Monday, August 17, 2009

[Buku] Mencicipi Cita Rasa ’Smokol’

BUKU kumpulan cerpen Kompas pilihan, yang terbit setiap tahun (kecuali 1998) sejak 1992, memang sudah mendapatkan tempat ‘tersendiri’ dalam khasanah sastra – khususnya genre cerpen – tanah air. Kehadiran buku kumpulan cerpen terbaik ini selalu ditunggu-tunggu oleh penikmat sastra Indonesia. Tahun ini, buku kumpulan cerpen Kompas tersebut kembali hadir dengan judul ‘Smokol’. Tradisi pemilihan sehimpun cerpen terbaik yang pernah dimuat di edisi Minggu Kompas ini pada awalnya hanya melibatkan ‘orang dalam’ di lingkaran Kompas saja. ‘Orang luar’ biasanya hanya diminta oleh Kompas untuk memberikan kritik dan apresiasi ketika tim juri telah selesai menyeleksi beberapa cerpen untuk dijadikan buku. Namun, semenjak tahun 2006, proses pemilihan tersebut oleh pihak

Kompas sendiri dirubah, yakni dengan mengundang pihak luar untuk menjadi juri , yang sekaligus akan memberikan tinjauan terhadap cerpen terbaik Kompas hasil pilihan mereka. Jika pada tahun 2006 Kompas mempercayai proses penjurian kepada Nirwan Dewanto dan Bambang Sugiharto ( yang memilih ‘Ripin’, cerpen Ugoran Prasad sebagai Cerpen Kompas Pilihan 2005-2006); dan pada tahun berikutnya menunjuk Sapardi Djoko Damono dan Ayu Utami (yang memenangkan cerpen Seno Gumira Ajidarma ‘Cinta Perahu Cadik’), maka pada tahun 2008, proses penjurian cerita pendek Kompas terbaik diserahkan kepada duet Rocky Gerung (pengajar filsafat UI) dan Linda Christanty (penulis kumpulan cerpen peraih Khatulistiwa Literary Award ‘Kuda Terbang Maria Pinto). Rocky Gerung dan Linda sepakat memilih cerpen Nukila Amal ‘Smokol’ sebagai cerpen Kompas terbaik untuk tahun 2008.

Mencicipi ’Smokol’

’Smokol’ bercerita tentang Batara (alias Batre) dan teman-temannya yang tergabung dalam kelompensmokol (kelompok penikmat smokol). Smokol sendiri adalah makan tanggung antara makan pagi dan makan siang. Dalam cerpen tersebut diceritakan bahwa Batara sangat gemar menyelenggarakan pesta ‘smokol’, dengan menyajikan makanan aneka rupa, warna dan rasa. Ketika pesta smokol berlangsung, Batara akan sangat sibuk memasak dan mendekorasi meja makan demi kepuasaan para undangan, yag tak lain adalah teman-temannya sendiri.

Ketika ‘mencicipi ‘Smokol’ Nukila Amal untuk kali pertama, saya memang merasa ada ‘kekuatan aneh’ yang tersimpan dalam pilihan tema dan kata-kata . Untuk urusan yang terakhir, kemampuan Nukila memang sudah teruji ketika novel pertamanya ‘Cala Ibi’ terbit. Jika dalam Cala Ibi Nukila menyeret imajinasi pembaca ke alam ‘ganjil’ yang ia ciptakan, maka dalam ‘Smokol’, dunia imajiner yang dihadirkannya terlihat lebih ‘kalem’, ‘riil’, dan ‘membumi’. Artinya, baik tokoh-tokoh dan percakapan yang terjadi di antara mereka tampak lebih ‘mengena’ dan ‘tajam’. Persoalan yang diangkat, meskipun dikiaskan dengan kegiatan makan tanggung tersebut, mampu hadir sebagai persoalan universal, yang bisa ‘diseret’ ke konteks yang berbeda. Human interests yang terdapat dalam cerpen ini pun tampil ‘apa adanya’, tanpa paksaan.

Selain Nukila, penulis yang karyanya masuk dalam kumpulan cerpen Kompas 2008 ini adalah Agus Noor, Anton Septian, Ayu Utami, Beni Setia, Damhuri Muhammad, Fransisca Dewi Ria Utari, Martin Aleida, Ni Komang Ariani, Puthut EA, Ratih Kumala, S Prasetyo Utomo, Triyanto Triwikromo, dan Ugoran Prasad. Masing-masing penulis tersebut hadir dengan satu cerpen, kecuali Triyanto Triwikromo yang mampu ‘meloloskan’ dua cerpennya (‘Iblis Paris’ dan ‘Dalam Hujan Hijaiu Friedenau’).

Kurang

Dibandingkan dua kumpulan cerpen Kompas sebelumnya, khususnya mengenai catatan pengantar dan penutup yang ditulis oleh kedua dewan juri sebagai semacam ‘laporan pertanggung jawaban penjurian’, buku ini terasa ‘kurang’. Catatan pengantar yang diberikan oleh Rocky Gerung, yang walaupun kritis dan ‘tajam’, hanya memfokuskan pembahasannya pada satu cerpen saja, yakni ‘Smokol’ sebagai cerpen terbaik. Tak ada sedikitpun Rocky menyinggung atau memberikan pernyataan mengapa cerpen-cerpen lain terpilih untuk diikutsertakan dalam buku tersebut.

Epilog yang ditulis oleh Linda pun tak banyak menolong. Meski Linda tampak berusaha bersikap adil, dengan memberikan ulasan (super) singkat terhadap beberapa cerpen, namun tetap saja pembahasannya terasa kurang dalam dan hanya sepintas lalu. Nama Fransisca Dewi Ria Utari sebagai penulis cerpen ‘Merah Pekat’ malah oleh Linda ditulis sebagai Intan Paramaditha. Untuk pemilihan cerpen terbaik berikutnya pihak Kompas diharapkan mampu memilih dewan juri yang memang betul-betul berkompeten dan bisa mempertanggungjawabkan pilihannya. (*)

Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 16 Agustus 2009

No comments: