-- Ahmad Baedowi
DUNIA pendidikan sastra kita sedang berduka. Wahyu Soelaiman Rendra, atau yang kita kenal dengan nama Mas Willy, penyair modern Indonesia pasca-Pujangga Baru, menghadap Sang Pencipta. Empat hari sebelum itu, teman karibnya yang bernama Mbah Surip juga wafat dan meminta untuk dimakamkan di TPU Bengkel Teater milik W.S. Rendra di Citayam, Depok. Ada sedikit paradoks di antara dua seniman itu. Rendra memiliki gaya bahasa yang sangat kaya akan nuansa, dari mulai riwayat cinta hingga pergerakan sosial dan politik, sedangkan Mbah Surip menggunakan bahasanya sendiri serta memberikan banyak orang untuk mencerna. Keduanya seperti sepakat untuk bertemu di alam baka, menyanyikan lagi kidung cinta dan kepahitan hidup bersama-sama.
Bahasa bagi yang terlahir di era 60-an boleh dibilang lebih banyak tumbuh dan berkembang dari persemaian pergaulan di jalanan, koran bekas, teater serampangan, hingga panggung-panggung pertunjukkan para penyair. Di sekitar era 80-an, anak-anak SMA di Jakarta penggemar sastra sangat bangga jika bisa mengikuti lomba membaca puisi yang diadakan di TIM. Ribuan peserta dan lomba pun berlangsung berhari-hari, kebanyakan dari kita dengan penuh heroik dan suka cita membaca karya-karya besar Rendra, Supardi Djoko Damono, Chairil Anwar, Amir Hamzah, Sanusi Pane, Abdul Hadi W.M., Taufik Ismail, hingga Hamid Jabbar.
Di luar panggung perlombaan, di antara para peserta yang kesemuanya pelajar SMA, terjadi diskusi jalanan tentang isi puisi yang sekenanya ditafsirkan dengan pemahaman beragam. Beberapa kata kunci dari setiap puisi yang hendak kita baca selalu menjadi ide menarik untuk dibahas, agar penghayatan ketika membacanya tidak salah arti ketika ditangkap dewan juri. Seingat Edu, hampir tak ada guru SMA yang menjadi pendamping anak-anak mereka di TIM. Kebanyakan adalah anak-anak pencinta puisi yang datang mewakili sekolah dan bengkel teater masing-masing. Seingat Edu, lebih dari separo peserta sangat gemar membaca karya-karya Rendra yang sangat banyak itu.
Namun, mari kita lihat pada diri anak-anak kita sekarang, sampai sejauh mana tingkat apresiasi mereka terhadap sastra? Edu hampir tak menyaksikan kembali riuh-rendah panggung perlombaan membaca puisi seperti dulu. Yang ada dan banyak adalah panggung hiburan band-band anak muda yang cepat sekali kesohor berkat bantuan perusahaan rokok, dan sialnya, dicintai anak-anak kita sekarang. Bahasa anak band sekarang adalah bahasa picisan, tepatnya roman picisan, yang masih jauh lebih baik daripada era roman picisan 70-an.
Hampir tak ada lagi norma sastra menggelayut di syair-syair mereka, kecuali hanya gambaran cinta dan gaya hidup hedonis yang diajarkan televisi dan media massa lainnya. Mungkin kalau kita lakukan polling terhadap para siswa kita saat ini, seberapa banyak di antara mereka yang kenal dengan Rendra dan kawan-kawan, pasti hasilnya rendah.
Kondisi ini bukan omong kosong, jika relasinya adalah pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah. Meskipun dalam kurikulum kita bahasa dianggap memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional siswa dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi, pembelajaran bahasa di sekolah sangatlah minim dalam menghargai dan mengapresiasi sastra. Siswa seperti tak dituntun untuk mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain melalui sebuah gagasan sastra sehingga mereka memiliki kemampuan analisis dan imajinatif yang ada dalam dirinya.
Ketimbang profesi di bidang selain bahasa yang terus berkembang, saat ini tak cukup banyak anak-anak kita yang bercita-cita menjadi penyair atau sastrawan. Sangat jarang kita jumpai di sekolah ada anak-anak yang dengan penuh semangat mendeklarasikan cita-cita mereka untuk menjadi penulis, penyair atau sastrawan. Bahkan eseis muda kita seperti Nukila Amal bahkan lahir bukan dari pendidikan formal kebahasaan, melainkan lebih banyak dari pengalaman keluarga dan masa kecilnya di kampung halaman.
Bahasa memang ajaib, bahkan superajaib, sehingga memang tak semua kita bisa memiliki olah rasa yang tepat dengan bahasa yang ingin digunakan. Sebagai salah satu bentuk Kuasa Pencipta, bahasa yang dialirkan dalam puisi dan prosa Rendra sangat erat berkaitan dengan teologi bahasa, sebuah kredo agung yang hanya bisa dipahami para peminat bahasa. Selamat jalan Mas Willy, semoga Tuhan sedang berbicara dengan bahasamu saat ini di alam kubur.
* Ahmad Baedowi, Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
Sumber: Lampung Post, Jumat, 14 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment