-- M Syaifullah
KAPAL Mid East Express baru saja tiba di Pelabuhan Tunon Taka, Nunukan, Kalimantan Timur, Kamis (30/7) pukul 18.00.
Kapal itu mengangkut 110 tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal yang baru dideportasi dari Tawau, Malaysia.
Saat diminta keluar satu per satu dari kapal, tidak ada kegembiraan di wajah para TKI ilegal tersebut. Yang ada hanyalah wajah-wajah kelelahan.
Hal ini bisa dipahami karena mereka berbulan-bulan mendekam di penjara-penjara di wilayah Sabah sebelum dideportasi. Para TKI itu kemudian dibawa ke ruang tunggu di pelabuhan. Kesibukan yang menonjol justru terlihat dari sejumlah petugas perusahaan pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI).
Mereka mendata sebanyak-banyaknya TKI ilegal tersebut. Para petugas PJTKI itu menjadi penjamin untuk mereka yang terdata selama di Nunukan.
Sebagian lagi diserahkan kepada puluhan orang yang menunggu di balik dinding kaca ruang pelabuhan tersebut. Kepada petugas, mereka mengaku sebagai keluarga dari beberapa TKI tersebut.
Hanya dalam hitungan satu jam, para TKI itu sudah ”ludes” dari pelabuhan tersebut.
Oleh orang-orang yang menjadi penjamin tadi, mereka dibawa ke rumah-rumah yang menjadi tempat penampungan. Dari proses inilah sebagian besar mereka kembali terlibat dalam ”daur ulang” untuk bisa masuk lagi ke Sabah menjadi TKI lagi.
Dalam enam bulan terakhir, Kantor Imigrasi Kelas II Nunukan mencatat sedikitnya 2.000 orang dipulangkan dari Sabah.
Setiap minggu ada dua kali pemulangan TKI ilegal yang merapat di Pelabuhan Tunon Taka. Mereka inilah yang menjadi incaran para petugas PJTKI ataupun calo TKI untuk bisa dipekerjakan kembali.
Lain PJTKI lain pula yang dilakukan para calo TKI. Adapun yang diincar adalah mereka yang tidak mendapat jaminan dari PJTKI di Nunukan.
Oleh calo, mereka dikirim kembali ke Sabah melalui jalur-jalur tikus dengan perahu jongkong, yakni perahu bermesin. Di sana sudah ditunggu para mandor kebun, yang juga kebanyakan warga Indonesia.
Yang menempuh cara ini, kata Syafaruddin, Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Nunukan, biasanya tidak mau berlama-lama di Nunukan karena tidak memiliki uang cukup.
”Saya sudah sebulan di sini. Pembuatan dokumen belum juga selesai. Saya tetap memilih kembali bekerja di Sabah, Malaysia, dan tidak mau pulang kampung di Sulawesi,” kata Muslim (25), yang enam tahun terakhir bekerja di perkebunan kelapa sawit Hap Seng di Sabah.
Kepala Kantor Imigrasi Kelas II Nunukan Malfa Aldi mengatakan, pihaknya tidak bisa melarang mereka yang mau kembali bekerja di Sabah. Sepanjang mereka punya identitas kependudukan, yakni warga negara Indonesia, petugas imigrasi tetap akan melayani mereka dalam pembuatan paspor.
Pengurusan dokumen, kata Haris, rekan Muslim, juga makan dan penginapan ditanggung oleh pihak PJTKI.
Untuk mengurus dokumen satu orang TKI, jelas Maman, petugas PJTKI yang ditemui di salah satu rumah penampungan TKI di Jalan Pesantren, Nunukan, biayanya Rp 700.000-Rp 1 juta. Semua biaya selama di Nunukan tadi dianggap sebagai utang. Begitu bekerja lagi, mereka dipungut sedikitnya 360 ringgit, yang dibayar secara mencicil per bulan.
Di Sabah, para TKI hampir 90 persen bekerja di perkebunan kelapa sawit. Gajinya 11-15 ringgit atau Rp 33.000-Rp 45.000 per hari.
Nilai upah inilah yang menjadi magnet para TKI untuk datang ke sana. Apalagi, pekerjaan ini tidak butuh banyak keahlian. Mereka cuma membersihkan kebun, memetik, dan mengangkut sawit.
Namun, pengurusan dokumen TKI di Nunukan sekarang melesu. Hal itu terjadi karena para TKI yang habis masa berlaku dokumen keimigrasiannya sejak ada program pemutihan dokumen keimigrasian di Sabah mulai Agustus 2008 tidak banyak lagi yang pulang ke Nunukan untuk mengurusnya.
Karena kondisi inilah para TKI ilegal yang dideportasi menjadi incaran PJTKI. Mereka dipekerjakan kembali di Sabah. Cara ini lebih menguntungkan dibandingkan dengan harus mengongkosi pengiriman para calon TKI yang didatangkan seperti dari Nusa Tenggara, Jawa, dan Sulawesi.
Sebelum Agustus 2008, ungkap Kepala Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Nunukan M Syafri, per bulan PJTKI mengirim sekitar 3.000 TKI ke Sabah.
”Sekarang, pengiriman ke sana hanya puluhan orang per bulan. Itu pun dari 15 PJTKI yang aktif,” katanya.
Meski sudah bisa mengurus dokumen keimigrasian di Sabah, kata Syafri, penanganan TKI ilegal di sana belum juga selesai. Sampai Maret 2009 baru 10 persen selesai dari sekitar 217.000 TKI ilegal yang mengikuti program pemutihan dokumen.
Selebihnya terpaksa kucing-kucingan dengan aparat setempat untuk bisa bertahan. Jika tertangkap, mereka dideportasi. Ironisnya, begitu tiba di Nunukan, mereka tidak bisa pulang kampung karena ketiadaan uang yang cukup dan pemerintah sendiri tidak menyediakan dana untuk mereka kembali ke kampungnya masing-masing.
Tidak heran kegiatan ”daur ulang” TKI ilegal di Nunukan masih subur.
Sumber: Kompas, Jumat, 14 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment