Jakarta - Hingga sekarang, karyanya menginspirasi pembaca. Mochtar Lubis, pria kelahiran 7 Maret 1922 ini membuat karya yang luar biasa. Dilatarbelakangi kepedulian sosial, pengarang ini menampilkan gaya bahasanya yang lugas.
Senja di Jakarta, salah satu karyanya, menjadi pembahasan di Yayasan Obor Jakarta, pada hari Rabu (12/8), oleh Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan Ignastius Haryanto dan pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Maman S Mahayana.
Menurut Ignastius, buku ini menarik karena mengambil latar belakang menjelang 10 tahun proklamasi atau menjelang pemilu pertama di Indonesia tahun 1955. Cerita dibangun dengan mengontraskan dua dunia, dunia atas dan dunia bawah. Para elite politik sibuk dengan rencana busuk untuk korupsi sedangkan dunia bawah sibuk mengais-ngais makanan dan nasi.
Penerbitan kembali karya Mochtar Lubis ini menjadi sangat penting untuk dibaca sebagai satu referensi. Apa yang sesungguhnya lebih maju dari Indonesia yang baru 10 tahun merdeka—sebagaimana ditulis di Senja di Jakarta—dengan Indonesia yang kini berusia 64 tahun dan 10 tahun setelah reformasi?
Maman S Mahayana mengutarakan bahwa dari sisi sastra, buku ini dianggap sebagai satu bentuk fiksi yang menarik. Menurutnya, sangat mungkin keadaan bahkan tokoh-tokoh di dalamnya adalah tokoh faktual.
Novel ini juga memperlihatkan pendekatan sosiologis yang di dalam kritik sastra sebenarnya dimungkinkan karena kesusastraan selalu berurusan dengan dunia manusia, juga dunia simbolik yang mengacu pada kehidupan manusia.
Nuansa sosialnya sangat terasa. Pada buku ini, Mochtar memperlihatkan adanya dua strata yang jelas. Yakni kalangan atas dan kalangan bawah, dalam buku ini disebut dunia elite dan dunia masyarakat kebanyakan atau “masyarakat marginal yang hidup serba-kekurangan”.
Di antara novelnya seperti Harimau, Harimau!, Jalan Tak Ada Ujung, Berkelana Dalam Rimba, ternyata Senja di Jakarta justru lebih terkenal di dunia sastra internasional. Sebelumnya, Senja di Jakarta pernah diterbitkan ke dalam bahasa Inggris di tahun 1963 berjudul Twilight in Jakarta. Untuk penerbitan dalam edisi bahasa Indonesia, sudah dilakukan sejak 1970 untuk edisi pertama, dan Yayasan Obor kembali menerbitkannya di tahun 2009.
Cara Pandang Wartawan
Mochtar Lubis mengangkat peristiwa-peristiwa layaknya seorang wartawan dalam novel Senja di Jakarta. Pusat perhatiannya tak tertuju pada satu tokoh saja. Peristiwa selama sembilan bulan (Mei 1956-Januari 1957) yang menyangkut jatuhnya kabinet, sepak terjang partai, berita di media massa dan berbagai peristiwa menyangkut masalah sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan juga menjadi fokusnya.
Terlepas dari tipisnya jarak fakta dan fiksi, secara keseluruhan, peristiwa di novel Senja di Jakarta, merupakan reprensentasi dari semangat zaman, termasuk karut marut persoalan politik dan kepincangan sosial ketika novel tersebut ditulis.
Sosok Mochtar Lubis bisa dibilang memiliki karakter kuat berdiri di dua sisi, namun tetap tak terpengaruh. Korannya, Indonesia Raya, dua kali ditutup di zaman pemerintahan Soekarno dan di masa pemerintahan Soeharto. Pada masa Soekarno, Mochtar Lubis meringkuk di tahanan. Pada saat itu pula, ia mendapat penghargaan Ramon Magsaysay dari Filipina. Penghargaan itu baru dapat diambil delapan tahun kemudian, setelah dia bebas dari tahanan.
Ia sering mendapat penghargaan dari tulisannya, termasuk Pena Emas dari World Paper, yang merupakan wadah pemimpin redaksi sedunia. Baginya, kerja wartawan adalah mencatat dan menuliskan kejadian yang faktual secara objektif. Pandangan pribadi dan praduga sang wartawan tidak boleh masuk di dalam tulisan itu. Itu sebabnya beberapa karya fiksi Mochtar tidak sepenuhnya merupakan imajinasi, tetapi juga mengandung episode kehidupan nyata yang pernah dia alami. (cr-8)
Sumber: Sinar Harapan, Jumat, 14 Agustus 2009 15:50
No comments:
Post a Comment