-- Sahlul Fuad*
• Judul Buku: Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju • Penulis: Abdul Ghoffar • Penerbit: KencanaPrenada Media Group • Cetakan: I, 2009 • Tebal: xxvi + 473 halaman
Saat merumuskan UUD 1945, mungkin para pendiri bangsa ini tidak sempat membayangkan kelak ada seorang presiden Indonesia yang benar-benar ingin memuaskan hasrat kekuasaannya hingga merugikan rakyat.
Apalagi jika menengok perdebatan masa lampau saat merumuskan konstitusi, tampaknya mereka lebih fokus memilih antara bentuk pemerintahan kerajaan atau republik. Dengan demikian, wajar jika konsepsi kekuasaan yang diberikan kepada presiden dalam UUD 1945 adalah kewenangan yang sangat besar, sebagaimana kekuasaan raja dalam bentuk kerajaan tradisional.
Kesederhanaan konsepsi kekuasaan di atas menjadi lubang besar bagi para presiden yang menjabat dalam sistem ini. Ada tiga presiden yang diturunkan secara paksa karena keleluasaan kekuasaan sistem. Atas dasar pemikiran inilah, sistem kekuasaan presiden dipangkas habis-habisan dalam proses amandemen UUD 1945 pada tahun 1999 hingga 2002. Menjadi pertanyaan kini, sekecil apa kekuasaan presiden Indonesia pasca-amandemen? Bagaimana pula jika dibandingkan dengan negara-negara yang diindentikkan sebagai negara maju? Kedua pertanyaan inilah yang ingin dijawab Abdul Ghoffar dalam buku ini.
Alinea keempat pembukaan UUD 1945 menyebutkan, tujuan didirikannya negara Republik Indonesia di antaranya ”melindungi segenap warga negara Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”. Guna memenuhi tujuan ini, diperlukan pemimpin yang mempunyai kekuasaan dan keinginan mewujudkan semua itu.
Nyatanya, saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia baru menembus angka enam persen, besaran yang belum bisa memenuhi syarat menyejahterakan rakyat secara merata. Tingkat kemiskinan dan pengangguran masih tinggi. Pembangunan antar-daerah pun masih timpang. Wajar jika kandidat pasangan presiden dan wakil presiden yang bersaing saat pemilu lalu ditantang untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya, mereka berlomba menunjukkan estimasi angka pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu indikator keberhasilan kelak.
Terlepas dari realistik atau tidaknya estimasi masing-masing calon pemimpin negeri, yang jelas mereka dituntut menyejahterakan rakyat Indonesia dengan segala potensi kekuasaan yang diberikan. Tentu saja, langkah yang digunakan presiden nanti tetap tidak bisa keluar dari batas kekuasaan yang diberikan konstitusi.
Peran kepala negara
Kegelisahan buku yang berawal dari tesis magister Hukum Tata Negara Universitas Indonesia ini adalah mencoba mengurai apakah negara yang maju perekonomiannya dikarenakan dipimpin kepala negara atau pemerintah dengan kekuasaan luas atau terbatas? Dari negara-negara kawasan lima benua yang memiliki produk domestik bruto (PDB) tertinggi, Ghoffar menetapkan delapan negara, yakni Amerika Serikat, Rusia, Jerman, Afrika Selatan, Kuwait, Jepang, RRC, dan Australia sebagai perbandingan.
Terdapat empat alasan yang mendasari penetapan delapan negara itu, yaitu perbedaan luas wilayah, perbedaan kemakmuran yang tajam, faktor kedekatan geografis dengan Indonesia, serta untuk meliput macam-macam sistem pemerintahan, bentuk pemerintahan dan bentuk negara yang ada di dunia sehingga diperoleh wawasan lebih luas.
Selanjutnya, Ghoffar mendeteksi kemampuan ekonomi masing-masing negara diikuti kajian kajian konstitusi masing-masing. Ghoffar menunjukkan sistem kekuasaan para kepala negara di tiap negara. Begitu pun, secara khusus, masing-masing sistem kekuasaan kedelapan negara disandingkan dengan sistem kekuasaan presiden di Indonesia.
Materi pokok perbandingan —perbedaan dan persamaan— yang disandingkan adalah sepuluh pokok kekuasaan presiden RI sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Kesepuluh pokok kekuasaan itu adalah kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan, bidang peraturan perundang-undangan, bidang yudisial, dalam hubungan luar negeri, menyatakan keadaan bahaya, sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata, memberi gelar dan tanda kehormatan lainnya, membentuk dewan pertimbangan presiden, mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri, serta mengangkat, menetapkan atau meresmikan pejabat negara tertentu lainnya.
Masih terbesar
Hasil perbandingan menunjukkan, kekuasaan presiden RI masih sangat besar dibandingkan dengan delapan negara lain. Berdasarkan pengalaman delapan negara tersebut ditunjukkan, negara yang memberi kekuasaan lebih besar kepada pemimpinnya cenderung tidak mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kasus Jerman pada masa Nazi dan China pada masa jabatan ketua Partai Komunis China (PKC), misalnya. Ketika kekuasaan pemimpin sangat besar, pertumbuhan ekonomi sangat kecil. Saat kepala negara memegang kekuasaan sangat besar, meminjam pendapat Lord Acton, para penguasa cenderung menyelewengkan kekuasaan (power tend to corrupt, but absolute power corrupt absolutely). Begitu batas-batas kekuasaan dikurangi dengan cara menerapkan checks and balances antar-lembaga negara secara ketat, perekonomian maju pesat.
Dari perbandingan tersebut, dapat diketahui bahwa sistem kekuasaan di negara-negara maju banyak dikontrol lembaga negara, seperti senat atau parlemen. Bahkan, banyak kewenangan kekuasaan yang dimiliki presiden RI yang ternyata tidak dimiliki delapan negara maju tersebut, seperti kekuasaan menyatakan negara dalam keadaan bahaya.
Mungkinkah akibat banyaknya pokok kekuasaan yang dimiliki presiden Indonesia mengakibatkan borosnya anggaran? Apakah beban berat kekuasaan yang diemban membuat kepala negara tak sempat mendorong kemajuan ekonomi? Ataukah faktor kemauan presiden memajukan ekonomi rakyat Indonesia memang lemah?
Sayangnya, beragam pertanyaan tersebut tidak terjawab dari buku ini. Singkatnya, setelah dipersandingkan dengan kedelapan negara maju, memang terdapat perbedaan, yaitu masih tergolong besarnya kekuasaan presiden di negeri ini. Sayangnya, kurang dapat ditelusuri argumentasi yang memetakan hubungan kausalitas antara kekuasaan yang besar dengan kemajuan ekonomi.
Sebagai kajian hukum tata negara, buku ini sudah menunjukkan secara akademis bahwa anggapan yang mengatakan pemerintah tidak stabil karena kekuasaan presiden sangat kecil adalah tidak benar.
Asumsi kecilnya kekuasaan mungkin muncul karena presiden tidak menggunakan hak-hak konstitusionalnya secara maksimal. Misalnya, presiden tidak menggunakan separuh haknya dalam pembuatan UU.
Untuk itu, menurut Ghoffar, dalam waktu dekat tidak perlu dilakukan penambahan atau pengurangan lagi kekuasaan presiden. Yang perlu diperbaiki adalah peraturan perundang-undangan lini kedua, terutama undang-undang yang mengatur hubungan antarlembaga negara.
* Sahlul Fuad, Peneliti pada Institute for Republic
Sumber: Kompas, Minggu, 23 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment