Friday, August 14, 2009

Rendra, Penyair yang (Sangat) Mencintai Tuhan

-- Isbedy Stiawan Z.S.*

TAK pelak, Indonesia "terguncang" oleh dua peristiwa yang nyaris berdekatan. Pertama meninggalnya penyanyi "nyentrik" Mbah Surip, membuat seluruh halaman media massa baik cetak, elektronik, ataupun dunia maya dipenuhi oleh berita kematiannya.

Selang beberapa hari, kembali Indonesia dikejutkan oleh meninggalnya penyair besar W.S. Rendra atau lebih dikenal dengan Mas Willy. Penyair si Burung Merak ini meninggal saat menjalani pengobatan di rumah sakit. Sebagaimana Mbah Surip, Presiden SBY juga mengucapkan belasungkawa untuk kepergian pendiri Bengkel Teater yang telah "menjadikan" Putu Wijaya, Nano Riantiarno, dan sejumlah seniman besar lainnya.

Sebagai penyair, saya jauh "banget" di bawah kepenyiaran Rendra. Sebagai "orang daerah" juga saya begitu dekat bersentuhan dengan suami Ken Zuraida (sebelumnya dia adalah juga suami dari Suarti dan Sitoresmi) ini. Tetapi, sebagai penyair saya tetap mengetahui secara dekat perpuisian yang dilahirkan Rendra.

Termasuk pula ranah teater Rendra. Ada pengalaman saya ketika masih menjadi jurnalis di Lampung Post, saat itu Rendra pentaskan kembali naskah lamanya di Graha Bhakti Budaya. Waktu itu saya, Oyos Saroso H.N. dan Hasanudin "ditugaskan" untuk meliput pementasan Rendra tersebut. Tetapi, sebelumlah sejumlah pementasan teaternya juga pernah saya saksikan.

Pengalaman menarik lainnya, tatkala Rendra yang ditemani Ken Zuraida memberikan workshop kepada para guru di Lampung. Saat itu, entah bagaimana teman-teman seniman Lampung yang diprakarsai Panji Utama bisa "menggaet" Rendra untuk membacakan puisi di Taman Budaya Lampung. Saya mendapat kehormatan diminta membaca puisi. Sungguh, sebagai penyair junior berdampingan dengan Rendra, sangat bangga karena bisa "sepanggung" dengan si Burung Merak tersebut.

Kala itu Rendra membacakan sejumlah puisi pantun, yang isinya--masih saya ingat menyindir Gus Dur, terutama soal kasus foto berdua dengan perempuan. Dengan gaya bahasa humoris, Rendra memelesetkan pantun buaya hidup dikira mati menjadi buaya dikira kiayi membuat penonton tertawa dan mengena, tetapi tak ada yang merasa disakiti. Mungkin di sinilah kehebatan puisi, barangkali inilah kekuatan kata yang menjadi daya hidup di tangan Rendra.

Rendra mengawali kepenyiarannya dengan puisi-puisi balada yang bertema cinta, baik terhadap sesama, masyarakat, dan Tuhan. Tengoklah dalam kumpulan puisinya Balada Orang Orang Tercinta atau puisi tentang penyaliban. Memang puisi-puisi Rendra pada tahun-tahun silam, khusus puisi religi, berangkat dari religiuisitas nonmuslim. Tetapi setelah dia muslim, religiositasnya sangat kental Islam. Meski begitu, sebagai seniman yang berada di tengah-tengah, religisiositas dalam puisinya bisa diterima oleh semua pemeluk agama.

Sebenarnya sejak Juni hingga awal Juli, kalau tak salah, tatkala ayah dari Clarasinta ini masuk rumah sakit, pesan pendek (sandek) melalui ponsel ataupun facebook bersileweran tentang kabarnya: dari sakit parah hingga ada bantahan bahwa Rendra dalam keadaan mulai membaik.

Rendra memang "perkasa", sebab di usianya yang 70 tahun lebih, tubuhnya masih segar dan kekar. Maklumlah, konon, Rendra terbiasa melakukan gerakan-gerakan yoga. Hanya saja, setegar atau sekekar apa pun manusia, menghadapi "ketentuan" Tuhan tidak mampu menghindar.

Rendra kini sudah pergi, kepakan sayap burung meraknya sudah terbang jauh ke balik langit dan tak akan pulang lagi. Sebagai seniman, tentu banyak yang diwariskan oleh Rendra, seperti seabrek puisi-puisinya, naskah drama, rekaman pementasan, dan sekian banyak buku buah pemikirannya. Selain itu, tak kalah berharganya, warisan popularitaskan poetry reading. Sekiranya Rendra sepulang dari luar negeri tidak menyosialisasikan pembacaan puisi, tentulah cara baca penyair dan peserta lomba akan seperti deklamasi.

Perteateran di Indonesia jelas berutang budi kepada Rendra. Dialah yang memperkenalkan pementasan teater melalui bloking yang tak harus menghindar jika membelakangi penonton, misalnya, atau lebih tepatnya perteateran modern di Indonesia dikenalkan oleh Rendra.

Religius

Rendra memang belakangan ini sangat religius. Tidak saja melalui karya-karya puisinya, dia juga banyak membintangi layer lebar bernapaskan religi. Cintanya kepada agama, dia ejawantahkan dengan mencintai rakyat. Padahal, Rendra berangkat dari keluarga priyayi Solo. Tetapi cintanya kepada rakyat (jelata) dikelolanya hingga akhir hayat, hingga menjadi momok para penguasa.

Pada era Soeharto berkuasa, berkali-kali dia (akan) dijebloskan ke penjara, dia diburu, dan Rendra pula yang mendapat ancaman bom molotov saat pentas di Graha Bhakti Budaya TIM Jakarta.

Lebih dari sepertiga usianya dimanfaatkan untuk berkarya lewat puisi dan drama-drama sosial politik, demi mengingatkan dan menyadarkan penguasa bahwa rakyat hidup dalam penderitaan. Rakyat juga belum merdeka secara lahir dan batin.

Rendra pada akhirnya mesti "mengalah" dengan kebaikan Tuhan. Boleh jadi perjuangannya mengangkat harkat rakyat di mata penguasa yang korup belum selesai, "belum apa-apa" kata Chairil Anwar, tapi tetaplah apa yang dilakukannya akan tetap dicatat dan dikenang masyarakat.

Melihat kondisi Indonesia yang masih karut-marut ini, Rendra seperti lemas meski tetap berdaya. Namun daya Rendra semakin sulit diperjuangkan mengingat sakit yang dideritanya. Di sinilah, saat-saat perjuangan "melawan" daya hidup sudah sulit, Tuhan menjadi tempat menyerahkan takdir.

Maka, di dalam ruang serbaputih di rumah sakit, daya hidup Rendra diejawantahkan melalui goresan puisi, yang ternyata karya terakhir sang maestro penyair-dramawan Indonesia. Puisi Tuhan Aku Cinta pada-Mu tidak hanya indah, tetapi juga kental oleh aroma kematian: Aku lemas/Tapi berdaya/Aku tidak sambat rasa sakit/atau gatal//Aku pengin makan tajin/Aku tidak pernah sesak nafas/Tapi tubuhku tidak memuaskan/untuk punya posisi yang ideal dan wajar//Aku pengin membersihkan tubuhku/dari racun kimiawi//Aku ingin kembali pada jalan alam/Aku ingin meningkatkan pengabdian kepada Allah//Tuhan, aku cinta padamu//(31 July 2009, Mitra Keluarga).

Aku ingin membersihkan tubuhku dari racun kimiawi, dan Rendra ingin kembali pada jalan alam, demi meningkatkan pengabdian kepada Allah. Subhannallah, Rendra demikian santun demikian lurus, demikian sahaja, dan amat mencintai Tuhan. Selamat menempuh jalan alam yang lain.

* Isbedy Stiawan Z.S., Sastrawan, tinggal di Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Jumat, 14 Agustus 2009

No comments: