Thursday, August 13, 2009

Orasi Budaya di Komisi Yudisial

-- Rosihan Anwar*

SEJARAWAN Prof Dr Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua Umum Muhammadiyah, naik pentas di gedung baru Komisi Yudisial, Rabu malam 5 Agustus 2009, untuk memulai orasi di luar teks yang telah dipersiapkan. Buya itu berkata" Ada tiga orang yang tidak sampai jadi presiden: Mohammad Hatta, Hamengku Buwono IX, dan JK."

Pasangan Soekarno-Hatta ibarat gas dan rem. Soekarno gas dan Hatta rem. Yang satu mau kencang, yang lain lambat, Soekarno-Hatta akhirnya tidak cocok, mereka berpisah. Dalam pasangan SBY-JK, gasnya Jusuf Kalla, saudagar, remnya SBY. Keduanya juga berpisah. Kini, dengan pasangan SBY-Boediono, tidak tahu apakah keduanya sama-sama gas ataukah rem. Jika rem, bayangkan sendiri apa yang akan terjadi dalam lima tahun mendatang".

Peristiwa itu diselenggarakan dalam rangka HUT ke-4 Komisi Yudisial (KY) dengan gelar budaya: "Peradilan bersih dalam budaya serba boleh" di mana lima tokoh memberikan orasi, yaitu Prof Dr Syafii Maarif, Prof Dr Franz-Magnis Suseno, Dr Bambang Widjojanto, Sujiwo Tejo, dan Emha Ainun Nadjib.

Gelar budaya diawali dengan kata sambutan Ketua Komisi Yudisial M Busyro Muqoddas yang mengatakan, antara lain, syahwat ternyata menjadi faktor dominan dalam wacana dan proses-proses politik di negeri ini. Bahkan, dalam pemilihan wakil rakyat, pejabat negara, termasuk pejabat penegak hukum. Pantaslah jika lahir kekuasaan politik dan proses-proses penegakan hukum yang mengarakterkan unsur kesyahwatan, yang telah menggusur dan mengubur unsur kemanusiaan dan keadilan sosial. Situasi ini telah menghadirkan suatu budaya baru, yaitu budaya "bendawi" yang diikuti dengan memberhalakan dan menghambakan diri secara total pada materi.

Selama hampir lebih dua setengah jam saya menyimak dan menikmati orasi, musik, lagu, pemaparan, dan kelakar pembawa acara, yang semuanya dipersembahkan secara mencerahkan dan menghibur hadirin. Beberapa ucapan saya kutip di sini secara ringkas dan dalam bentuk soundbites. Buya Maarif menyatakan mulanya cukup bergembira dengan lahirnya Komisi Yudisial yang "agak berani" melakukan beberapa gebrakan, yang bisa menciutkan nyali mafia peradilan. Tetapi, kemudian institusi ini setengah dilumpuhkan.

Romo Franz-Magnis Suseno mengutarakan tiga ciri hakiki hokum, yakni kepastian, rasionalitas, dan keadilan. Hukum harus pasti dalam arti bahwa hukum harus jelas, supaya masyarakat tahu tindakan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Hukum harus memberikan orientasi jelas tentang kelakuan mana yang legal dan mana yang tidak. Tanpa keadilan, rasionalitas, dan kepastian hukum bisa menguntungkan mereka yang lebih kuat (lebih kuat mengancam, lebih kuat membayar).

Laporan BPK

Bambang Widjojanto mengutip laporan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), yaitu pada tahun anggaran 2008 sebanyak 31 laporan hasil pemeriksaan (LHP) meliputi 40 kasus seniliai Rp 3,67 triliun dan US$ 26,37 juta yang mengandung unsur tindak pidana dan telah dilaporkan kepada instansi yang berwenang . Rupanya, sedikit sekali dari jumlah laporan tersebut yang telah diproses secara hukum. Bayangkan saja, kata Bambang, bila akumulasi dana yang tidak dapat dipertanggungjawabkan pada 2008 dan 2009 dijumlahkan. Keseluruhan dana tersebut seyogianya dapat digunakan dan sangat berarti untuk kepentingan kaum duafa yang kini makin absolut kemiskinannya, pencari kerja yang kian tidak jelas kapan dapat melepaskan diri dari status pengangguran, serta gaji pegawai negeri yang kian tidak memadai.

Sang dalang Sujiwo Tejo membentangkan bagaimana Prabu Yudistira sulung Pandawa adalah contoh yang baik untuk penegak hukum. Juga diceritakannya rasa adil Arjuna ketika membantu petani yang kehilangan sapi. Petani menjerit minta bantuan kesatria Pandawa itu agar menangkap kawanan maling sapinya. Arjuna merangsek, masuk ke kamar Puntadewa-Drupadi untuk mengambil senjata Pandawa untuk memburu kawanan maling sapi. Ia berhasil meringkus maling, tapi dia sudah melanggar peraturan. Meskipun Puntadewa sudah mengampuni Arjuna, namun Arjuna atas kehendak sendiri tetap menghukum dirinya 12 tahun pembuangan.

Akhirnya tentu tak boleh dilupakan peran Emha Ainun Nadjib selama pergelaran budaya. Dia berhasil membuat hadirin terpusat terus perhatiannya karena kemampuannya bertindak sebagai penutur cerita dan pembicaraan bijak dalam ceramah yang disebut dalam dunia hiburan Prancis sebagai raconteur dan conferencier. Dia dengan semangat homo ludens, insan yang bermain-main dengan jenaka, mengatakan, bahwa kedua kata, hukum dan keadilan, adalah reproduksi dari bahasa Arab. Dalam bahasa Melayu dan Jawa tidak ada kata untuk hukum dan keadilan. Lalu melalui sebuah dialog dia menekankan "Bangsamu itu nggak punya ide. Nggak kreatif. Bisanya niru-niru. Bangsa lain bikin negara, bangsamau bikin negara. Konstitusinya meniru, hukumnya membebek. Bangsa lain nyanyi demokrasi, kamu ikut nyanyi demokrasi. Bangsa lain bikin pemilu, kamu ikut bikin pemilu.

Di sela-sela ceramahnya, Ainun melontarkan kalimat seperti "Rakyat pandai-pandailah memilih presiden". Dia terus melantunkan semangat optimisme mengenai masa depan Indonesia, mengenai peradilan bersih untuk keadilan sosial. Malam orasi budaya itu ditutup oleh hadirin dengan menyanyikan secara bersama-sama lagu Kemesraan.

* Rosihan AnwaR, wartawan senior

Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 11 Agustus 2009

No comments: