Friday, August 28, 2009

[Teroka] Ruang Budaya dalam Klise Pantai

-- Ridha al Qadri

PANTAI adalah wilayah perbatasan di mana yang natural dan kultural bertemu dan sering kabur tak tentu. Ia menjadi kultural ketika orang berada di pantai mendapatkan sebuah konstruk pemaknaan yang menempatkan pantai sebagai wilayah kontestasi makna. Sementara yang natural sering dikaburkan oleh yang kultural tersebut.

Sebut saja motif ketika orang hendak pergi ke pantai: ”kembali ke alam”. Sesuatu yang berkonotasi natural, asli, dan sebagainya. Slogan yang mungkin sudah klise. Ketika menuju pantai, kenyataannya seseorang sering merencanakan aktivitas tertentu jika telah sampai di sana, seperti memotret diri dengan latar lanskap, mengubur tubuh dalam pasir, berkemah, berselancar, memancing, atau makan bermacam ikan laut.

Bisakah mengartikan ikan yang telah dimasak tetap natural? Atau, naturalkah mengubah warna kulit ketika berjemur? Atau, tetap alamiahkah kulit kerang ketika dikeringkan untuk dibawa pulang sebagai hiasan? Semua ini bukan lagi soal ”kembali ke alam”, tetapi memperlakukan alam ke dalam kategori kultural, dalam bagian ritus atau cara-cara hidup manusia. Lalu, apa yang sesungguhnya terjadi ketika orang-orang berekreasi ke pantai?

”Orang menggunakan pantai untuk mencari makna tertentu bagi diri mereka untuk menghubungkan dengan gaya hidup normal mereka di luar pantai.” Demikian penjelasan John Fiske terkait fenomena budaya populer di beberapa pantai Australia (Fiske, Reading the Popular, 1989: 43). Di sini pantai bukan lagi kesatuan makna yang otonom, tetapi dependen pada hal-hal lain.

Pemaknaan pantai dalam hubungannya dengan hal-hal di luar dirinya itu tidaklah selalu berciri paralel, tetapi sering bersifat diferensial. Perhitungan tentang makna gaya hidup dari orang-orang yang datang ke pantai menjadi hal pokok yang menciptakan perbedaan kultural di antara kedua masyarakat: pengunjung dan pemukim pantai.

Konsumsi mencolok

Rekreasi ke pantai adalah momen spesial yang tak selalu dapat dilakukan. Oleh karena itu, ”upacara” pergi ke pantai membuat orang di luar pantai mesti bekerja keras untuk dapat bisa melakukannya. Orang kota, tidak bisa tidak, mesti memilih hari libur untuk pergi ke sana, disertai menyisihkan uang, persiapan busana dan rencana.

Makna gaya hidup di pantai muncul ketika terjadi diferensiasi dengan gaya hidup sehari-hari di luar pantai. Adapun gaya hidup di pantai tak lepas dari apa yang dikonsumsi pengunjung: busana pantai, ikan laut, mengalami tubuh tertimbun pasir, mengalami perubahan lanskap, dan seterusnya.

Pembedaan gaya hidup melalui perbedaan hal yang dikonsumsi ini mengindikasikan berlangsungnya ”konsumsi yang mencolok” (conspicuous consumption). Istilah ini pertama kali dikemukakan Thorstein Veblen, dalam buku The Theory of the Leisure Class (terbit 1899). Ketika itu ia melihat gejala budaya ”waktu luang” (leisure) pada masyarakat kelas atas, untuk membedakan diri mereka dengan kelas pekerja.

Dalam rekreasi pantai, ekspresi budaya para pengunjung itu seperti ingin menunjukkan identitas mereka yang berbeda (different) dengan pemukim.

Ruang dan waktu

Pantai, bagi orang kota, adalah wilayah yang jauh dari rumah dan tempat kerja. Selama di kota, orang kota telanjur dikonstruksi oleh ruang dan waktu yang fragmentaris, terjadwal, terkontrol, dan pragmatis. Sulit bagi orang kota menemukan ruang-ruang alamiah yang bisa mendekatkan mereka kembali dengan alam, membebaskan mereka dari struktur hidup modern.

Oleh orang kota, kegiatan sehari-hari orang pantai dijadikan ”upacara”: membakar ikan, berenang, berjemur di pantai, dan sebagainya.

Rekreasi ke pantai pun kemudian menjadi sebuah praktik kultural yang jauh dari pengertian ”kembali ke alam”. Sebuah penghayatan yang berbeda, misalnya, dengan apa yang digambarkan oleh Antonio Skarmeta dalam novelnya, Il Postino (2002).

Mario Jimenez, tokoh dalam novel itu, mendapat tugas dari penyair Pablo Neruda untuk merekam seluruh suara gaduh di sekitar Pantai Isla Negra, Cile. Dengan hati-hati, Mario merekamnya dengan sebuah tape recorder, dan kemudian mengirimkannya ke Perancis, kota tempat sang penyair sibuk jadi duta besar. Sebuah rekaman berisi ”celoteh lapar burung-burung camar”.

Pantai di sini adalah sebuah perluasan imajinasi, bukan obyek kapitalisasi atau materialisasi gaya hidup. Pantai bisa direkreasi tanpa perlu mendatanginya, tetapi mendatangkannya. Mencipta pantai dalam diri, dalam hidup kita sehari-hari.

* Ridha al Qadri, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Aktif di Kabut Institut dan Bale Sastra Kecapi, Solo

Sumber: Kompas, Sabtu, 29 Agustus 2009

No comments: