-- P. Ari Subagyo
APAKAH tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Soviet Rusia merdeka telah dapat membaca dan menulis? Tidak, tuan-tuan yang terhormat! Di seberang ’jembatan emas’ yang diadakan oleh Lenin itulah Lenin baru mengadakan radio-station, baru mengadakan sekolah, baru mengadakan Creche, baru mengadakan Djnepprostoff!” (Soekarno di depan sidang BPUPKI, 1 Juni 1945).
Dalam pidato yang menandai lahirnya Pancasila itu, Soekarno menyebut politieke onafhankelijkheid (kemerdekaan politik) sebagai ”jembatan emas”. Artinya, kemerdekaan bukan akhir perjuangan, tetapi sekadar sarana.
Soekarno menjelaskan, ”Di dalam Indonesia merdeka, kita melatih pemuda kita agar menjadi kuat. Di dalam Indonesia merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik- baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan ’jembatan’. Di seberang ’jembatan emas’ inilah kita baru leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal, dan abadi.”
Ludwig Wittgenstein (1889-1951) yang satu dekade lebih tua dari Soekarno (1901-1970) mungkin tidak pernah mendengar pidato sang proklamator itu. Jika mendengar, Wittgenstein pasti menyebut Soekarno sedang melakukan Sprachspiel atau permainan bahasa. Menyebut kemerdekaan sebuah negara-bangsa sebagai ”jembatan emas” adalah wujud nyata permainan bahasa.
Negara-bangsa Indonesia telah 64 tahun merdeka. Masalahnya, apakah merdeka hanya sebatas permainan bahasa? Kemerdekaan macam apa yang perlu kita wujudkan?
Permainan bahasa
Dalam Philosophische Untersuchungen (1933) atau Philosophical Investigations (1951), Wittgenstein tidak memberikan batasan ketat tentang permainan bahasa. Filsuf Jerman itu sebatas mengisyaratkan bahwa penggunaan kata dan pemaknaannya selalu terikat konteks sosial. Tidak ada bahasa privat.
Pandangan Wittgenstein selaras dengan pemikiran para linguis fungsional, seperti Malinowsky, Firth, dan Halliday. Mereka bersepakat, bahasa tidak pernah lepas dari konteks pemakaiannya. Meaning is use, makna bergantung pemakaian. Kata-kata mencerminkan dunia ide penggunanya.
Selama 64 tahun negara-bangsa Indonesia merdeka, kata ”merdeka” memang sekadar permainan bahasa. Sebagaimana dinyatakan Moscovici (Social Representations: Explorations in Social Psychology, 2001), bahasa merepresentasikan realitas konvensional dan historis. Jadi, penggunaan dan pemaknaan ”merdeka” mencerminkan kesepakatan dan semangat zaman.
Pada masa Soekarno (1945-1966)—Orde Lama—”merdeka” berarti kemerdekaan politik. Bebas dari cengkeraman penjajah, memiliki kedaulatan politik sendiri, itulah mimpi besarnya. Maka kata ”berdaulat” begitu penting bagi Soekarno sebab merepresentasikan kemenangan atas penjajahan. ”Berdaulat” menjadikan kita ”leluasa”. Karena itu—seolah menjadi panggilan sejarah—Soekarno terus meniupkan adanya ”musuh” yang selalu mengancam ”kedaulatan” bangsa Indonesia.
Tak mengherankan jika pada tahun 1960-an—saat ”kedaulatan” bangsa Indonesia terancam dalam berbagai segi—Soekarno mengajukan Trisakti. Isinya ajakan berdaulat dalam politik, berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Tiga butir Trisakti sama-sama bicara ihwal ”berdaulat”: berdaulat dalam politik, ekonomi, dan budaya. Ironisnya, Soekarno terguling karena mengukuhi Trisakti.
Dalam era Soeharto (1967-1998)—Orde Baru—”merdeka” berarti pembangunan. Agar tidak terus terjebak dalam kubangan kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan konflik politik, bangsa ini harus membangun. Kata ”pembangunan” dipilih karena mampu merepresentasikan ”koreksi total” terhadap Orde Lama, sekaligus melanjutkan ide kemerdekaan sebagai ”jembatan emas”. Membangun adalah mengisi kemerdekaan. Pak Harto berobsesi untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, sejahtera lahir dan batin, jasmani dan rohani.
Pemaknaan ”merdeka” sebagai ”pembangunan” lalu melahirkan Trilogi Pembangunan. Kemerdekaan berarti pertumbuhan ekonomi, pemerataan, dan stabilitas politik-keamanan. Berbeda dengan kata ”berdaulat” yang menempatkan rakyat—sang empunya kedaulatan—sebagai subyek sentral, kata ”pembangunan” lebih menekankan proses. Akibatnya, rakyat cenderung ditempatkan sebagai obyek yang tidak (boleh) memiliki daya kritis. Itu pula yang membuat Soeharto lengser.
Rumitnya merdeka
Kolonialisme tradisional dengan pendudukan wilayah telah tergantikan oleh kolonialisme baru dalam wujud penjajahan ekonomi dan budaya. Gejala ini sudah terdengus sejak awal abad ke-20, salah satunya oleh Soekarno muda lewat tulisan-tulisan kritisnya pada tahun 1920-an. Dalam konteks itu, kemerdekaan politik menjadi modal utama dan pertama sebagai fondasi kemerdekaan ekonomi dan budaya.
Dalam era global, konsep ”merdeka” makin sulit dibayangkan. Pemaknaannya menjadi lebih rumit. Kemerdekaan dalam arti kedaulatan politik, misalnya, tidak lagi utama dan pertama untuk membangun kedaulatan ekonomi dan budaya, tetapi ketiganya ada bersama secara simultan.
Kedaulatan politik penting, tetapi menjadi naif jika tidak didukung kemampuan menegakkan kedaulatan ekonomi dan budaya. Apalagi batas-batas negara makin kabur. Nasionalisme, patriotisme, dan heroisme kian padam atau dianggap sia-sia. Merdeka menjadi makin rumit karena kebebasan individu kian dipuja.
Merdeka juga relatif, bahkan paradoksal. Merdeka bagi korban semburan lumpur Lapindo adalah saat dapat menjalani kehidupan seperti sebelum lumpur menyembur. Merdeka bagi si jelata adalah saat gampang memenuhi kebutuhan pokok. Namun, merdeka bagi orang kaya—sebenarnya—saat tak terpasung kelekatan duniawi. Dan merdeka bagi sang penguasa adalah saat terlepas-bebas dari hasrat berkuasa.
Saat kampanye Juni lalu, rencana SBY-Boediono untuk Indonesia dibukukan (oleh Komunitas Universal) berjudul Menjadi Indonesia Modern. Judul itu mencerminkan permainan bahasa SBY-Boediono tentang ”merdeka”.
Pertanyaannya, mengapa ”Indonesia modern”? Mengapa bukan ”Indonesia mandiri”, ”Indonesia sejahtera”, atau yang lain? Lagi-lagi terbukti, ”merdeka” memang permainan bahasa. Di tengah belantara permainan bahasa, sayup-sayup terdengar bisikan, ”Merdeka sejati adalah saat berani mengikuti suara hati”. Ini juga permainan bahasa?
P. Ari Subagyo, Penggulat Linguistik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Sumber: Kompas, Sabtu, 22 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment