Saturday, July 12, 2008

Menggedor Praha dengan "Zero"

-- Putu Wijaya*

DUTA Besar RI untuk Cheska di Praha, Dr. Salim Said memestakan 50 tahun perjanjian kebudayaan Indonesia-Cheska dengan menyelenggarakan setahun pameran kesenian Indonesia. Selain Pekan Film Indonesia, ada pertunjukan musik, resital piano, seminar internasional, dan pertunjukan teater. Teater Mandiri terpilih tampil karena membawa pertunjukan teater tubuh atau teater visual yang tidak merepotkan penonton dengan bahasa dalam menikmatinya.

Kebetulan Teater Mandiri baru saja pulang dari Singapura. Di situ kami berkolaborasi dengan para mahasiswa NAFA menggabungkan pertunjukan "War" dan "Zero". Hasilnya perlu diuji. Dengan tekad bulat, hasil instalasi di NAFA itu kami poles lagi selama sebulan, agar siap untuk digelar di Praha dan kemudian Bratislava (ibu kota Slovakia, negara pecahan Cekoslovakia).

Dalam uji coba yang kami selenggarakan di STSI Bandung, tepat pada hari lahir Pancasila, pertunjukan itu berjalan bagus. Tetapi itu disebabkan ukuran panggung, serta pemasangan layar yang menjadi peran utama dalam tontonan itu tepat. Di samping itu, adanya lampu neon ultraviolet di atas panggung di depan layar, benar-benar efektif dapat membangun suasana magis.

Pementasan di Bandung yang "dituanrumahi" oleh STSI dan Teater Payung Hitam itu, menelurkan sebuah ide penting. Rahman Sabur, pimpinan Teater Payung Hitam dan dosen di STSI melemparkan gagasan untuk menyosialisasikan pengertian "teater seutuhnya" yang lebih luas dari sekadar "drama" sebagaimana umumnya yang kini dipahami/disepakati di sekolah-sekolah dan akademi. Teater bukan hanya drama konvensional dengan cerita, karakter, konflik, dan bahasa sebagai basisnya, tetapi semua "tontonan" yang mengekspresikan pesannya secara dramatik.

Jadi, teater yang didominasi oleh elemen-elemen visual dengan bahasa tubuh, prop, tata lampu, dan sebagainya, yang khususnya tidak mempergunakan kata-kata, adalah warga kandung teater. Dengan demikian, pembelajaran teater akan melebar. Pemahaman tentang pemanggungan/pementasan akan memiliki paradigma yang lebih kompleks, sebagaimana yang sudah tercakup dalam teater tradisi yang tidak menyekat-nyekat bentuk tontonan menjadi kerajaan-kerajaan kecil: tari, musik, gerak, sendratari, dan sebagainya.

Sambil membawa gagasan untuk menyelenggarakan pertemuan "teater seutuhnya itu", kami meneruskan uji coba di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) pada 7 Juni 2008. Di GKJ, rencananya kami ingin menunjukkan bahwa teater tubuh, bukanlah teater yang anti pada kata. Kalau memang kata-kata efektif untuk mengekspresikan pesan, harus dipakai. Tetapi manakala tubuh atau bentuk, bunyi, dan gerak yang lebih cespleng, maka kata ditinggalkan. Tetapi kombinasi pun halal. Untuk menandai itu, kami coba mengawali pertunjukan visual "Zero" untuk Praha dengan intro yang memakai kata/dialog.

Sebagaimana dalam pembukaan pertunjukan "War" (pernah digelar di STSI pada 2004), dalam "Zero" di GKJ, kami membuka pertunjukan dengan kemunafikan provokator perdamaian. Mula-mula ia mendeklarasikan, meneriakkan, dan menghasut semua orang untuk melihat perdamaian dan perang, sebagai dua hal yang sama sekali bertentangan.

George Washington pernah mengatakan, perang adalah senjata untuk menjaga dan melestarikan perdamaian. Tetapi provokator damai tidak percaya. Banyak orang mengaku memperjuangkan kemerdekaan, kemanusiaan, kesetaraan, keadilan, dan sebagainya, lalu mereka berperang untuk itu. Sang provokator damai langsung menolak. Kemudian ia mendeklarasikan bahwa perdamaian dan perang tidak bisa dihubungkan. Namun begitu, ketika ada orang yang membantah, dia naik darah dan menggebrak untuk menghabisi lawannya.

Intro itu kemudian melahirkan perang yang kami lukiskan dengan bayang-bayang. Dengan racikan itu, penonton sudah mulai tahu ke mana visualisasi yang terhidang akan terarah. Lalu pertunjukan "Zero", yang mencoba untuk mengajak semua orang kembali ke wilayah nol, untuk bisa bersama-sama berpegangan tangan tanpa prasangka, dan memulai kehidupan yang lebih baik, menjadi sangat leluasa bergerak tanpa kata.

Tetapi malang, dalam latihan, saya yang memainkan provokator damai yang munafik itu, jatuh dari panggung. Taksu, anak saya yang untuk pertama kalinya ikut main, menyarankan, agar saya membatalkan main untuk menyimpan tenaga guna menyelamatkan pertunjukan di Praha nanti.

Di Praha, pada 13 Juni, sesuai dengan rencana, adegan visual itu kami laksanakan. Beruntung sekali kami mendapat seorang wanita pembawa acara yang ternyata penari dan memiliki potensi acting yang terpendam. Hanya dengan sekali latihan di atas panggung, dia menjadi tokoh antagonis yang menerjemahkan deklarasi provokator damai yang diucapkan dalam bahasa Inggris ke bahasa Cheska dengan diubah-ubah. Beberapa penonton tertawa karena menangkap sindiran itu. Secara visual, adegan intro itu kemudian menyebabkan apa yang dilakukan selanjutnya di panggung tak memerlukan bahasa lagi. Tubuh, layar, bayangan, gerak, dan bunyi sudah menjadi bahasa.

Masyarakat Indonesia di Cheska yang sudah menjadi penduduk Praha (karena tidak bisa pulang setelah peristiwa 1965) datang ke belakang panggung dan menyatakan bahwa mereka menerima baik pesan yang ada di dalam "Zero". Mereka sama sekali tidak terganggu oleh elemen visual yang dijadikan bahasa. Bahkan memuji bahwa eksplorasi yang kami lakukan tidak pernah mereka lihat sebelumnya di Eropa. Semula saya merasa itu hanya bagian dari solidaritas dan kerinduan mereka pada Indonesia. Tetapi komentar yang sama juga diucapkan oleh mantan Duta Besar Cheska di Indonesia.

**

PERTUNJUKAN yang diselenggarakan pada 17 Juni 2008 di ibu kota Slovakia itu berlangsung di sebuah gedung yang mengingatkan pada suasana off-off Broadway di New York. Gedungnya sederhana, tetapi ruang pertunjukannya berdarah dan menyimpan sejarah. Terasa bahwa di situ sudah berlangsung banyak pertunjukan yang menarik. Walaupun kami terpaksa melipat layar kami karena panggung kurang lebar, kedalaman panggung cukup untuk memasang lampu di belakang layar sehingga terbentuk bayangan yang memenuhi seluruh layar.

Banyak penonton yang tidak tertampung, sehingga terpaksa pulang. Tidak seperti di Jakarta yang boleh mempersilakan penonton duduk di lantai atau menutup lorong ke pintu keluar, di Bratislava peraturan gedung pertunjukan diatur ketat untuk menjaga kenyamanan dan keselamatan penonton.

Namun kualitas penonton yang hadir, yang tekun mengikuti pertunjukan, bahkan masih tetap duduk padahal pertunjukan sudah selesai, telah membantu pertunjukan memuncak. Kami merasa puas, seorang perempuan muda datang ke belakang panggung menyalami kami. Ternyata dia penumpang kereta api yang satu gerbong dengan kami waktu berangkat ke Bratislava. Dituntun oleh folder yang diberikan seorang anggota Mandiri, dia menyempatkan mengunjungi pertunjukan. "Aku terkejut, aku begitu ketakutan melihat peperangan yang kalian gambarkan. Kapan semuanya ini akan berakhir, aku harap akan ada akhir yang bahagia, ternyata tidak. Tapi aku tidak kecewa sudah datang melihat pertunjukan kalian. Selamat dan terima kasih," katanya.

Piala Eropa sedang berlangsung waktu itu. Tetapi sama sekali tidak mengganggu penampilan kami. Kami membawa pulang kenangan yang indah dari Bratislava. Penampilan kami lebih baik daripada di Praha, kendati bagi Praha itu sudah oke banget. Kondisi gedung pertunjukan di Bratislava yang memang memenuhi selera teater benar-benar membantu. Bahkan orang panggungnya, dengan kemauan sendiri, ikut main menggoyang-goyang layar. Lalu seusai pertunjukan menyatakan hasratnya untuk datang ke Indonesia suatu saat nanti.

Demikianlah pertunjukan "Zero" yang kami bawa tidak hanya menjadi hiburan, tetapi sebuah informasi tambahan tentang Indonesia masa kini. Sudah lama Indonesia dikenal lewat kekayaan tradisinya. Bau Bali, Jawa, Sunda, Sumatra, Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, sudah tersimpan di mancanegara. Tetapi Indonesia masa kini, masih tetap tak terlihat.

Manusia Indonesia masa kini yang rata-rata sudah terkontaminasi oleh banyak pengaruh, tetapi toh masih kental Indonesia karena roh Indonesianya, belum dikenal. Dan kami mencoba untuk itu. Bila diplomasi yang dilakukan selama ini mengenalkan Indonesia di masa lalunya, diplomasi kami mengajak dunia melihat Indonesia sekarang.

Apakah kami berhasil membuat gebrakan kami di Praha dan Bratislava sebagai langkah diplomasi publik yang mantap? Kita lihat saja nanti. Tetapi komentar seorang wartawati Antara yang sengaja terbang dari London untuk menyaksikan pertunjukan kami sungguh positif. Ia belum pernah melihat pertunjukan Mandiri. Ia kaget tetapi sama sekali tidak terganggu karena pesan yang disampaikan hanya dengan gambar-gambar dan bunyi. "Setelah saya pikirkan matang selama semalam, saya menangkap kegundahan Anda tentang perdamaian dan perang," ujarnya.

Sementara itu, Doktor Taufiq Abdullah yang kebetulan berada di Jerman dan diundang Dubes Salim Said untuk menonton, melihat "Zero" sebagai sebuah puisi. Dalam puisi bukan cerita lagi yang penting, tetapi seberapa jauh ia bisa membimbing imajinasi penonton ke berbagai nuansa/arah. "Dan saya terhibur oleh pertunjukan itu," ungkap sejarawan itu.

Perjalanan ke Praha dan Bratislava, komentar-komentar yang sempat kami terima, makin meyakinkan kami pada langkah belokan yang sudah kami mulai sejak 1991. Bahwa teater, bukan hanya kata-kata, meskipun tetap saja kata-kata. Artinya, dia boleh bicara dengan kata atau memilih bahasanya sendiri. Memang sering ada keresahan, terutama kalau mempertunjukkan sesuatu di dalam negeri. Karena wayang dan bayangan sudah menjadi idiom yang sangat akrab pada setiap orang Indonesia, penampilan kami selalu disesali kenapa pakai layar lagi, kenapa bayangan lagi, mana ceritanya.

Tak mudah juga meyakinkan para pemain sendiri bahwa sebenarnya layar dan bayangan, bukan hanya layar dan bayangan, tetapi berubah setiap kali bila dimainkan dengan emosi yang lain. Dan emosi tak pernah sama karena akan selalu mengikuti desa-kala-patra, yang terus berdetak tiap sekejap. Bayangan dan layar sudah menjadi idiom, sudah menjadi perbendaharaan kata. Jadi bukan layar dan bayangan itu sendiri yang dipamerkan, melainkan emosinya.

Pulang dari Praha, saya teringat kembali pada rencana untuk segera berembuk tentang memperlakukan teater seutuhnya bukan sekadar "drama" seperti yang disinyalir oleh gembong Rahman Sabur. Tubuh bukan lagi hanya tubuh. Tubuh adalah idiom yang bisa menyusun bahasa baru dalam proses menyampaikan pesan atau wacana. Tetapi untuk itu memang diperlukan pembelajaran. Dibutuhkan kesepakatan, agar bahasa itu diakui sebagai alat komunikasi.

Di awal pembelajarannya, mungkin bahasa tubuh sangat dipengaruhi simbol-simbol yang sudah tercipta sebelumnya. Sehingga tontonan tubuh menjadi terbatas atau dimiskinkan oleh simbol-simbol. Akibatnya, pencapaiannya akan sangat terbatas.

Tetapi selanjutnya, akan jelas bahwa tubuh tak hanya menyimbolkan sesuatu, tetapi mengasosiasikan banyak hal. Itulah sebabnya saya kira, kami dapat menebus Praha dan Bratislava. Karena bukan wilayah simbolik yang kami sapa, tetapi ruang asosiasi.

Sebuah tontonan kemudian menjadi semacam esai, tetapi tidak sepenuhnya milik sutradara atau pemain. Karena penonton dengan seluruh asosiasi yang terjadi di dalam dirinya, juga adalah pemilik yang sama sahnya. Sebuah pertunjukan dengan judul yang sama bisa ber-"cerita" tentang banyak hal. Bahkan pada seorang penonton pun, kesannya dalam menangkap pertunjukan bisa berbeda-beda kalau saatnya lain, sehingga ia tak akan bosan melihat sebuah pementasan beberapa kali.

Perjalanan ke Praha membuat saya kembali pada: bahwa bukan cerita, bukan konflik, bukan juga rupa yang terpenting di dalam teater, meskipun semua itu masih penting. Yang terpenting adalah pertemuan rasa antara penonton dan tontonan itu sendiri. Hasil pertemuan itu adalah pengalaman batin yang dapat memberikan pencerahan bila dimanfaatkan. Itulah arti dan kegunaan teater dalam kehidupan.

Teater sebagaimana juga kelengkapan hidup yang lain, adalah sesuatu yang melengkapi kita. Bukan karena dia berpotensi untuk menghibur, tetapi karena teater mempertemukan manusia, tidak hanya lewat bahasa dalam pengertian konvensional bahasa yang sudah diterima, tetapi juga lewat idiom lain (tubuh, gerak, suara, rupa) yang kemudian juga mau tak mau menjadi bahasa.

Saya tidak bermaksud mengatakan mana yang lebih baik. Semua sama baiknya, asal diproses maksimal dengan sungguh-sungguh. Saya hanya mau mengatakan, semua bahasa, adalah bahasa, apabila membuat manusia saling bertemu rasa.

Saya termenung lama di rumah mengingat pengalaman Praha dan Bratislava. Terkesima karena melihat betapa hati manusia memang memerlukan pertemuan dengan bahasa-bahasa baru, ketika bahasa lama sudah menjadi begitu terkontaminasinya sehingga membingungkan dan tak dapat lagi menghubungkan rasa dengan jujur, polos, dan telak.***

Jambi 8-7-08

* Putu Wijaya, Sutradara Teater Mandiri

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 12 Juli 2008

No comments: