BAGAIMANA ceritanya hingga Taufik Abdullah menjadi sejarawan terkemuka di Tanah Air? Cerita itu mengalir begitu saja.
Setamat SMA di Bukittinggi, Sumatera Barat, tahun 1954, Taufik Abdullah dikirim ayahnya belajar ke Yogyakarta, pusat intelektualisme Indonesia kala itu. Bersama sejumlah teman dari sana, dia naik kapal menyeberangi Selat Sunda menuju Pulau Jawa. Di atas kapal, mereka berdiskusi.
”Teman-teman pilih berbagai jurusan lain, lalu saya pilih apa? Saya ambil saja sejarah. Bagaikan satu orkestra, sejarawan itu seperti pemain piano,” kenangnya.
Masuk Jurusan Sejarah di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Taufik mempelajari banyak ilmu, termasuk ilmu bahasa, filsafat, sastra, seni, dan psikologi. Meski awalnya dongkol karena semua ilmu itu hanya pelengkap yang tak diujikan, tetapi akhirnya semua itu justru dirasa memperkaya perspektif sejarah.
Gelar sarjana diambil dengan fokus sejarah Barat. Kebetulan, dia diangkat jadi asisten dosen dengan pengajar dari Amerika, India, dan Inggris. Skripsinya, tentang Gerakan Nasional di Eropa Barat setelah Revolusi Perancis, menjadi satu-satunya skripsi berbahasa Inggris di jurusan sejarah.
Tahun 1962, dia diterima sebagai peneliti di Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI) di Jakarta—sekarang bernama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Tahun 1964, dia dikirim untuk studi master Ilmu Sejarah di Cornell University, Ithaca, Amerika Serikat (AS). Dari universitas itu pula, tahun 1970, dia menggondol gelar doktor dengan disertasi School and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933).
Karier Taufik di LIPI sempat tersendat saat jabatannya dicabut pemerintah Orde Baru tahun 1978. Masalahnya, bersama sejumlah intelektual dan budayawan saat itu, seperti Adnan Buyung Nasution dan Rendra, Taufik menandatangani pernyataan menolak pendudukan kampus dan pemberangusan pers oleh pemerintah. Namanya baru direhabilitasi tahun 1986. ”Tak ada dendam di hati saya,” katanya.
Taufik kemudian dipercaya sebagai ketua LIPI tahun 2000 sampai pensiun tahun 2002. Kini, lelaki ini masih diberi ruangan di lembaga itu. Dia rajin ngantor, tetap tekun membaca, meneliti, berdiskusi, dan menulis. Ada sekitar delapan buku karangan sendiri, sejumlah buku hasil pengeditan, banyak artikel, dan puluhan kata pengantar.
”Jabatan baru saya: PPW atau professional preface writer. Kalau ada perlombaan, mungkin saya ini orang yang terbanyak bikin pengantar,” kata dia berkelakar.
Buku terbarunya, Indonesia: Toward Democracy, baru saja diterbitkan ISEAS Singapura. Buku setebal 600 halaman lebih dalam bahasa Inggris itu mengungkapkan sejarah Indonesia sejak dulu hingga masa Reformasi. Dia juga tengah mempersiapkan buku lain tentang sejarah pemikiran Islam di Indonesia.
”Saya ingin menerbitkan tulisan-tulisan lain yang masih berserakan, baik dalam bahasa Inggris atau Indonesia,” kata Taufik bersemangat. (iam/nmp)
Sumber: Kompas, Minggu, 16 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment