Saturday, July 05, 2008

Merantau ke Deli: Lelaki Minang dalam Memori

-- Nelson Alwi

DALAM roman-roman yang ditulis Hamka (1908-1981) selalu mengemuka seluk-beluk "adat" dan "kebiasaan yang diadatkan", yang pada prinsipnya dipandang menghambat gerak langkah individu maupun masyarakat, menuju kemajuan. Seperti dalam Merantau ke Deli (MkD), yang secara tuntas menyorot seorang lelaki Minang yang ditakdirkan menganut paham matrilineal (garis keturunan menurut ibu) dengan segala kosekuensinya.

Bahan dasar roman yang sudah klasik ini, konon, digali dan ditimba pengarang dari permasalahan masyarakat yang diakrabinya. Masuk akal, pengarang, Hamka, adalah orang Minang. Dan, berbulan-bulan lamanya beliau menjadi guru agama di satu pekan kecil, Pekan Bajalinggai dekat Tebing Tinggi, Deli, Sumatera Utara; tempat berlangsungnya komunikasi-transaksi antara pedagang dengan pembeli yang sebagian besar kuli kontrak perkebunan karet yang terbelenggu Poenale Sanctie -yang terkenal di zaman penjajahan Belanda.

Leman, perantau asal Minang yang menjadi pedagang keliling di tanah Deli, bertemu dan langsung mencintai Poniem, perempuan suku Jawa berstatus kuli merangkap gundik atau istri piaraan salah seorang mandor besar perkebunan karet.

Keduanya kabur untuk menikah. Kebersamaan mereka mengalami keberuntungan. Mereka berhasil membangun keluarga bahagia serta dapat mengusahakan sebuah kedai kain. Dan kemunculan Sujono, yang juga bekas kuli kontrak keturunan Jawa, membuat dagangan mereka kian maju.

Namun pada suatu ketika Leman memboyong Poniem ke kampung halamannya. Hal ini berakibat buruk. Leman didesak melalui berbagai alasan oleh kaum kerabatnya (orang sepesukuan atau sesilsilah) untuk mengawini Mariatun. Kehadiran perempuan muda itu menimbulkan banyak persoalan. Keharmonisan rumah tangga Leman-Poniem terganggu. Dan peristiwa yang amat tragis itupun tak terelakkan lagi. Poniem diusir dan dijatuhi talak tiga. Berhubung Leman melontarkan makian yang begitu menyakitkan hati orang Jawa, maka Sujono kepercayaannya pun merasa ikut dihinakan. Sujono angkat kaki mengiringi kepergian Poniem. Kemudian, Sujono dan Poniem yang sebelumnya sudah seperti orang beradik-kakak, menikah dengan dalih menghindari syak wasangka terhadap mereka yang bernaung di bawah satu atap.

Sementara itu, sepeninggal Sujono-Poniem, perniagaan Leman berangsur mundur. Lalu jatuh pailit. Leman insyaf, sukses dia selama ini bukan hanya karena cucur keringat sendiri, melainkan lantaran adanya bantuan dan dorongan moral Poniem yang setia lagi rajin serta tahu diuntung ditambah dengan jerih payah Sujono, anak semangnya yang lurus dan tak kenal lelah. Sehingga sewaktu secara kebetulan dia bersua Sujono (yang telah kaya), dia mengutarakan sekalian uneg-uneg berikut penyesalannya dan berharap agar satu saat nanti bisa bertemu dengan Poniem.

Sujono yang baik bersedia meluluskan permohonan Leman. Dia mengatur perjumpaan Leman dan Poniem di rumah belian yang baru mereka tempati. Dalam pertemuan tersebut, ketiga orang yang dulunya pernah berkumpul itu saling berkisah dan buka kartu serta bermaaf-maafan guna memupus dendam yang mungkin masih tersemat di sanubari masing-masing.

Akhirnya Leman sekeluarga pulang kembali ke kampung halamannya. Dia sudah tidak sanggup hidup di Deli. Tenaga sudah jauh berkurang, modal juga tak seberapa lagi. Sedang untuk menerima tawaran Sujono-Poniem yang hendak memberi tambahan modal, berat sekali rasanya. Kenyataan yang dihadapi membuat batinnya terpukul. Leman merasa malu kepada dirinya sendiri.

***

Peranan atau kedudukan laki-laki di negeri (Minang) yang mayoritas penduduknya beragama Islam tetapi menerapkan sistem-hukum kekerabatan matrilineal ini memang rada-rada sulit dan mengambang. Sebagai seorang suami umpamanya, dia adalah pemimpin, tulang punggung atau kepala keluarga yang menyandang kewajiban lahir batin atas istri serta anak-anaknya. Namun konkretnya, dia seolah-olah tidak berada di posisi yang selayak dan sebenarnya itu.

Lelaki Minang yang sudah menikah akan tinggal di rumah istrinya. Dan menurut kebiasaan, di sana dia tak ubahnya seperti seorang penyewa kamar penginapan, di mana sang istri berfungsi selaku pelayan merangkap pemilik yang, anehnya, tidak tahu-menahu urusan penginapan yang diatur dan diselenggarakan oleh kaum kerabatnya yang laki-laki, yang besar kemungkinan hanya mengharapkan laba berupa materi.

Kaum kerabat si istri menamai tamu atau si suami tadi "urang sumando", yang diibaratkan seperti "abu di atas tunggul", alias tidak memiliki hak serta pondasi yang kuat kukuh di kediamannya. Justru karena itu, sering terjadi, kalau dia kaya atau masih mampu mencari uang maka kaum kerabat si istri akan sangat berhati-hati menjaga perasaannya. Sebab, sekiranya tidak demikian, dia tentu tidak akan betah tinggal di rumah istrinya. Dengan kata lain, tamu atau "urang sumando" niscaya diterbangkan angin atau mencari tempat hinggap yang baru, perempuan atau penginapan lain yang lebih memadai servisnya. Hal tersebut sudah barang tentu merugikan, terutama mereka yang mengelola dan akan terus mengelola penginapan yang didiami kemenakan atau saudara perempuan yang diceraikan suaminya.

Selain itu, selaku seorang ayah laki-laki Minang juga tidak bebas merdeka menentukan masa depan anak-anaknya. Hal mana kentara sekali di kala anaknya, terlebih yang wanita, hendak dikawinkan. Walaupun kaum kerabat calon pengantin yang terdiri dari mamak, datuk maupun penghulu, sesuai ajaran Islam, tidak sah bertindak sebagai wali nikah, namun dalam hal mencari jodoh, memutuskan persoalan atau menjatuhkan pilihan terhadap seorang calon, belum sah pula seandainya hal itu hanya ditangani oleh si ayah.

Dengan demikian jelaslah bahwa di samping kewajiban-kewajiban semu di rumah tangganya, seorang laki-laki mesti banyak berkorban dan berpartisipsi di lingkungan dari mana dia berasal. Tapi memang, putra Minang tidak mungkin lepas dari ikatan keluarga ibu atau saudara-saudaranya yang perempuan, selaras dengan sistem kekerabatan yang dipeluknya. "Suku tidak dapat dialih, malu tidak dapat dibagi", demikian bunyi pepatah yang berlaku.

Namun peran(an) atau kedudukan laki-laki di lingkungan asalnya relatif jauh dari relevansi keadilan yang diyakini sebagai hal yang sangat didambakan manusia mana pun. Atau katakanlah bahwa loyalitas, aktivitas maupun pengorbanan laki-laki tidak diimbali dan dihargai sebagaimana mestinya. Dalam masalah ini merupakan nasib lelakilah untuk "bertualang" di luar rumah tangganya dan juga di luar lingkungan yang dijunjung tinggi lagi diagung-agungkannya. Tempat atau gelanggang lelaki Minang adalah di surau selagi muda remaja. Lalu di rumah istri -yang diintervensi- bila sudah bekeluarga. Dan kemudian, di hari tua tiada berdaya kembali ke surau, menanti hantaran nasi atau bekal dari anak-kemenakan yang merasa prihatin, sambil menunggu ajal.

Lain pula halnya dengan laki-laki Minang yang mengadu untung dan berdomisili di (pe)rantau(an). Sudah menjadi suatu kelaziman untuk pulang ke kampung halaman, sekurang-kurangnya satu kali dalam setahun, guna mempererat tali kasih sayang dengan sanak saudara berikut orang sekampung. Meski kebiasaan ini mengandung hikmah dan nilai-nilai yang pantas dipujikan namun jelas teramat sukar dilaksanakan. Apalagi kalau mereka beristri orang luar Minang.

Seperti yang dihadang Leman yang kawin dengan perempuan Jawa. Akan ia bawa dan tumpangkan di mana Poniem setelah sampai di tanah kelahiran? Ke tempat orangtua atau rumah saudara-saudara perempuan yang selama ini dia perjuangkan itu? Sekali-dua tentu boleh-boleh saja. Soalnya, di Minang tidak dibiasakan membawa istri ke lingkungan kaum kerabat sendiri. Tidak pantas. Tabu. Bahkan, dianggap cela. Di sana toh ada orang lain, "urang sumando".

Di samping itu ada lagi ketentuan yang memberatkan Leman. Yakni, satu kali dalam hidupnya lelaki Minang harus kawin dengan orang kampungnya sendiri. Sebab sebelum dia beristri urang awak, menurut adat alias kebiasaan yang diadatkan, dia tidak bisa memakai gelar "Sutan ." di belakang namanya. Toh ada adagium: "kecil bernama besar bergelar". Artinya, dia belum lagi mendirikan adat dan lembaga. Dan ini merupakan hutang kepada nagari, hutang moral yang memalukan segenap sanak saudara.

Nah, kebisaan-kebiasaan yang -secara salah kaprah- diadatkan di negeri leluhurnya itu ternyata termakan oleh Leman. Dia kawin dengan orang sekampungnya. Dengan demikian bermulalah era baru dalam hidupnya. Terjadilah segala sesuatu yang sebelumnya tak pernah terpikir dan terbayangkan. Penghidupan Leman berputar bak roda pedati, dari atas menggelinding ke bawah. Penyebabnya tiada lain, dapur yang semula satu sekarang telah menjadi dua. Pikiran yang selama ini hanya buat Poniem dan perniagaan telah terpecah untuk Mariatun.

Apalagi, tidak seperti dengan Poniem. Sesuai kebiasaan-zaman, Leman tidak pernah saling terbuka dengan Mariatun. Dulu, istri di Minang konon tinggal tahu ada saja, tidak bahu-membahu dengan suami dalam mencari nafkah. Sehingga Leman yang sesungguhnya telah karam masih berusaha tersenyum dan selalu berupaya mencukupi kebutuhan Mariatun berikut rongrongan kelaziman berlatar-belakang kampung halaman sendiri.

***

Dalam MkD integritas adat dan kebiasaan yang diadatkan mengedepan memperlihatkan bentuk dan corak tersendiri, menimpa seorang lelaki, sampai-sampai perekonomian maupun penghidupannya jatuh ke lembah kemiskinan dan derita.

Hemat kita, pengajaran atau atau missi moral yang diusung Hamka dalam MkD adalah, segala sesuatu yang dihadapi seyogyanyalah disadari, dipertimbangkan dan dijalani dengan akal sehat (logika). Dengan kata lain, persoalan serta nasib yang dialami Leman merupakan realisasi kebiasaan-kebiasaan belaka, yang tidak berdasar dan, tak bakalan terjadi sekiranya Leman mau menghindarinya.

Ya, melalui MkD pengarang mencoba mengkritisi dan mengembalikan porsi posisi "adat" dan "kebiasaan yang diadatkan" ke tempatnya. Karena kekeliruan dalam menerjemahkan perihal tersebut cenderung mengingkari norma-norma atau ketentuan-ketentuan yang hakiki, dan menimbulkan berbagai efek (psikologis) yang fatal.

* Nelson Alwi, pencinta sastra-budaya, tinggal di Padang

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 5 Juli 2008

2 comments:

Team Marketing said...

Minangkabau adalah sebuah suku yang ganjil, mengaku "adat bersandikan syara' dan syara' bersandi kitabullah" tetapi alur adatnya jauh dari syara' Islam. Anak laki-laki justru tidak mendapatkan waris dari keluarganya sama sekali. Semua dikelola turun temurun untuk anak wanita. Tak ada yang sanggup merubah kebiasaan adat yang seperti ini, bahkan seorang HAMKA pun mengeluarkan unek-uneknya hanya lewat karya saja karena tidk bisa berkonfrontasi decara langsung dengan ninik mamak pemangku adat...

Dildaar Ahmad Dartono said...

Menurut sy menarik resensi buku ini.
Terima kasih untuk peresensi dan pemosting.