PERAN Tuan Guru Syekh Abdurrahman Shiddiq sebagai tokoh agama di wilayah Kerajaan Indragiri bermula ketika beliau pindah dari Bangka ke Indragiri, tepatnya di Sapat (ibukota Kecamatan Kuala Indragiri, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau sekarang) yang termasuk dalam wilayah Batin nan Enam Suku pada 1910 M. Menurut keterangan Hj Maimunah (Munah) 89 tahun, anak Tuan Guru ketika hijrah ke Indragiri, beliau pertama kali memasuki daerah Reteh sebagai daerah yang cukup ramai di wilayah pantai Timur Kerajaan Indragiri.
Tapi karena terlalu jauh dengan pusat pemerintahan yang ketika itu berkedudukan di Rengat, beliau meneruskan perjalanan ke daerah Sapat yang merupakan pusat lalu-lintas dan perdagangan karena berada di muara sungai Indragiri. Tuan Guru menetap di Sapat selama 7 tahun berprofesi sebagai penjual emas. Ketika itu beliau dikenal dengan nama Tukang Emas Durahman. Di Sapat, pernah terjadi peristiwa perselisihan pendapat antara dua kelompok masyarakat tentang perihal agama. Karena kedua belah tak mau mengalah sementara tak ada orang yang dapat jadi penengah menyebabkan hampir terjadi pertumpahan darah. Tukang Emas Durahman turun tangan menyelesaikan khilafiyah yang terjadi.
Berbekal ilmu pengetahuannya, beliau dapat menyelesaikan masalah itu berdasar dalil yang qath�iy dari Alquran dan hadits serta penjelasan para ulama.
Sejak itu, banyak orang belajar agama padanya. Di samping tetap melaksanakan pekerjaannya sebagai tukang emas, beliau juga membuka pengajian. Karena makin banyak murid, sementara rumah beliau yang ketika itu dekat bom (pelabuhan/dermaga) Sapat Hilir sudah tak muat, ia pun berpikir mencari tempat yang dapat dijadikan sebagai pusat pendidikan dan pengembangan agama Islam.
Ia juga memelopori pembukaan hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa. Tindakan Tuan Guru ini masih tercatat dalam cerita-certia rakyat Indragiri. Tuan Guru digambarkan punya kekuatan batin yang luar biasa untuk mengusir makhluk halus, sehingga lahan-lahan yang tadinya dipandang angker masyarakat, dapat digarapnya. Untuk kepentingan perkebunan itu, Tuan Guru memelopori pembuatan parit yang terkenal dengan nama Parit Hidayah (Parit Petunjuk).
Di Parit Hidayah, Tuan Guru mendirikan masjid dan madrasah pertama di Indragiri. Beliau sendiri membangunnya dibantu para santrinya pada 1927. Masjid ini berarsitektur khas pada atap dan berada 200 M dari makam beliau. Di sekeliling masjid, ada sekitar seratus buah rumah sederhana sebagai tempat tinggal para santri yang berasal dari Kalimantan, Malaysia dan Singapura.
Berita tentang kealiman Tuan Guru sampai ke kerajaan Kesultanan Indragiri. Waktu itu, jabatan Sultan Kerajaan Indragiri di pegang Sultan Mahmud Syah bin Sultan Isya (sultan ke-25 keturunan dari Kesultanan Johor Lama). Sultan Indragiri telah lama hendak mengangkat seseorang untuk jadi mufti Kerajaan Indragiri. Setelah tahun 1912 M, Tuan Guru menetap di Sapat (Kuala Indragiri). Tahun 1918 Sultan Mahmud Syah mengutus Datuk Bendahara Muhammad Alie didampingi Panco Atan yang telah lama mengenal Tuan Guru yang memintanya bersedia jadi mufti Kerajaan Indragiri. Mulanya beliau menolak, tapi karena terus didesak dan mengingat untuk kepentingan umat, beliau akhirnya menerima dengan catatan. Pertama, tak menggangu aktivitasnya sebagai penyuluh agama di Dusun Hidayat Desa Sapat Kuala Indragiri. Kedua, tak berkenan menerima gaji selama menjabat mufti.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan UU Hamidy pada 1981 tentang naskah-naskah kuno di Riau, beliau bersama kawan-kawan dari Universitas Riau berhasil menemukan 5 kitab yang ditulis Tuan Guru. Syafie Abdullah berhasil mendata 13 judul karangan, termasuk di dalamnya beberapa judul yang sudah didata UU Hamidy. M Arrafie Abduh di dalam tesisnya mensenaraikan 15 judul karangan. Karya Syekh Abdurrahman Shiddiq yang berhasil dirangkum, terutama yang telah diterbitkan Mathba�ah Ahmadiyah Singapura maupun yang dicetak ulang di Banjarmasin serta yang masih berupa tulis tangan, yaitu Kumpulan Doa-doa, Bay�al-Hayawan Li al-Kafirin, Kitab al-Fara�idh, Terjamah Kumpulan Khuthbah al-Muthallaqah, Tuhfat al-Raghibin fi Bayan Haqiqat al-Mu�minin, Risalah Fath al-Rahma, Syair �Ibarat dan Khabar Qiyamat, Fath al Amin fi Tartib al-Talim li Jami�iha, Asrar al-Shalat min �Iddat al-Kutub al-Mu�tamadah, Tadzkirah li Nafsi wa li Amtsali.
Selain itu, Thariqat Khalwatiyah al-Samaniyah, Majmu� al-Ayat wa al-Ahadits fi Fadha�il al-�Ilm wa al-Muta�allimin wa al-Mustami�in li Khadim al-Thalabah, Kitab al-Hukama, Risalah fi �Aqa�id al-Iman, serta Risalah �Amal Ma�rifah, Risalah Takmilah Qawl al-Mukhtashar, Sejarah Perkembangan Islam di Kerajaan Banjar, Risalah Syajarah al-Arsyadiyah wa ma Ulhiqabiha, Mau�izatun li Nafsi wa li Amtsali min Ikhwan, dan Nahw wa Dhamm wa Sharf.(berbagai sumber)
Sumber: Riau Pos, Minggu, 5 Agustus 2012
Tapi karena terlalu jauh dengan pusat pemerintahan yang ketika itu berkedudukan di Rengat, beliau meneruskan perjalanan ke daerah Sapat yang merupakan pusat lalu-lintas dan perdagangan karena berada di muara sungai Indragiri. Tuan Guru menetap di Sapat selama 7 tahun berprofesi sebagai penjual emas. Ketika itu beliau dikenal dengan nama Tukang Emas Durahman. Di Sapat, pernah terjadi peristiwa perselisihan pendapat antara dua kelompok masyarakat tentang perihal agama. Karena kedua belah tak mau mengalah sementara tak ada orang yang dapat jadi penengah menyebabkan hampir terjadi pertumpahan darah. Tukang Emas Durahman turun tangan menyelesaikan khilafiyah yang terjadi.
Berbekal ilmu pengetahuannya, beliau dapat menyelesaikan masalah itu berdasar dalil yang qath�iy dari Alquran dan hadits serta penjelasan para ulama.
Sejak itu, banyak orang belajar agama padanya. Di samping tetap melaksanakan pekerjaannya sebagai tukang emas, beliau juga membuka pengajian. Karena makin banyak murid, sementara rumah beliau yang ketika itu dekat bom (pelabuhan/dermaga) Sapat Hilir sudah tak muat, ia pun berpikir mencari tempat yang dapat dijadikan sebagai pusat pendidikan dan pengembangan agama Islam.
Ia juga memelopori pembukaan hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa. Tindakan Tuan Guru ini masih tercatat dalam cerita-certia rakyat Indragiri. Tuan Guru digambarkan punya kekuatan batin yang luar biasa untuk mengusir makhluk halus, sehingga lahan-lahan yang tadinya dipandang angker masyarakat, dapat digarapnya. Untuk kepentingan perkebunan itu, Tuan Guru memelopori pembuatan parit yang terkenal dengan nama Parit Hidayah (Parit Petunjuk).
Di Parit Hidayah, Tuan Guru mendirikan masjid dan madrasah pertama di Indragiri. Beliau sendiri membangunnya dibantu para santrinya pada 1927. Masjid ini berarsitektur khas pada atap dan berada 200 M dari makam beliau. Di sekeliling masjid, ada sekitar seratus buah rumah sederhana sebagai tempat tinggal para santri yang berasal dari Kalimantan, Malaysia dan Singapura.
Berita tentang kealiman Tuan Guru sampai ke kerajaan Kesultanan Indragiri. Waktu itu, jabatan Sultan Kerajaan Indragiri di pegang Sultan Mahmud Syah bin Sultan Isya (sultan ke-25 keturunan dari Kesultanan Johor Lama). Sultan Indragiri telah lama hendak mengangkat seseorang untuk jadi mufti Kerajaan Indragiri. Setelah tahun 1912 M, Tuan Guru menetap di Sapat (Kuala Indragiri). Tahun 1918 Sultan Mahmud Syah mengutus Datuk Bendahara Muhammad Alie didampingi Panco Atan yang telah lama mengenal Tuan Guru yang memintanya bersedia jadi mufti Kerajaan Indragiri. Mulanya beliau menolak, tapi karena terus didesak dan mengingat untuk kepentingan umat, beliau akhirnya menerima dengan catatan. Pertama, tak menggangu aktivitasnya sebagai penyuluh agama di Dusun Hidayat Desa Sapat Kuala Indragiri. Kedua, tak berkenan menerima gaji selama menjabat mufti.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan UU Hamidy pada 1981 tentang naskah-naskah kuno di Riau, beliau bersama kawan-kawan dari Universitas Riau berhasil menemukan 5 kitab yang ditulis Tuan Guru. Syafie Abdullah berhasil mendata 13 judul karangan, termasuk di dalamnya beberapa judul yang sudah didata UU Hamidy. M Arrafie Abduh di dalam tesisnya mensenaraikan 15 judul karangan. Karya Syekh Abdurrahman Shiddiq yang berhasil dirangkum, terutama yang telah diterbitkan Mathba�ah Ahmadiyah Singapura maupun yang dicetak ulang di Banjarmasin serta yang masih berupa tulis tangan, yaitu Kumpulan Doa-doa, Bay�al-Hayawan Li al-Kafirin, Kitab al-Fara�idh, Terjamah Kumpulan Khuthbah al-Muthallaqah, Tuhfat al-Raghibin fi Bayan Haqiqat al-Mu�minin, Risalah Fath al-Rahma, Syair �Ibarat dan Khabar Qiyamat, Fath al Amin fi Tartib al-Talim li Jami�iha, Asrar al-Shalat min �Iddat al-Kutub al-Mu�tamadah, Tadzkirah li Nafsi wa li Amtsali.
Selain itu, Thariqat Khalwatiyah al-Samaniyah, Majmu� al-Ayat wa al-Ahadits fi Fadha�il al-�Ilm wa al-Muta�allimin wa al-Mustami�in li Khadim al-Thalabah, Kitab al-Hukama, Risalah fi �Aqa�id al-Iman, serta Risalah �Amal Ma�rifah, Risalah Takmilah Qawl al-Mukhtashar, Sejarah Perkembangan Islam di Kerajaan Banjar, Risalah Syajarah al-Arsyadiyah wa ma Ulhiqabiha, Mau�izatun li Nafsi wa li Amtsali min Ikhwan, dan Nahw wa Dhamm wa Sharf.(berbagai sumber)
Sumber: Riau Pos, Minggu, 5 Agustus 2012
No comments:
Post a Comment