kebanyakan suku Hazara. Suku ini keturunan Mongol dan sedikit mirip Cina. Julukan-julukan untuk orang Hazara di antaranya pemakan tikus, dan keledai pengangkut barang. Malangnya stigma ini terus terwarisi sampai pada anak-anak yang sebenarnya tak tahu apa-apa. Hassan juga kerap diperolok, terutama oleh Assef, tokoh antagonis di novel ini dengan sebutan-sebutan di atas.
Assef jadi representasi nasionalisme yang bermuara pada fasisme. Ia merupakan pengagum Hitler dengan ibu keturunan Jerman dan Ayah seorang Pasthun. Satu setting menceritakan Assef bersama temannya mencegat Amir dan Hassan untuk membiarkannya menyiksa Hassan seorang Hazara. Dia mengatakan ‘’Afghanistan adalah Negara milik bangsa Pasthun. Dari dulu begitu, dan akan selalu begitu. Kita adalah orang-orang Afghan sejati, orang-orang Afghan murni, tak seperti si pesek ini. Kaumnya mengotori Tanah Air kita.’’ Assef tak hanya marah pada Hassan, tapi juga pada Amir karena telah bermain bersama Hassan. Dalam hati Amir, Hassan bukan temannya melainkan pembantunya, namun karena segan Amir tak mengatakannya. Hassan pun melindungi Amir dengan menggertak Assef dengan ketapelnya.
Kekalahan Assef ini menjadi dendam yang makin besar dan abadi baginya. Tak hanya hubungan persukuan yang membuat suatu nasionalisme sempit seperti ini, aliran agama juga menegaskannya, walau sama-sama Islam. Pasthun menganut Sunni dan Hazara sebagai Syi’ah. Latar belakang utama penindasan ini memang adalah perbedaan mahzab agama ini.
Di sisi lain pemikiran ini juga dapat perlawanan dari orang Pasthun sendiri yang berupa pemikiran liberal. Itu dilihat dari karakter ayah Amir sendiri, Baba yang menunjukkan kejijikannya pada kaum Sunni yang merasa sok suci. Ini terlihat ketika Amir mengatakan pada ayahnya bahwa menurut guru agamanya minum wiski itu haram. Baba dengan percaya diri mengatakan apa yang dipelajari di sekolah takkan menemui titik temu dengan kenyataan. Bahkan ia mengatakan.
Baba sendiri adalah orang yang tergila-gila dengan gagasan tentang Amerika. Ia juga pernah mengatakan di dunia ini hanya ada tiga lelaki sejati yakni sang penyelamat gagah berani, Inggris dan Israel, selebihnya adalah mereka yang sama saja dengan nenek-nenek yang hobi bergosip. Tentu saja pernyataan ini menyentak banyak orang karena secara de facto memuja Israel tentu saja mengindikasikan anti-Islam. Tapi ia menyatakan bahwa semua ini tak ada hubungannya dengan agama. Di matanya Israel adalah pria sejati di sebuah pulau dikelilingi oleh lautan bangsa Arab yang terlalu sibuk memikirkan produksi minyak mereka sehingga tak peduli pada nasib bangsa sendiri. ‘’Lakukanlah sesuatu untuk mengatasi masalah! Bertindaklah. Kalian kan orang Arab, pergi sana, tolong orang Palestina!,’’ serunya.
Hingga sampai akhirnya Uni Soviet menginvasi Afghanistan, masuklah satu ideologi lagi yakni komunisme. Ideologi buruh yang tumbuh menjadi gerakan otoriter di atas segala pembenaran. Ideologi yang pertamanya menyokong majunya kaum buruh malah berujung kekejaman oleh para tentara Uni Soviet. Afghanistan yang sedang gagap berideologi harus menelan lagi paksaan ideologi baru. Apa yang dilakukan Uni Soviet jelas bertentangan karena yang terjadi di lapangan sebenarnya hanya nafsu kekuasaan sebagai pertarungan Negara adidaya dengan AS sehingga segala hal yang berhubungan dengan Amerika dimusnahkan. Itu terjadi pada pihak Afghan di segala aspek sampai-sampai pada hal-hal budaya pop seperti musik. Di novel ini seorang musisi modern menjadi seperti anjing oleh tentara Rusia hingga akhirnya tewas menggenaskan.
Dalam aksinya para penjajah dengan sesukanya memetakan aliran ideologi para penduduk tanpa jelas kriterianya. Dengan menggunakan cecunguk dari Afghanistan sendiri, tentara Uni Soviet telah membantai begitu banyak jiwa yang terindikasi tak berafiliasi pada komunis. Mereka diam-diam menguping pembicaraan orang lain. Komentar kecil yang terlontar saat menunggu penjahit mengupas baju bisa mengirim seseorang ke penjara bawah tanah Poleh-Charki. Keluhan tentang pelaksanaan jam malam yang dilontarkan di hadapan tukang daging bisa mengantarkan seseorang menghabiskan waktunya di balik jeruji, di balik hadapan moncong senapan klashinov. Kejadian ini berlangsung begitu lama sehingga Afghanistan menjadi Negara tanpa masa depan karena sibuk perang.
Hingga akhirnya pada 1989, Uni Soviet meninggalkan Afghanistan. Perang terus berkecamuk, kali ini antar warga Afghan sendiri, kaum Mujahiddin melawan pengikut Najibullah, pemerintah boneka Soviet. Gelombang pengungsi Afghan terus membanjiri Pakistan. Pada tahun itu pula perang dingin berakhir dan Tembok Berlin dirubuhkan. Namun di tengah kekacauan itu, Afghanistan terlupakan. Kabul saat itu jadi rebutan antara faksi. Ibukota Afghanistan ini jatuh ke tangan Massoud, Rabbani dan kelompok Muhajiddin antara 1992-1996. Taliban memenangkan pertikaian 1996. Pada masa Taliban inilah muncul lagi satu ideologi yang makin memperparah keadaan yakni fanatisme. Mulanya memang semua orang di Afghanistan menyambut Taliban dengan suka cita. Warga menari di jalanan dan menyapa prajurit Taliban seperti pahlawan, memanjat tank mereka dan berfoto bersama. Namun itu hanya berjalan sesaat. Tanpa diduga Taliban melakukan hal-hal yang tak masuk akal atas nama agama dengan memerangi rakyat Afghan sendiri. Permainan layang-layang diharamkan dan 2 tahun setelah berkuasa mereka membantai suku Hazara yang beraliran Syiah.
Taliban juga melakukan ketidakadilan pada kaum perempuan. Itu terjadi ketika istri Hassan berbelanja di pasar. Dia membeli sesuatu, namun karena penjualnya agak sedikit tuli dia bersuara agak keras. Hal itu terdengar oleh tentara Taliban dan langsung menghampiri dan memukuli sembari mengatakan bahwa Kementerian Kesusilaan melarang wanita bersuara keras. Karena Hassan adalah Hazara, ancaman kematian senantiasa menimpanya hingga akhirnya ia mati dengan ditembak kepala bagian belakang oleh Taliban karena identitas Hazaranya.
Fanatisme sempit ini juga diterapkan pada cara berpakaian. Afghan laki-laki diwajibkan memakai pakol sedang wanita memakai burqa dan laki-laki harus berjanggut sepanjang dada yang mereka anggap sesuai syariat. Jelas ini suatu pemahaman yang salah dari paham fanatisme yang dianut dengan mengatasnamakan syariah. Di sisi lain para prajurit Taliban malah menasbihkan hal-hal tertentu hanya pada mereka seperti dimana hanya Taliban yang bisa menikmati daging kambing. Dalam keseharian operasional pun mereka berpatroli dengan sangat kejam seperti orang kehausan untuk membunuh. Mereka terus memancing rakyat untuk berbuat kesalahan dan dengan begitu mereka bebas menindas sampai dengan membunuh. Ini makin menjadi pemandangan sehari-hari sehingga yang terlihat hanya seorang anak bersama ibunya tanpa ayah. Sebagian besar ibu pun lebih memilih menumpangkan anaknya di panti asuhan yang kondisinya menyedihkan karena wanita juga dilarang bekerja sehingga tak ada biaya untuk memenuhi kebutuhan. Seorang ayah telah menjadi suatu sesuatu yang langka di masa Taliban.
Pada masa itu ada satu kebiasaan yang gemar sekali dilakukan oleh Taliban yaitu prosesi perajaman kepada para pezina saat jeda istirahat pertandingan sepakbola. Setelah wasit membunyikan peluit turun minum, pertunjukan tambahan segera dimulai. Dua truk merah berbak terbuka memasuki stadion melalui gerbang. Seorang wanita dengan terbungkus burqa hijau duduk di salah satu bak truk, sementara seorang pria dengan mata tersekap duduk di bak truk lain. Kedua truk berjalan mengelilingi lapangan seolah-olah membiarkan seluruh penonton memperhatikan mereka. Truk berhenti di belakang gawang yang telah menyediakan dua lubang. Kemudian datang lagi satu truk berisi pasukan Taliban. Mereka memasukkan kedua pezina ke masing-masing lubang sedalam dada. Kemudian berbicaralah seorang ulama dengan melafalkan surat Alquran yang panjang. Lalu ulama itu berceramah mengenai keharusan menegakkan Syariat kehendak Allah dan Nabi Muhammad. Lalu dimulailah acara inti dimana seorang pria memungut batu dan memperlihatkannya pada penonton lalu melemparkannya pada para pezina sampai akhirnya daging dan darah berserakan. Pertunjukan pun selesai.
Peristiwa ini secara naluriah jelas suatu tindakan yang bersifat sadisme yang makin menjauhkan Islam sebagai agama yang damai. Itu terjadi karena fanatisme sempit yang tak bisa menyaring dan menerjemahkan hukum Allah sehingga terjadi salah tafsir di mana perlu dilakukan peninjauan lebih dulu. Karakter yang merepresentasikan ideologi fanatisme ini ternyata tak lain adalah Assef. Seorang pengagum Hitler yang menjelma menjadi Taliban. Jelas di sini bahwa Taliban telah menjadi wadah baginya untuk melampiaskan hasrat fasisme yang dianutnya. Terang sekali bagaimana perselingkuhan ideologi fasisme dengan fanatisme yang berupa Taliban.
Dalih Syariat itulah yang digunakannya. Menurutnya, ‘’Menegakkan keadilan pada masyarakat adalah pertunjukan terhebat. Drama. Ketegangan. Dan yang terbaik di antara semuanya adalah pendidikan massal. Kau takkan mengerti makna kata pembebasan hingga kau melakukannya, berdiri di hadapan seruangan target, membiarkan peluru melayang, membiarkan dirimu mengetahui bahwa dirimu lebih unggul, lebih baik dan lebih mulia. Mengetahui bahwa dirimu telah menjadi perpanjangan tangan Tuhan.’’ Begitulah upaya pembenaran yang dilakukannya. Tampak nyata ia menggabungkan ideologi fasisme ala Hitler dengan fanatisme sempit sehingga merasa melakukan sesuatu atas kehendak Tuhan.
Bayu Agustari Adha, Tutor bahasa Inggris di EasySpeak.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 12 Agustus 2012
SASTRA berfungsi tak hanya memberi hamparan kisah yang tertera begitu saja. Di balik itu sastra juga menyelipkan pertarungan ideologi dalam konflik dan alur yang disajikan. Walau hanya bersifat fiksi, emosi yang disajikan terbukti lebih lama membekas dari karya non fiksi. Itu bisa dilihat pada karya Khaled Hosssaini, The Kite Runner yang secara implisit menyajikan suatu pertarungan ideologi yang membuat suatu Negara yakni Afghanistan menjadi Negara hancur tanpa henti sampai kini. Apa yang membuatnya hancur adalah pertarungan ideologi yang saling memaksakan tanpa adanya suatu negasi. Ideologi itu di antaranya nasionalisme, liberalisme, komunisme dan fanatisme.
Ideologi nasionalis berhegemoni di sini dalam kerangka yang dangkal. Nasionalisme ini beranjak dari primordialisme suku dominan yang ada di Afghanistan. Watak budaya membesar-besarkan ini menjadi suatu ciri khas orang Afghan. Jika seseorang mengatakan anaknya seorang dokter maka kemungkinannya anak itu hanyalah pernah lulus ujian biologi. Inilah kecintaan pada Tanah Air yang dibesar-besarkan sehingga berdampak buruk pada masyarakat itu sendiri. Dalam novel ini digambarkan suku mayoritas yakni Pashtun yang menginferiorkan suku Hazara. Diceritakan karakter utama Amir yang seorang Pasthun punya teman bermain yang anak pembantu keluarganya yakni Hassan bersuku Hazara. Amir memang tak menganiaya Hassan, tapi watak superioritas sebagai suku Pasthun tetap tertanam pada tindakannya walau tak sebenarnya dalam hati. Baba Amir dan ayah Hassan, Ali, dulunya juga seperti itu.
Tindakan terjadi hanya karena konstruksi masyarakat Afghan yang memberi paradigma rendah pada orang Hazara. Dalam kesehariannya, Ali dan Hassan sering diolok-olok kaum Pasthun yang berbeda secara fisik dengan kaum Hazara. Setiap hari Ali memperoleh cemoohan dari remaja yang agak besar dengan sebutan Babulu atau Hantu. Mereka menyebutnya pesek, begitulah ciri-ciri Ali dan Hassan dan kebanyakan suku Hazara. Suku ini keturunan Mongol dan sedikit mirip Cina. Julukan-julukan untuk orang Hazara di antaranya pemakan tikus, dan keledai pengangkut barang. Malangnya stigma ini terus terwarisi sampai pada anak-anak yang sebenarnya tak tahu apa-apa. Hassan juga kerap diperolok, terutama oleh Assef, tokoh antagonis di novel ini dengan sebutan-sebutan di atas.
Assef jadi representasi nasionalisme yang bermuara pada fasisme. Ia merupakan pengagum Hitler dengan ibu keturunan Jerman dan Ayah seorang Pasthun. Satu setting menceritakan Assef bersama temannya mencegat Amir dan Hassan untuk membiarkannya menyiksa Hassan seorang Hazara. Dia mengatakan ‘’Afghanistan adalah Negara milik bangsa Pasthun. Dari dulu begitu, dan akan selalu begitu. Kita adalah orang-orang Afghan sejati, orang-orang Afghan murni, tak seperti si pesek ini. Kaumnya mengotori Tanah Air kita.’’ Assef tak hanya marah pada Hassan, tapi juga pada Amir karena telah bermain bersama Hassan. Dalam hati Amir, Hassan bukan temannya melainkan pembantunya, namun karena segan Amir tak mengatakannya. Hassan pun melindungi Amir dengan menggertak Assef dengan ketapelnya.
Kekalahan Assef ini menjadi dendam yang makin besar dan abadi baginya. Tak hanya hubungan persukuan yang membuat suatu nasionalisme sempit seperti ini, aliran agama juga menegaskannya, walau sama-sama Islam. Pasthun menganut Sunni dan Hazara sebagai Syi’ah. Latar belakang utama penindasan ini memang adalah perbedaan mahzab agama ini.
Di sisi lain pemikiran ini juga dapat perlawanan dari orang Pasthun sendiri yang berupa pemikiran liberal. Itu dilihat dari karakter ayah Amir sendiri, Baba yang menunjukkan kejijikannya pada kaum Sunni yang merasa sok suci. Ini terlihat ketika Amir mengatakan pada ayahnya bahwa menurut guru agamanya minum wiski itu haram. Baba dengan percaya diri mengatakan apa yang dipelajari di sekolah takkan menemui titik temu dengan kenyataan. Bahkan ia mengatakan.
Baba sendiri adalah orang yang tergila-gila dengan gagasan tentang Amerika. Ia juga pernah mengatakan di dunia ini hanya ada tiga lelaki sejati yakni sang penyelamat gagah berani, Inggris dan Israel, selebihnya adalah mereka yang sama saja dengan nenek-nenek yang hobi bergosip. Tentu saja pernyataan ini menyentak banyak orang karena secara de facto memuja Israel tentu saja mengindikasikan anti-Islam. Tapi ia menyatakan bahwa semua ini tak ada hubungannya dengan agama. Di matanya Israel adalah pria sejati di sebuah pulau dikelilingi oleh lautan bangsa Arab yang terlalu sibuk memikirkan produksi minyak mereka sehingga tak peduli pada nasib bangsa sendiri. ‘’Lakukanlah sesuatu untuk mengatasi masalah! Bertindaklah. Kalian kan orang Arab, pergi sana, tolong orang Palestina!,’’ serunya.
Hingga sampai akhirnya Uni Soviet menginvasi Afghanistan, masuklah satu ideologi lagi yakni komunisme. Ideologi buruh yang tumbuh menjadi gerakan otoriter di atas segala pembenaran. Ideologi yang pertamanya menyokong majunya kaum buruh malah berujung kekejaman oleh para tentara Uni Soviet. Afghanistan yang sedang gagap berideologi harus menelan lagi paksaan ideologi baru. Apa yang dilakukan Uni Soviet jelas bertentangan karena yang terjadi di lapangan sebenarnya hanya nafsu kekuasaan sebagai pertarungan Negara adidaya dengan AS sehingga segala hal yang berhubungan dengan Amerika dimusnahkan. Itu terjadi pada pihak Afghan di segala aspek sampai-sampai pada hal-hal budaya pop seperti musik. Di novel ini seorang musisi modern menjadi seperti anjing oleh tentara Rusia hingga akhirnya tewas menggenaskan.
Dalam aksinya para penjajah dengan sesukanya memetakan aliran ideologi para penduduk tanpa jelas kriterianya. Dengan menggunakan cecunguk dari Afghanistan sendiri, tentara Uni Soviet telah membantai begitu banyak jiwa yang terindikasi tak berafiliasi pada komunis. Mereka diam-diam menguping pembicaraan orang lain. Komentar kecil yang terlontar saat menunggu penjahit mengupas baju bisa mengirim seseorang ke penjara bawah tanah Poleh-Charki. Keluhan tentang pelaksanaan jam malam yang dilontarkan di hadapan tukang daging bisa mengantarkan seseorang menghabiskan waktunya di balik jeruji, di balik hadapan moncong senapan klashinov. Kejadian ini berlangsung begitu lama sehingga Afghanistan menjadi Negara tanpa masa depan karena sibuk perang.
Hingga akhirnya pada 1989, Uni Soviet meninggalkan Afghanistan. Perang terus berkecamuk, kali ini antar warga Afghan sendiri, kaum Mujahiddin melawan pengikut Najibullah, pemerintah boneka Soviet. Gelombang pengungsi Afghan terus membanjiri Pakistan. Pada tahun itu pula perang dingin berakhir dan Tembok Berlin dirubuhkan. Namun di tengah kekacauan itu, Afghanistan terlupakan. Kabul saat itu jadi rebutan antara faksi. Ibukota Afghanistan ini jatuh ke tangan Massoud, Rabbani dan kelompok Muhajiddin antara 1992-1996. Taliban memenangkan pertikaian 1996. Pada masa Taliban inilah muncul lagi satu ideologi yang makin memperparah keadaan yakni fanatisme. Mulanya memang semua orang di Afghanistan menyambut Taliban dengan suka cita. Warga menari di jalanan dan menyapa prajurit Taliban seperti pahlawan, memanjat tank mereka dan berfoto bersama. Namun itu hanya berjalan sesaat. Tanpa diduga Taliban melakukan hal-hal yang tak masuk akal atas nama agama dengan memerangi rakyat Afghan sendiri. Permainan layang-layang diharamkan dan 2 tahun setelah berkuasa mereka membantai suku Hazara yang beraliran Syiah.
Taliban juga melakukan ketidakadilan pada kaum perempuan. Itu terjadi ketika istri Hassan berbelanja di pasar. Dia membeli sesuatu, namun karena penjualnya agak sedikit tuli dia bersuara agak keras. Hal itu terdengar oleh tentara Taliban dan langsung menghampiri dan memukuli sembari mengatakan bahwa Kementerian Kesusilaan melarang wanita bersuara keras. Karena Hassan adalah Hazara, ancaman kematian senantiasa menimpanya hingga akhirnya ia mati dengan ditembak kepala bagian belakang oleh Taliban karena identitas Hazaranya.
Fanatisme sempit ini juga diterapkan pada cara berpakaian. Afghan laki-laki diwajibkan memakai pakol sedang wanita memakai burqa dan laki-laki harus berjanggut sepanjang dada yang mereka anggap sesuai syariat. Jelas ini suatu pemahaman yang salah dari paham fanatisme yang dianut dengan mengatasnamakan syariah. Di sisi lain para prajurit Taliban malah menasbihkan hal-hal tertentu hanya pada mereka seperti dimana hanya Taliban yang bisa menikmati daging kambing. Dalam keseharian operasional pun mereka berpatroli dengan sangat kejam seperti orang kehausan untuk membunuh. Mereka terus memancing rakyat untuk berbuat kesalahan dan dengan begitu mereka bebas menindas sampai dengan membunuh. Ini makin menjadi pemandangan sehari-hari sehingga yang terlihat hanya seorang anak bersama ibunya tanpa ayah. Sebagian besar ibu pun lebih memilih menumpangkan anaknya di panti asuhan yang kondisinya menyedihkan karena wanita juga dilarang bekerja sehingga tak ada biaya untuk memenuhi kebutuhan. Seorang ayah telah menjadi suatu sesuatu yang langka di masa Taliban.
Pada masa itu ada satu kebiasaan yang gemar sekali dilakukan oleh Taliban yaitu prosesi perajaman kepada para pezina saat jeda istirahat pertandingan sepakbola. Setelah wasit membunyikan peluit turun minum, pertunjukan tambahan segera dimulai. Dua truk merah berbak terbuka memasuki stadion melalui gerbang. Seorang wanita dengan terbungkus burqa hijau duduk di salah satu bak truk, sementara seorang pria dengan mata tersekap duduk di bak truk lain. Kedua truk berjalan mengelilingi lapangan seolah-olah membiarkan seluruh penonton memperhatikan mereka. Truk berhenti di belakang gawang yang telah menyediakan dua lubang. Kemudian datang lagi satu truk berisi pasukan Taliban. Mereka memasukkan kedua pezina ke masing-masing lubang sedalam dada. Kemudian berbicaralah seorang ulama dengan melafalkan surat Alquran yang panjang. Lalu ulama itu berceramah mengenai keharusan menegakkan Syariat kehendak Allah dan Nabi Muhammad. Lalu dimulailah acara inti dimana seorang pria memungut batu dan memperlihatkannya pada penonton lalu melemparkannya pada para pezina sampai akhirnya daging dan darah berserakan. Pertunjukan pun selesai.
Peristiwa ini secara naluriah jelas suatu tindakan yang bersifat sadisme yang makin menjauhkan Islam sebagai agama yang damai. Itu terjadi karena fanatisme sempit yang tak bisa menyaring dan menerjemahkan hukum Allah sehingga terjadi salah tafsir di mana perlu dilakukan peninjauan lebih dulu. Karakter yang merepresentasikan ideologi fanatisme ini ternyata tak lain adalah Assef. Seorang pengagum Hitler yang menjelma menjadi Taliban. Jelas di sini bahwa Taliban telah menjadi wadah baginya untuk melampiaskan hasrat fasisme yang dianutnya. Terang sekali bagaimana perselingkuhan ideologi fasisme dengan fanatisme yang berupa Taliban.
Dalih Syariat itulah yang digunakannya. Menurutnya, ‘’Menegakkan keadilan pada masyarakat adalah pertunjukan terhebat. Drama. Ketegangan. Dan yang terbaik di antara semuanya adalah pendidikan massal. Kau takkan mengerti makna kata pembebasan hingga kau melakukannya, berdiri di hadapan seruangan target, membiarkan peluru melayang, membiarkan dirimu mengetahui bahwa dirimu lebih unggul, lebih baik dan lebih mulia. Mengetahui bahwa dirimu telah menjadi perpanjangan tangan Tuhan.’’ Begitulah upaya pembenaran yang dilakukannya. Tampak nyata ia menggabungkan ideologi fasisme ala Hitler dengan fanatisme sempit sehingga merasa melakukan sesuatu atas kehendak Tuhan.
Bayu Agustari Adha, Tutor bahasa Inggris di EasySpeak.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 12 Agustus 2012
No comments:
Post a Comment