-- Utami Diah Kusumawati
Bahasa-bahasa daerah di Indonesia perlu didokumentasi dan direvitalisasi agar tidak punah.
"Piye, Mas, wis rampung durung?" tanya seorang Ibu pada anak lelakinya.
"Durung," jawab sang anak lelaki itu sambil menyatukan potongan puzzle dengan santai.
Sang Ibu lantas kaget, anaknya bisa memahami bahasa lokal yang iseng-iseng dia utarakan. Memang dia dan sang suami biasa menggunakan bahasa Jawa Tengah secara aktif di rumah, tetapi dia tak sadar bahwa sang anak lelaki yang masih duduk di kelas empat Sekolah Dasar tersebut memerhatikan percakapan mereka.
Sayangnya, upaya untuk memperkenalkan bahasa daerah dalam keluarga masih sedikit dilakukan. Sehari-harinya, orang tua biasa melakukan percakapan dalam bahasa Indonesia, tanpa sadar bahwa puluhan tahun ke depan, bahasa daerah perlahan akan punah karena tidak dibiasakan diturunkan kepada anak.
Bagi banyak pemerhati budaya, bahasa etnik lokal merupakan salah satu bagian penting dari proses menjadi Indonesia, yang di dalamnya terdapat identitas dan karakter suku bangsa yang memperkaya budaya Indonesia. Di Indonesia terdapat 726 bahasa dan 719 di antaranya merupakan bahasa yang masih dipergunakan oleh penutur asli. Sayangnya, nyaris setengah dari total bahasa tersebut dinilai terancam punah oleh ahli bahasa, karena jumlah penutur yang semakin berkurang setiap tahunnya.
Menurut David Crystal, peneliti bahasa, dalam tulisan berjudul "Language Death" atau "Kematian Bahasa", bahasa daerah sangat penting dilestarikan karena bahasa merupakan jendela ilmu. Dengan memahami bahasa suatu daerah, manusia akan memperluas cakrawala pemikiran mereka. Pasalnya, dalam bahasa daerah terdapat pula norma, etika, dan cara pandang hidup komunitas yang membantu manusia lain untuk lebih baik memahami kehidupan. Semakin sedikit bahasa yang dikuasai seseorang, maka semakin sempit pula pemikirannya.
"Menurut penelitian yang dilakukan oleh UNESCO, setengah dari 6.000 bahasa dunia akan punah pada akhir Abad 21 termasuk di antaranya adalah Indonesia, yang tercatat memiliki jumlah bahasa daerah paling banyak - bersama dengan Papua Nugini. Kondisi di Indonesia, umumnya, komunitas tidak sadar mereka telah kehilangan bahasa daerah mereka karena minim pemakaian," kata Multamia RMT Lauder, pengajar Jurusan Bahasa dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, dalam seminar bertajuk "Kebahasaan dan Kebudayaan Etnik Minoritas: Strategi Pemertahanan dan Dokumentasi" yang diadakan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pertengahan Desember 2012.
Menengarai ancaman tersebut, Multamia mengatakan, perlu segera diadakan revitalisasi bahasa daerah yang ada di Indonesia. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan pendekatan Ortografi atau membuat ejaan dari bahasa daerah yang masih dipakai oleh penutur asli. Pembuatan ejaan bisa dilakukan oleh masyarakat umum dengan menuliskan adat istiadat, cerita, tari, musik, masakan atapun adat perkawinan untuk membantu melakukan proses preservasi atau pelestarian bahasa. Cara ini, menurutnya, efektif dilakukan, terutama untuk melakukan proses pelestarian bahasa. Tak hanya dari segi linguistik semata, tetapi juga berdasarkan pertimbangan lain seperti sejarah, agama, kebudayaan, identitas, dan faktor praktis.
Minder Berbahasa Daerah
Salah satu ahli bahasa yang pernah melakukan preservasi bahasa berdasarkan kebudayaan, tepatnya melalui tari adalah I Wayan Arka. I Wayan Arka meneliti mengenai kebudayaan pada masyarakat daerah Rongga dengan menghidupkan kembali kisah tarian klasik Vera. Dalam Tari Vera tersebut banyak terdapat bahasa daerah Rongga yang perlahan mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya. Etnis Rongga sendiri merupakan sebuah etnis minoritas di bagian timur Kabupaten Manggarai, Flores. Secara administratif, Rongga memiliki tiga desa yakni Tanarata, Komba, dan Bamo.
"Awalnya, Arka membantu para guru membuat buku pelajaran anak-anak Rongga. Namun, para guru menolak, karena Rongga tidak terpilih menjadi muatan lokal dalam kurikulum pendidikan. Kemudian dia memikirkan cara lain, yakni dengan menghidupkan kembali Tari Vera dan membuat masyarakat sadar perlunya melestarikan budaya bangsa," kata Multamia.
Selain bahasa Rongga, bahasa Gamkonora dan bahasa Pagu merupakan dua dari banyak bahasa daerah di Indonesia yang juga terancam punah. Gamkonora merupakan bahasa dan etnik lokal yang berkembang di tengah masyarakat plural dan multilingual (Waioli, Tobaro, Sahu dan Tiana) di wilayah Halmahera Utara. Menurut salah satu peneliti, Ninuk Kleden Probonegoro, persoalan utama yang berkembang di sana adalah, karena berada di tengah lingkungan multilingual, bahasa Gamnokora berpotensi untuk turun statusnya dan menghilang dikalahkan dengan dominasi bahasa lain.
Sementara itu, M Hisyam, salah satu peneliti LIPI untuk bahasa Pagu, mengatakan, jumlah penutur bahasa Pagu semakin mengalami penurunan yang disebabkan oleh baik perubahan sosial ataupun status prestise bahasa (diglosia).
"Di sekolah, anak-anak Pagu juga diajarkan bahasa Indonesia dan tak banyak guru yang memahami bahasa ini. Akibatnya, muncul rasa minder di kalangan anak-anak Pagu untuk bercakap dengan bahasa Ibu karena merasa bahasa Pagu lebih rendah dari bahasa Indonesia," katanya.
Melihat situasi tersebut, dia mengatakan, ada beberapa strategi yang bisa dilakukan untuk merevitalisasi bahasa Pagu. Pertama, memberikan kesadaran kepada masyarakat Pagu bahwa bahasa Pagu merupakan bagian dari masyarakat Pagu yang tidak dapat dipisahkan. Kedua, mengajak masyarakat untuk menggunakan kembali bahasa Pagu.
Dokumentasi dan Revitalisasi
"Saat ini ada sebuah gerakan kebangkitan Masyarakat Adat Pagu yang dipimpin oleh Sangaji Afrida Erna Ngato, yang menyadari kebangkitan masyarakat adat mesti dimulai dari sikap menjunjung tinggi budaya dan bahasanya. Jika mereka mengaku sebagai sebuah masyarakat, mereka harus membuktikan bahwa mereka punya budaya dan bahasa yang menunjukkan jati diri mereka," ujarnya.
Untuk membantu proses preservasi bahasa-bahasa daerah di seluruh dunia, John Bowden, peneliti bahasa di Max Planck Institute mengatakan, ada beberapa lembaga sponsor dunia yang bisa dimintai bantuan. Lembaga itu antara lain adalah Volkswagen Stiftung dan Hans Rausing Endangered Language Project atau disingkat sebagai HRELP. Kedua lembaga ini, menurut Bowden, dinilai paling konsisten dan memiliki dana paling besar untuk proses preservasi bahasa daerah.
"Dokumentasi bahasa daerah sebenarnya sudah banyak, tetapi di Indonesia sendiri masih sangat banyak bahasa daerah yang membutuhkan bantuan dokumentasi dan revitalisasi dari kita semua. Oleh karena itu, LIPI melakukan penelitian mengenai bahasa daerah terutama pada kelompok etnis minoritas di daerah timur Indopnesia. Hasil penelitian ini untuk menjawab perlu atau tidaknya melakukan revitalisasi dan dokumentasi bahasa," kata Endang Turmudi, Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI.
Proses menjadi Indonesia, seperti yang dikatakan oleh Edy Sedyawati, pengamat budaya, tidak bisa dilepaskan dari proses merajut potensi-potensi lokal yang ada di tiap daerah. Bahasa daerah merupakan salah satu jendela menuju proses menjadi Indonesia. Oleh karena itu dibutuhkan adanya revitalisasi bahasa melalui proses dokumentasi, salah satunya bisa melalui teknik ortografi.
Selain dokumentasi, partisipasi masyarakat juga menjadi penting di sini. Mengajarkan bahasa daerah dari orang tua kepada anak merupakan cara bijak, dengan demikian proses regenerasi dan preservasi kearifan lokal tetap berlangsung dalam lingkup skala terkecil.
Pasalnya, jika suatu bangsa kehilangan bahasanya, berarti dia kehilangan identitas bangsanya. Lantas, apalah makna menjadi bangsa jika tidak memiliki identitas di tengah konstelasi dunia yang semakin mengglobal.
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 30 Desember 2012
Bahasa-bahasa daerah di Indonesia perlu didokumentasi dan direvitalisasi agar tidak punah.
"Piye, Mas, wis rampung durung?" tanya seorang Ibu pada anak lelakinya.
"Durung," jawab sang anak lelaki itu sambil menyatukan potongan puzzle dengan santai.
Sang Ibu lantas kaget, anaknya bisa memahami bahasa lokal yang iseng-iseng dia utarakan. Memang dia dan sang suami biasa menggunakan bahasa Jawa Tengah secara aktif di rumah, tetapi dia tak sadar bahwa sang anak lelaki yang masih duduk di kelas empat Sekolah Dasar tersebut memerhatikan percakapan mereka.
Sayangnya, upaya untuk memperkenalkan bahasa daerah dalam keluarga masih sedikit dilakukan. Sehari-harinya, orang tua biasa melakukan percakapan dalam bahasa Indonesia, tanpa sadar bahwa puluhan tahun ke depan, bahasa daerah perlahan akan punah karena tidak dibiasakan diturunkan kepada anak.
Bagi banyak pemerhati budaya, bahasa etnik lokal merupakan salah satu bagian penting dari proses menjadi Indonesia, yang di dalamnya terdapat identitas dan karakter suku bangsa yang memperkaya budaya Indonesia. Di Indonesia terdapat 726 bahasa dan 719 di antaranya merupakan bahasa yang masih dipergunakan oleh penutur asli. Sayangnya, nyaris setengah dari total bahasa tersebut dinilai terancam punah oleh ahli bahasa, karena jumlah penutur yang semakin berkurang setiap tahunnya.
Menurut David Crystal, peneliti bahasa, dalam tulisan berjudul "Language Death" atau "Kematian Bahasa", bahasa daerah sangat penting dilestarikan karena bahasa merupakan jendela ilmu. Dengan memahami bahasa suatu daerah, manusia akan memperluas cakrawala pemikiran mereka. Pasalnya, dalam bahasa daerah terdapat pula norma, etika, dan cara pandang hidup komunitas yang membantu manusia lain untuk lebih baik memahami kehidupan. Semakin sedikit bahasa yang dikuasai seseorang, maka semakin sempit pula pemikirannya.
"Menurut penelitian yang dilakukan oleh UNESCO, setengah dari 6.000 bahasa dunia akan punah pada akhir Abad 21 termasuk di antaranya adalah Indonesia, yang tercatat memiliki jumlah bahasa daerah paling banyak - bersama dengan Papua Nugini. Kondisi di Indonesia, umumnya, komunitas tidak sadar mereka telah kehilangan bahasa daerah mereka karena minim pemakaian," kata Multamia RMT Lauder, pengajar Jurusan Bahasa dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, dalam seminar bertajuk "Kebahasaan dan Kebudayaan Etnik Minoritas: Strategi Pemertahanan dan Dokumentasi" yang diadakan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pertengahan Desember 2012.
Menengarai ancaman tersebut, Multamia mengatakan, perlu segera diadakan revitalisasi bahasa daerah yang ada di Indonesia. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan pendekatan Ortografi atau membuat ejaan dari bahasa daerah yang masih dipakai oleh penutur asli. Pembuatan ejaan bisa dilakukan oleh masyarakat umum dengan menuliskan adat istiadat, cerita, tari, musik, masakan atapun adat perkawinan untuk membantu melakukan proses preservasi atau pelestarian bahasa. Cara ini, menurutnya, efektif dilakukan, terutama untuk melakukan proses pelestarian bahasa. Tak hanya dari segi linguistik semata, tetapi juga berdasarkan pertimbangan lain seperti sejarah, agama, kebudayaan, identitas, dan faktor praktis.
Minder Berbahasa Daerah
Salah satu ahli bahasa yang pernah melakukan preservasi bahasa berdasarkan kebudayaan, tepatnya melalui tari adalah I Wayan Arka. I Wayan Arka meneliti mengenai kebudayaan pada masyarakat daerah Rongga dengan menghidupkan kembali kisah tarian klasik Vera. Dalam Tari Vera tersebut banyak terdapat bahasa daerah Rongga yang perlahan mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya. Etnis Rongga sendiri merupakan sebuah etnis minoritas di bagian timur Kabupaten Manggarai, Flores. Secara administratif, Rongga memiliki tiga desa yakni Tanarata, Komba, dan Bamo.
"Awalnya, Arka membantu para guru membuat buku pelajaran anak-anak Rongga. Namun, para guru menolak, karena Rongga tidak terpilih menjadi muatan lokal dalam kurikulum pendidikan. Kemudian dia memikirkan cara lain, yakni dengan menghidupkan kembali Tari Vera dan membuat masyarakat sadar perlunya melestarikan budaya bangsa," kata Multamia.
Selain bahasa Rongga, bahasa Gamkonora dan bahasa Pagu merupakan dua dari banyak bahasa daerah di Indonesia yang juga terancam punah. Gamkonora merupakan bahasa dan etnik lokal yang berkembang di tengah masyarakat plural dan multilingual (Waioli, Tobaro, Sahu dan Tiana) di wilayah Halmahera Utara. Menurut salah satu peneliti, Ninuk Kleden Probonegoro, persoalan utama yang berkembang di sana adalah, karena berada di tengah lingkungan multilingual, bahasa Gamnokora berpotensi untuk turun statusnya dan menghilang dikalahkan dengan dominasi bahasa lain.
Sementara itu, M Hisyam, salah satu peneliti LIPI untuk bahasa Pagu, mengatakan, jumlah penutur bahasa Pagu semakin mengalami penurunan yang disebabkan oleh baik perubahan sosial ataupun status prestise bahasa (diglosia).
"Di sekolah, anak-anak Pagu juga diajarkan bahasa Indonesia dan tak banyak guru yang memahami bahasa ini. Akibatnya, muncul rasa minder di kalangan anak-anak Pagu untuk bercakap dengan bahasa Ibu karena merasa bahasa Pagu lebih rendah dari bahasa Indonesia," katanya.
Melihat situasi tersebut, dia mengatakan, ada beberapa strategi yang bisa dilakukan untuk merevitalisasi bahasa Pagu. Pertama, memberikan kesadaran kepada masyarakat Pagu bahwa bahasa Pagu merupakan bagian dari masyarakat Pagu yang tidak dapat dipisahkan. Kedua, mengajak masyarakat untuk menggunakan kembali bahasa Pagu.
Dokumentasi dan Revitalisasi
"Saat ini ada sebuah gerakan kebangkitan Masyarakat Adat Pagu yang dipimpin oleh Sangaji Afrida Erna Ngato, yang menyadari kebangkitan masyarakat adat mesti dimulai dari sikap menjunjung tinggi budaya dan bahasanya. Jika mereka mengaku sebagai sebuah masyarakat, mereka harus membuktikan bahwa mereka punya budaya dan bahasa yang menunjukkan jati diri mereka," ujarnya.
Untuk membantu proses preservasi bahasa-bahasa daerah di seluruh dunia, John Bowden, peneliti bahasa di Max Planck Institute mengatakan, ada beberapa lembaga sponsor dunia yang bisa dimintai bantuan. Lembaga itu antara lain adalah Volkswagen Stiftung dan Hans Rausing Endangered Language Project atau disingkat sebagai HRELP. Kedua lembaga ini, menurut Bowden, dinilai paling konsisten dan memiliki dana paling besar untuk proses preservasi bahasa daerah.
"Dokumentasi bahasa daerah sebenarnya sudah banyak, tetapi di Indonesia sendiri masih sangat banyak bahasa daerah yang membutuhkan bantuan dokumentasi dan revitalisasi dari kita semua. Oleh karena itu, LIPI melakukan penelitian mengenai bahasa daerah terutama pada kelompok etnis minoritas di daerah timur Indopnesia. Hasil penelitian ini untuk menjawab perlu atau tidaknya melakukan revitalisasi dan dokumentasi bahasa," kata Endang Turmudi, Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI.
Proses menjadi Indonesia, seperti yang dikatakan oleh Edy Sedyawati, pengamat budaya, tidak bisa dilepaskan dari proses merajut potensi-potensi lokal yang ada di tiap daerah. Bahasa daerah merupakan salah satu jendela menuju proses menjadi Indonesia. Oleh karena itu dibutuhkan adanya revitalisasi bahasa melalui proses dokumentasi, salah satunya bisa melalui teknik ortografi.
Selain dokumentasi, partisipasi masyarakat juga menjadi penting di sini. Mengajarkan bahasa daerah dari orang tua kepada anak merupakan cara bijak, dengan demikian proses regenerasi dan preservasi kearifan lokal tetap berlangsung dalam lingkup skala terkecil.
Pasalnya, jika suatu bangsa kehilangan bahasanya, berarti dia kehilangan identitas bangsanya. Lantas, apalah makna menjadi bangsa jika tidak memiliki identitas di tengah konstelasi dunia yang semakin mengglobal.
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 30 Desember 2012
No comments:
Post a Comment