Wednesday, August 26, 2009

Tari Pendet dan Fenomena Kecolongan Budaya

-- Juma Darmapoetra*

ENTAH apa yang akan terjadi kalau satu per satu khazanah seni dan budaya Indonesia "diangkut" ke negeri orang. Relakah kita, seandainya hasil kreativitas kita diakui dan diklaim orang lain yang tidak mengetahui hal-ihwal hasil kreativitas tersebut?

Geger klaim seni dan budaya kembali mengguncang Indonesia. Beberapa hari yang lalu, Malaysia kembali berulah dengan meletakkan Tari Pendet Bali pada iklan Visit to Malaysia. Fenomena pencurian kesenian dan kebudayaan oleh Malaysia, tentu bukanlah yang pertama atau yang terakhir. Sebelumnya, Malaysia telah mengklaim tari reog Ponorogo dengan sebutan tari barongan, lagu Rasa Sayange dari Ambon dijadikan jingle pariwisata Malaysia, angklung, keris, batik, dan lagu Es Lilin asli Sunda.

Tari Pendet dalam iklan pariwisata Malaysia telah mengundang geger dan aksi protes dari dalam negeri. Misalnya, di Denpasar puluhan seniman Bali melancarkan aksi protes kepada Ida Ayu Agung Mas, anggota DPRD di Taman Budaya Bali, Sabtu (22/8). Aksi protes para seniman menuntut agar pemerintah mempertahankan kesenian tradisional asli Indonesia, baik dengan mendata maupun pendaftaran ulang. Dengan demikian, negara lain tidak akan mudah mengklaimnya.

Klaim Tari Pendet dalam iklan komersial pariwisata Malaysia sebenarnya telah terjadi sejak 2007. Ini dilakukan oleh dua alumnus ISI Denpasar, yang bernama Lusia dan Wiwik, yang pengambilan gambarnya dilakukan oleh Bali Record (Republika, 23/8/2009)

Tari pendet merupakan bagian spiritualitas masyarakat Bali sejak ratusan tahun yang lalu. Tari pendet awalnya dipertunjukkan pada ritual keagamaan di sebuah pura untuk menyambut turunnya dewi kahyangan ke bumi. Namun, seiring perkembangan, tari pendet sering digunakan seniman sebagai "ucapan selamat datang", yang masih kental dengan anasir religius dan nilai sakral. Bunga disebarkan di hadapan para tamu sebagai ungkapan selamat datang.

Tari pendet merupakan ekspresi persembahan dalam bentuk upacara tarian. Tarian ini bisa dilakukan oleh siapa saja. Tarian ini, yang sering dibawakan penari putri, memiliki pola gerak lebih dinamis dari tari rejang yang dibawakan secara berkelompok. Tari pendet biasanya ditampilkan setelah tari rejang di halaman pura, dengan menghadap ke arah suci (pelinggih). Dengan pakaian adat Bali, diiringi musik gamelan, para penari bergerak gemulai mengiringi musik gamelan. Mereka menari seraya membawa mangkuk perak (bokor) berisi canang sari, bunga, dan kwangen. Ada pula yang membawa tempat air suci (sangkhu), kendi, dan perapian (pasepan). Pada akhir tarian, para penari meletakkan sajian, canang sari, dan kwangen sambil menaburkan bunga tanda penghormatan.

Tari pendet merupakan simbol keagungan dan budaya adiluhung bangsa, terutama Bali. Karena tarian ini menjadi identitas dan simbol tradisi budaya Hindu Bali, maka ketika ada klaim terhadap tari pendet, ini akan mengakibatkan hilangnya salah satu anasir tradisi Hindu Bali, yaitu sebuah eksistensi penghormatan terhadap dewa-dewi kahyangan yang turun ke bumi.

Berakar Kuat

Tari pendet merupakan kesenian tradisional asli Bali yang telah berakar kuat dalam khazanah budaya Bali. Menurut Wayan Dibia MA, Guru Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, tari pendet merupakan salah satu tarian yang paling tua di antara tarian-tarian sejenis di Bali.

Berdasarkan catatan para ahli seni pertunjukan Bali, tari pendet lahir pada 1950. Penggagasnya adalah dua seniman kelahiran Desa Sumertha, Denpasar, yakni I Wayan Rindi dan Ni Ketut Reneng. Kedua seniman ini menciptakan tari pendet penyambutan dengan empat penari, untuk disajikan sebagai bagian dari pertunjukan turistik di sejumlah hotel di Denpasar. Lalu, pada 1980, I Wayan Baretha mengolah kembali tarian pendet dengan pola seperti sekarang, termasuk menambah penarinya menjadi lima orang. Setahun kemudian, I Wayan Baretha dan kawan-kawannya menciptakan tari pendet massal berjumlah penari sekitar 800 orang, untuk ditampilkan pada upacara pembukaan Asian Games di Jakarta.

Melihat kasus pengklaiman khazanah seni dan budaya Indonesia ini, sudah sewajarnya kalau pemerintah lebih memperhatikan sektor seni dan budaya bangsa. Berikan ruang ekspresi lebih luas pada seni dan budaya tradisional. Dalam konteks ini, pemerintah harus lebih protektif terhadap warisan budaya nenek moyang, baik dengan cara mendata maupun mendaftar ulang, lalu diberikan payung hukum tentang warisan budaya sebagai hak kekayaan intelektual (HAKI).

Ketegasan terhadap Malaysia harus ditegakkan demi eksistensi sebuah bangsa. karena siapa lagi yang akan bertindak kalau bukan pemerintah dan pihak terkait. Kalau kasus serupa dibiarkan berlanjut dan tanpa ada sikap ketegasan dari pemerintah, maka benar perkataan Taufik Ismail, "malu aku jadi orang Indonesia". Negara yang (katanya) menjunjung tinggi warisan seni dan budaya nenek moyang, tetapi membiarkannya "diangkut" dan diklaim negari lain. Ironis bukan? Lalu harus berapa banyak lagi kasus kecolongan budaya menimpa Indonesia untuk membangunkan pemerintah?

* Juma Darmapoetra, pemerhati budaya, tinggal di Yogyakarta

Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 26 Agustus 2009

1 comment:

Daniel DPK said...

memang sudah seharusnya kita akhiri kontroversi klaim tari pendet karena pihak yang paling bertanggung jawab telah meminta maaf secara resmi kpd pemerintah indonesia....

dan tanpa mengurangi rasa nasionalisme, kasus ini menjadi sebuah pengalaman berharga bagi bangsa indonesia sekaligus sebagai proses pembelajaran agar kita lebih dewasa dan bersikap logis bukan hanya mengedepankan emosi belaka...

toh bangsa indonesia mendapatkan manfaat dari kasus ini...

Discovery Channel Menebus Kesalahan terhadap bangsa Indonesia : Program 30 Menit Tari Pendet