-- Muhammad Ali Badary
MARAKNYA rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) di banyak sekolah telah mengubah citra dunia pendidikan Indonesia. Di saat dunia pendidikan mulai diserukan sekolah berbiaya ringan oleh aktor-aktor politik, malah muncul potret bentuk program pendidikan dengan biaya tinggi (high cost) bernama SBI.
Apa pun dalihnya, bila mendengar SBI yang terbayang di benak kita adalah biayanya yang mahal, ruangan ber-AC, lantai yang berkarpet, staf pengajar yang diklaim berstandar internasional, mengajar dengan LCD dan notebook, serta banyak fasilitas pendukung lain layaknya dunia pendidikan di luar negeri. Dengan segudang fasilitas yang disediakan dan dijanjikan, orang tua murid dibebani biaya untuk menyekolahkan anaknya dengan sangat tinggi dengan alasan pemerintah baik pusat, daerah dan sekolah tidak punya cukup biaya untuk menyediakan fasilitas tersebut karenanya harus juga ditanggung juga orang tua murid, demi terselenggaranya pendidikan yang berkualitas internasional.
Apakah dengan adanya fasilitas yang baik akan serta merta meningkatkan kualitas pendidikan murid yang juga baik. Lalu bagaimana pula bagi anak-anak kaum proletar yang tidak punya biaya untuk sekolah di SBI, padahal kemampuan pribadi secara kualitas sangat potensial untuk mempunyai standar internasional. Dua pertanyaan itulah yang sangat mengusik perhatian sebagian besar orang tua murid yang ingin anaknya mendapatkan pendidikan yang terbaik, tetapi tidak punya biaya untuk masuk ke SBI.
Dengan biaya yang bisa mencapai belasan juta untuk SBI pada tingkat SMP maupun SMA ditambah biaya semester yang bisa hingga jutaan, tentunya SBI hanya akan dinikmati orang-orang yang berstatust the have. Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang berstatus the have not. Kalau kita lihat kenyataanya, jawabannya adalah anak-anak dari golongan the have not cukup dengan pendidikan berstandar nasional.
Ketimpangan kesempatan ini yang seharusnya menjadi perhatian para pendidik, karena meski samar tapi ini adalah bentuk diskriminasi pendidikan terhadap anak bangsa yang mayoritas hidup, tinggal, tumbuh, dan berkembang dalam suasana ketidakmampuan.
Fenomena SBI bisa dimengerti jika organ penyelenggaranya adalah pihak swasta karena dalam sekolah swasta sedikit banyak punya tujuan profit oriented di samping tujuan sosial dalam dunia pendidikan. Tapi sekolah negeri yang didirikan dan dikembangkan dari uang pajak rakyat, pendidiknya digaji dengan uang hasil keringat rakyat; sungguh tidak pantas menciptakan ketimpangan dalam mendidik anak rakyat.
Jika dilihat dari sejarah, pendidikan diambil alih penyelenggaraannya oleh negara adalah karena pendidikan adalah hak asasi seluruh rakyat tanpa pengeculian. Hal ini amanah Pasal 28 C Ayat 1, dan Pasal 31 Ayat 1-5 UUD 1945. Semua ketentuan konstitusi tersebut menjadikan landasan hukum bagaimana pendidikan menjadi tugas negara untuk menyelenggarakan pendidikan. Sebab itu, sekolah negeri didirikan dan dijadikan sebagai bentuk pelayanan negara terhadap pendidikan rakyat Indonesia.
Melihat latar belakang mengapa pendidikan adalah tugas negara, sungguh tidaklah pantas sekolah negeri menciptakan diskriminasi dalam penyelenggaraannya. Meski Pasal 50 UU No. 20 Tahun 2003 yang dijadikan payung sekolah negeri untuk menyelenggarakan SBI, tetap saja SBI dalam sekolah negeri adalah kesalahan. Sebab, substansi UU itu oleh banyak kalangan hanya dilihat sebagi peluang program yang menghasilkan pendapatan. Padahal kalau dibaca secara keseluruhan sebenarnya UU itu menginginkan pendidikan yang berbasis internasional yang diselenggarakan sekolah, tetapi tidak memberatkan masyarakat dan disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi masyarakat yang ada.
Jika sekolah negeri saja sudah mengkotak-kotak anak bangsa untuk mendapatkan pendidikan yang sebaik-baiknya lalu akan kemana anak rakyat jelata hendak mencari pendidikan terbaik buat putra-putrinya.
Diskriminasi sangat terlihat jelas pada sekolah negeri yang menyelenggarakan SBI, karena SBI umumnya hanya diselenggarakan hanya untuk beberapa kelas saja, sedangkan mayoritas kelas lainnya tidak SBI dengan fasilitas yang dibedakan.
Seharusnya sekolah bukan menciptakan program SBI yang kemudian membedakan the have and the have not melalui fasilitas yang diberikan, tetapi menyelenggarakan program yang berstandar internasional dengan fasilitas seadanya, sehingga semua peserta didik dapat menikmati kemajuan yang ada. Bukankah semua anak bangsa berhak untuk mendapatkan pendidikan yang sebaik mungkin bukan memilah-milahnya menjadi bagian-bagian kelas seperti yang kita temukan dalam program SBI.
Pendidikan pada substansinya tidak akan maju dengan dorongan fasilitas karena fasilitas bukan merupakan faktor utama kemajuan tapi hanyalah faktor pendukung kemajuan, substansi kemajuan adalah bagaimana pendidik, peserta didik dan orang tua punya satu semangat untuk berubah maka kita pasti berubah. Bukan dibalik seperti sekarang, fasilitas diubah terlebih dahulu untuk mengubah pendidikan yang ada.
Seharusnya kita belajar banyak lewat film Laskar Pelangi bagaimana dengan keterbatasan yang ada pada sekolahnya, tapi dengan keikhlasan gurunya, kemauan dan mimpi muridnya serta dukungan dari keluarganya segala hal yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin. Tidakkah kita harusnya belajar dari film tersebut betapa fasilitas yang mewah tidak akan menjanjikan apa-apa tanpa semangat dan konsistensi dari semua elemen pendidikan.
Puluhan tahun lalu Ki Hajar Dewantara berpesan bahwa setiap orang yang masuk dan belajar di Taman Siswa, siapa pun dia apa pun gelarnya, gelarnya harus dibuang dan tidak boleh lagi digunakan dalam pergaulan keseharian dalam lingkungan sekolah, sehingga tidak ada lagi perbedaan antara anak rakyat jelata dan anak dari kaum ningrat. Kini semangat dan pesan bapak pendidikan itu sudah tidak berlaku lagi karena ternyata di sekolah sekarang ada perbedaan antara yang punya dan tidak punya.
Sekolah kini layaknya hotel, ada kamar kelas biasa dan kelas VIP. Sungguh kemunduran yang sangat berarti bagi dunia pendidikan Indonesia kedepan karena kita siap untuk mencetak anak-anak bangsa yang biasa membedakan bukan berusaha menyamakan.
* Muhammad Ali Badary, Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Unila dan anggota Bidang Advokasi Persatuan Guru Honorer Murni Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Kamis, 27 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment