Jakarta, Kompas - Peristiwa penggunaan tari pendet dalam iklan pariwisata Malaysia semestinya menggugah pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk bergerak melakukan perlindungan dan mengembangkan produk seni dan budaya sebagai salah satu industri kreatif.
Terkait dengan kisruh iklan tari pendet, Keluarga Mahasiswa Hindu Universitas Gadjah Mada bersama Keluarga Putra Bali Purantara Yogyakarta menggelar Aksi Damai Tari Pendet Massal di Monumen Tapak Prestasi Kota Yogyakarta, Minggu (30/8). Aksi ini merupakan bentuk kepedulian mereka untuk menjaga tari pendet sebagai warisan budaya adiluhung bangsa Indonesia. (KOMPAS/WAWAN H PRABOWO)
Demikian benang merah pendapat yang dikemukakan oleh mantan Rektor Institut Kesenian Jakarta Sardono W Kusumo dan Penjabat Rektor Institut Seni Indonesia Surakarta Prof Dr T Slamet Suparno.
Keduanya sependapat, upaya perlindungan seni budaya di antaranya dilakukan melalui pendidikan kepada generasi muda.
Sardono menyoroti bahwa kebudayaan yang berkembang di kawasan Asia sekarang sebenarnya merupakan warisan bersama (shared heritage) sehingga perlu ada pemahaman bersama agar pada masa mendatang tak terjadi rebutan warisan antarbangsa.
Dia mengatakan, ”Indonesia harus segera memilah-milah dengan jelas kapan produk kebudayaan itu masuk ke ranah identitas nasional, kapan merupakan alat pendidikan, dan kapan masuk ranah industri kreatif.”
Menurut dia, kasus tari pendet bagi Malaysia ada di ranah industri, yaitu iklan pariwisata. Padahal, bagi Indonesia itu merupakan salah satu identitas kebudayaan (cultural identity).
Sementara Slamet menegaskan perlunya produk seni budaya ditanamkan kepada generasi muda saat ini dan mendatang lewat jalur pendidikan formal maupun nonformal.
”Kalau menuntut murid jadi tahu tentang budaya, gurunya harus mempelajari seni budaya. Tanpa begitu, bagaimana kita mewariskan budaya kepada generasi berikutnya,” paparnya.
Inkubator
Menurut Sardono, Indonesia sudah mendirikan model inkubator inovasi buat industri kreatif dengan sistem yang lengkap.
”Sudah ada Akademi Jakarta, sebuah kumpulan pujangga, semacam dewan para empu,” ujarnya. Anggota Akademi Jakarta adalah pemikir dan budayawan. ”Ketuanya pun bukan seniman, yaitu Taufik Abdullah, dengan anggota-anggota Rosihan Anwar, Syafei Ma’arif, Goenawan Mohamad,” lanjutnya. Sistem itu didirikan mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.
”Di bawahnya ada Dewan Kesenian Jakarta sebagai forum praktisi seni kreatif dan Taman Ismail Marzuki sebagai pengelola infrastruktur untuk orang pentas, lalu dilengkapi dengan pendidikan seni, yaitu Institut Kesenian Jakarta. Ini sebuah model yang bagus,” katanya.
Slamet menegaskan, salah satu upaya manjur adalah dengan menembus jaringan teknologi informasi. ”Teman-teman yang memiliki kompetensi dan latar belakang sejarah kuat harus menulis artikel tentang seni budaya Indonesia. Upload di situs jaringan dan publikasikan lewat internet sehingga dunia internasional tahu,” ujarnya.
Jika artikel itu didukung dengan data sejarah, penelitian, sumber, dan referensi jelas, Slamet yakin, negara lain tidak akan seenaknya mengklaim itu sebagai karya mereka. (ISW/SON)
Sumber: Kompas, Senin, 31 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment