Jakarta, Kompas - Dalam mengelola perbatasan, pemerintah hendaknya tidak hanya mengedepankan pendekatan berbasiskan keamanan. Pemerintah seharusnya mengutamakan pula pendekatan sosial, budaya, dan ekonomi. Selain akan menunjukkan wajah asli Indonesia, pendekatan itu lebih efektif untuk membangun kesejahteraan rakyat di perbatasan karena berdampak pula pada penguatan pertahanan nasional.
”Penguatan itu, antara lain, berupa penyelenggaraan pendidikan yang lebih bermutu dan kemudahan mengakses pelayanan kesehatan,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih, Papua, Bambang Sugiono, kepada Kompas di Jakarta, Sabtu (22/8).
Bambang dimintai tanggapan terkait menipisnya nasionalisme warga di perbatasan Indonesia dengan negara lain. Kondisi ini terjadi karena minimnya kehadiran negara di daerah perbatasan itu (Kompas, 10-22/8).
Namun, kata Bambang, fasilitas pendidikan dan kesehatan di daerah perbatasan tak memadai. Perhatian pemerintah di wilayah itu kurang. Sebaliknya, pemerintah bereaksi berlebihan saat terjadi gejolak di perbatasan.
Jika terjadi sesuatu, misalnya warga terpaksa menyeberang ke negara lain, mereka dicap tidak cinta Indonesia. Padahal, selama ini pemerintah mungkin kurang bisa meyakinkan bahwa menjadi warga Indonesia lebih terjamin hak dan kesejahteraannya.
Bambang mengakui, sebenarnya wacana peningkatan kesejahteraan warga di daerah perbatasan kerap dibahas dalam seminar-seminar. Namun, semua itu berakhir dalam wacana saja. Hadirnya Undang-Undang tentang Wilayah Batas Negara ternyata tak dimanfaatkan menjadi momentum mengembangkan perbatasan. Pemerintah terjebak pada paradigma lama, yaitu tetap menggunakan pendekatan simbolik dengan membangun fasilitas fisik dan pos pengamanan.
Lebih dari itu, penguatan basis dan warga di perbatasan kurang diupayakan. Program sektoral, lanjut Bambang, hanya berhenti di wilayah perkotaan. Akibatnya, kondisi perbatasan kian terpuruk.
Secara terpisah, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ikrar Nusa Bhakti, mengingatkan tak sedikit penelitian dan kunjungan sebagai bagian untuk mengatasi persoalan di perbatasan. Bahkan, sudah ada UU No 43/2008 tentang Wilayah Negara yang bisa dipakai sebagai acuan untuk memperbaiki keadaan di perbatasan. Namun, kondisi di perbatasan memang tak beranjak menjadi lebih baik secara signifikan.
”Bemper” pertahanan
”Selama ini masalah perbatasan cuma dipandang dari sisi keamanan sehingga tak aneh yang didirikan terlebih dahulu adalah pos polisi atau TNI. Padahal, masalah di sana tak cuma keamanan dan pertahanan,” ujar Ikrar.
Akibat ketidakjelasan paradigma dan kebijakan pemerintah, sering kali persoalan yang muncul di perbatasan pun coba dituntaskan dengan menggunakan pendekatan keamanan dan pertahanan. Misalnya, warga perbatasan hanya dicekoki soal dasar negara, doktrin pertahanan, dan isu keamanan lain. Nasib dan kesejahteraan mereka terlupakan. Padahal, mereka seharusnya dibuat nyaman dan bangga menjadi orang Indonesia.
”Seharusnya masalah kurangnya teknokrat atau tenaga ahli di daerah perbatasan tak perlu ada jika saja pemerintah memang punya konsep pembangunan perbatasan yang jelas, mulai dari pendidikan, kesehatan, perekonomian, dan lainnya,” ujar Ikrar.
Dengan memberikan jaminan kesejahteraan, pendidikan, pekerjaan, dan pengembangan ekonomi, kebanggaan sebagai warga negara Indonesia akan semakin tinggi. Secara tidak langsung persoalan perbatasan semacam keamanan juga bisa teratasi.
Terkait keberadaan Badan Pengelola Kawasan Perbatasan, baik di pusat maupun daerah, diharapkan bisa membuat perubahan dan perbaikan signifikan. Ikrar berharap keberadaan badan baru itu tidak malah terjebak persoalan birokrasi dan ego sektoral yang sekarang masih terjadi.
”Jadi, mulai sekarang dipikirkan apa yang akan kita bangun untuk memperbaiki kondisi perbatasan. Tidak perlu muluk-muluk. Jika masyarakat di sana hidup dari nelayan, bangun misalnya pabrik pengolahan ikan. Jangan sampai yang seperti itu tak bisa dilakukan hanya karena di daerah tersebut listrik belum masuk,” ujar Ikrar.
Sosiolog dari Universitas Airlangga, Surabaya, Bagong Suyanto, pun mengakui wilayah perbatasan selama ini hanya dijadikan sebagai bemper pertahanan Indonesia. Akibat kebijakan pemerintah yang melulu mengedepankan pertahanan, masyarakat di wilayah perbatasan tidak merasakan sungguh-sungguh kehadiran negara.
”Untuk daerah perbatasan, penanganan yang dilakukan adalah sentralisasi. Kian jauh daerah itu dari pusat, cenderung ditelantarkan. Masyarakat di wilayah perbatasan makin sedikit menikmati kue pembangunan. Separatisme yang terjadi selama ini bukan hanya didorong oleh idealisme, tetapi dipengaruhi faktor struktural ekonomi pula. Mereka merasa diperlakukan tidak adil, dianaktirikan,” kata Bagong.
Ia melanjutkan, masyarakat di perbatasan tak hanya merasakan negara tidak hadir di sana, tetapi juga merasa resisten terhadap kebijakan negara. Problem wilayah perbatasan tidak bisa hanya dilakukan dengan langkah insidentil dan reaktif.
”Keinginan masyarakat di perbatasan adalah negara betul-betul hadir dan menjadi pengayom bagi kehidupan mereka di sana. Keluhan dianggap sebagai anak tiri seharusnya disikapi dengan bijaksana dengan mengubah model pembangunan yang selama ini terpusat,” kata Bagong.
Direktur Jenderal Pembinaan Pengembangan Masyarakat Kawasan Transmigrasi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Joko Sidik Pramono menambahkan, wilayah perbatasan bisa dijaga oleh transmigran. Permukiman transmigran yang dibangun bukan sekadar untuk memindahkan penduduk, tetapi juga harus mampu mendorong penduduk itu mandiri dan memiliki penghasilan yang layak.
Namun, pemerintah juga harus melengkapi infrastrukturnya, seperti jalan, pasar, serta fasilitas pendidikan dan kesehatan. (jos/sie/mam/dwa/vin)
Sumber: Kompas, Senin, 24 Agustus 2009
1 comment:
Your report is very interesting indeed.
I invite You to see a great collection of views of borders (riigipiirid) in my Italian-Estonian site http://www.pillandia.blogspot.com
Best wishes from Italy!
Post a Comment