Judul Buku: Bulan Lebam di Tepian Toba
Penulis: Sihar Ramses Simatupang
Penerbit: Kaki Langit Jakarta
Cetakan : 2009
Tebal : 350 halaman
SALAH satu ciri manusia modern adalah upayanya menciptakan kebahagiaan hidup lewat perjuangan individual. Manusia modern percaya bahwa dari usaha keras dengan mengandalkan kemampuan diri individunya sebuah masa depan yang cerah dibuat.
Akan tetapi menjadi modern dengan mempercayakan kemampuan individunya bekerja masih perlu diuji dalam sosial modern sebagai salah satu jalan bahwa individu tersebut telah menempatkan dirinya secara memadai dalam dunia yang benar-benar berbeda dari sistem sosial yang berusaha ia tinggalkan. Salah satunya seperti tercermin dalam tokoh Hamonangan dalam novel Bulan Lebam di Tepian Toba (2009) karya Sihar Ramses Simatupang. Hamonangan, dengan panggilan akrab Monang, anak asli dari suku Batak di tepian Danau Toba, Sumatra Utara, percaya bahwa jalan ke kota untuk menempuh kuliah di Jakarta merupakan cara mengubah kehidupannya. Ia ke Jakarta bukan untuk bekerja tetapi kuliah. Kuliah yang perngertiannya berbeda dalam benak orang tua Monang, yaitu untuk mengubah kehidupan anaknya menjadi lebih sejahtera dan dengan sejahtera maka secara tidak langsung akan menaikkan status keluarganya di Tanah Toba. Sementara dengan kuliah di perguruan tinggi di Jakarta, menempatkan Monang dalam alur kehidupan lain secara dramatis dengan apa yang dialaminya di Tanah Toba. Tanah Toba adalah bentuk sistem sosial yang sifatnya hirarkis dengan pembagian struktur sosial yang sudah jelas tanpa mengindahkan individu sebagai satu-satunya ukuran. Ukuran yang digunakan dalam struktur sosial Tanah Toba adalah komunalitas yang terurai lewat pembagian klan keluarga dan tetua adat sebagai satu-satunya acuan nilai yang dipegang secara bersama.
Dengan kuliah di Jakarta Monang mendapatkan pemahaman bahwa acuan nilai itu ada pada individu yang mandiri berdasar rasionalitas. Salah satu bentuk kemandirian yang justru kemudian membuat Monang berada dalam nasib tidak menentu saat besama rekan-rekannya sesama mahasiswa menolak keberadaan negara dengan sistem otoriter. Ia bersama rekan-rekannya menggalang kekuatan untuk melakukan protes dalam rangka membangkang terhadap kekuatan negara yang represif atas berbagai ketidakadilan yang terjadi pada masyarakat. Sikap yang diambil Monang adalah sikap khas seorang yang mendapatkan pemahaman bahwa keberadaan manusia bukan diukur oleh apa pun kecuali oleh diri individunya. Otorotarianisme yang dilakukan negara, dalam hal ini masa Orde Baru, yang secara sengaja memberangus kemampuan individu atas nama kedaulatan negara telah dan pasti bertentangan dengan nilai-nilai modern yang Monang peroleh di kampus.
Risikonya sudah jelas atas sikap yang diambil Monang terhadap pemerintah Orde Baru. Ia dikejar oleh aparat militer sehingga ia lari dan hidup berpindah-pindah di beberapa kota di Pulau Jawa. Dalam serangkaian pelariannya tersebut justru puak Tanah Toba yang ia tinggalkan 6 tahun lamanya sebagai satu-satunya tempat terakhir agar ia selamat. Namun ia pulang dengan berbagai penolakan dari sang ayah. Ayahnya sungguh kecewa sebab bukan kesejahteraan yang ia jumpai pada diri anaknya tetapi individu yang kalah. Monang dalam harapan bapaknya adalah Monang dengan serangkaian pekerjaan yang bagus, mobil, dan rumah. Monang benar-benar tak berdaya berhadapan dengan tanah kelahirannya.
Lebih dari kekalahannya sebagai individu di hadapan tanah tradisionalnya, ia tambah tidak berdaya kala mendapatkan bahwa kakaknya, Ganda, tewas di tangan Hotman oleh sebab kasus sengketa tanah yang ia taruhkan di atas meja judi. Sementara janda kakaknya, Tesya, harus berpura-pura gila untuk bisa menghindar dari Impal Maruli Hosonggotan yang ingin memperistri dirinya. Hanya ibunya dan seorang tetua bernama Datu Sapalatua yang berpihak kepada dirinya. Sementara yang lain memperlakukan keberadaannya setelah lama menghilang dengan ejekan dan hinaan atas kegagalannya terlebih menjadi demonstran. Tidak ada satu pun warga yang bertanya apa itu demonstrasi, kenapa dilakukan terhadap Negara. Yang muncul justru ejekan seolah menjadi seorang demonstran bukan saja tidak bermakna apa-apa, tetapi menyebabkan ia terlunta dan kalah.
Ketidakberterimaan oleh tanah kelahirannya menjadikan Monang tidak berumah, tidak memiliki ikatan yang tetap di dunia yang bisa membuatnya damai dan sedikit terbebas dari ketidakpastian yang selalu merundungnya. Ia selalu berada dalam situasi di-antara. Tidak benar-benar berada di Jakarta, tidak benar-benar berada di Tanah Toba. Tidak benar-benar dalam alam pikir modern, tidak benar-benar berada dalam alam pikir tradisional. Monang benar-benar manusia di-antara. Penegasan situasi di-antara ini kian konkret saat permasalahan dengan Hotman dan Impal Maruli Hosonggotan selesai, Monang ditakutkan pada serangkaian serangan misterius dari orang-orang yang mengejar dengan rentetan tembakan. Monang menduga semua itu tidak lain para aparat Jakarta yang tidak henti-henti memburunya. Dalam situasi ini ia harus kabur lagi dan kali ini bersama Tesya dengan restu mertua maupun ayah dan mamaknya. Kali ini mereka hendak lari menuju Lampung. Monang berharap ia akan damai bersama keluarganya di Lampung. Namun demikian teks novel ini tidak menjelaskan apakah di Lampung ia tidak akan berhadapan dengan serangkaian masalah yang akan membuatnya harus lari. Jadi, di Lampung pun masih dalam harapan, bukan realitas yang sesungguhnya bahwa Monang bisa hidup damai.
Sikap hidup modern yang telah ia pilih di awal kehidupan Monang tidak berhasil ia raih. Justru dalam masa pelariannya diketahui betapa rapuhnya Monang. Tidak muncul satu bentuk perilaku bahwa ia bertindak atas dasar kehendaknya sendiri. Ia berada dalam tekanan antara nasibnya yang gagal di Tanah Toba, juga keberadannya yang dipandang antagonis oleh negara. Penyangkalan baik oleh negara maupun kampung kelahirannya ini menjadikan Monang seorang yang selalu goyah, diliputi kecemasan, dan tidak menemukan satu pun rasa tenteram. Monang memang tidak menyerah dalam pergulatan tersebut, tetapi Monang juga tidak sepenuhnya mampu memaklumatkan dirinya menjadi satu individu yang utuh. Ia individu yang terus pergi bukan sebab dari dirinya tetapi terpaan yang datang dari luar dirinya. Kuasa sistem yang tidak terjangkau tangannya telah menggeser setiap keputusan yang hendak ia tetapkan. Segala geraknya bukan dari sebab ia memutuskan tetapi lebih pada akibat dari apa yang tidak ia putuskan sama sekali sekalipun keputusan yang datang dari luar tersebut bukan sama sekali terlepas dari dirinya. Sebab semenjak awal ia percaya bahwa menjadi modern dengan memasuki kuliah di perguruan tinggi di Jakarta merupakan satu-satunya jalan yang dapat ia tempuh untuk melakukan mobilisasi sosial. Jika kemudian yang terjadi di kemudian hari berbeda dengan harapan semua orang, bahkan diri Monang sendiri, ini kenyataan yang mau tidak mau harus diterima. (*)
Imam Muhtarom, penulis sastra, tinggal di Jakarta
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 16 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment